Penanganan Perubahan Iklim Kehilangan Arah
A
A
A
MADRID - Konferensi perubahan iklim yang berakhir pada Minggu (15/12) lalu di Madrid berakhir dengan kesempatan kompromi. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut itu sebagai kehilangan kesempatan untuk bertindak.
Itu juga menjadi konferensi iklim PBB paling lama yang tidak menghasilkan kesepakatan yang menggembirakan. Kesepakatan konferensi tersebut dipertanyakan karena tidak ada kejelasan respons global untuk mengurangi karbon. Semua negara hanya berjanji akan menempatkan penanganan perubahan iklim dalam konferensi mendatang di Glasgow tahun depan. Berbagai isu termasuk pasar karbon ditunda hingga konferensi mendatang.
Padahal, konferensi tersebut telah diperpanjang dua hari dan dua malam untuk negosiasi. Tapi, itu justru menghasilkan kesepakatan rencana pengurangi karbon justru akan dibahas di Glasgow, Skotlandia. Semua pihak diminta untuk membahas kesenjangan antara pendapat sains yang menyatakan perlunya menghindari bahaya perubahan iklim.
Uni Eropa dan negara kecil mendorong ambisi besar yang ditentang Amerika Serikat (AS), India, dan China. Kompromi itu disepakati negara kaya untuk menunjukkan mereka tetap menjadi komitmen terhadap penanganan perubahan iklim sebelum 2020. Konferensi di Glasgow akan menjadi tekanan berat bagi Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengaku dirinya kecewa dengan kesepakatan tersebut. “Komunitas internasional kehilangan kesempatan untuk menunjukkan peningkatan ambisi terhadap mitigasi, adaptasi, dan keuangan untuk menangani krisis iklim,” katanya dilansir BBC. Namun demikian, Guterres mengungkapkan dia tidak akan menyerah. “Saya tidak akan menyerah,” ujarnya.
Setelah keputusan akhir konferensi Madrid dibuat, Menteri Lingkungan Carolina Schmidt mengatakan, dirinya penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Hal senada diungkapkan, Helen Mountford, Waki Presiden World Resource Institute. “Perundingan ini merefleksikan bagaimana pemimpin negara tidak melihat pentingnya sains dan tuntutan warga di jalanan,”katanya. Dia menyerukan para pemimpin dunia agar tersadarkan pada 2020.
Uni Eropa (UE) memang berusaha memimpin inisiatif perubahan iklim di mana mereka telah mencapai kesepakatan di Brussels pada pekan lalu untuk mengurangi emisi karbon hingga nol pada 2050. “UE memang menjadi pemimpin. Kita ingin menjadi apa dan kita tidak akan menjadi seperti apa dengan apa yang kita lakukan,”ujar Menteri Lingkungan Finlandia Krista Mikkonen.
Sementara Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, menyalahkan negara-negara kaya atas kegagalan konferensi tersebut. “Saya menyangkan UE selalu menyalahkan Brasil padahal tidak mampu melakukan penghutanan kembali,” paparnya.
Kemudian, Direktur Eksekutif Yayasan Iklim Eropa, Laurence Tubiana, menyalahkan sejumlah negara besar tidak memperlihatkan niat mereka untuk menghambat perubahan iklim. (Andika H Mustaqim)
Itu juga menjadi konferensi iklim PBB paling lama yang tidak menghasilkan kesepakatan yang menggembirakan. Kesepakatan konferensi tersebut dipertanyakan karena tidak ada kejelasan respons global untuk mengurangi karbon. Semua negara hanya berjanji akan menempatkan penanganan perubahan iklim dalam konferensi mendatang di Glasgow tahun depan. Berbagai isu termasuk pasar karbon ditunda hingga konferensi mendatang.
Padahal, konferensi tersebut telah diperpanjang dua hari dan dua malam untuk negosiasi. Tapi, itu justru menghasilkan kesepakatan rencana pengurangi karbon justru akan dibahas di Glasgow, Skotlandia. Semua pihak diminta untuk membahas kesenjangan antara pendapat sains yang menyatakan perlunya menghindari bahaya perubahan iklim.
Uni Eropa dan negara kecil mendorong ambisi besar yang ditentang Amerika Serikat (AS), India, dan China. Kompromi itu disepakati negara kaya untuk menunjukkan mereka tetap menjadi komitmen terhadap penanganan perubahan iklim sebelum 2020. Konferensi di Glasgow akan menjadi tekanan berat bagi Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Sekjen PBB Antonio Guterres mengaku dirinya kecewa dengan kesepakatan tersebut. “Komunitas internasional kehilangan kesempatan untuk menunjukkan peningkatan ambisi terhadap mitigasi, adaptasi, dan keuangan untuk menangani krisis iklim,” katanya dilansir BBC. Namun demikian, Guterres mengungkapkan dia tidak akan menyerah. “Saya tidak akan menyerah,” ujarnya.
Setelah keputusan akhir konferensi Madrid dibuat, Menteri Lingkungan Carolina Schmidt mengatakan, dirinya penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Hal senada diungkapkan, Helen Mountford, Waki Presiden World Resource Institute. “Perundingan ini merefleksikan bagaimana pemimpin negara tidak melihat pentingnya sains dan tuntutan warga di jalanan,”katanya. Dia menyerukan para pemimpin dunia agar tersadarkan pada 2020.
Uni Eropa (UE) memang berusaha memimpin inisiatif perubahan iklim di mana mereka telah mencapai kesepakatan di Brussels pada pekan lalu untuk mengurangi emisi karbon hingga nol pada 2050. “UE memang menjadi pemimpin. Kita ingin menjadi apa dan kita tidak akan menjadi seperti apa dengan apa yang kita lakukan,”ujar Menteri Lingkungan Finlandia Krista Mikkonen.
Sementara Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, menyalahkan negara-negara kaya atas kegagalan konferensi tersebut. “Saya menyangkan UE selalu menyalahkan Brasil padahal tidak mampu melakukan penghutanan kembali,” paparnya.
Kemudian, Direktur Eksekutif Yayasan Iklim Eropa, Laurence Tubiana, menyalahkan sejumlah negara besar tidak memperlihatkan niat mereka untuk menghambat perubahan iklim. (Andika H Mustaqim)
(nfl)