Populisme Menguat, Demokrasi di Eropa dan AS Kian Merosot
A
A
A
NUSA DUA - Perwakilan Bali Civil Society and Media Forum, Hassan Wirajuda menyebut demokrasi di Eropa dan Amerika Serikat (AS) kian hari kian merosot. Salah satu faktornya, menurut Hassan, adalah karena meningkatnya populisme di kedua kawasan tersebut.
Hassan menuturkan, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, setelah berakhirnya perang dingin, banyak negara yang otoritarian merangkul demokrasi. Lebih dari 120 dari 190 negara anggota PBB menjadi demokrasi, tapi dalam perkembangan lima tahun terakhir ini, khususnya di Eropa dan Amerika menguat populisme dan nasionalisme sempit.
"Kita tahu di Eropa sejak krisis Euro, mulai dari Yunani, Portugal, kecenderungan populisme menguat dan bulan lalu menyebar ke Eropa, yang menjadikan di Eropa itu menjadi anti segalanya. Anti migran, Islam, dan orang asing, sehingga Eropa sekarang menghadapi persoalan bagaimana merekonsiliasi antara cita-cita UE untuk memajukan pluralistik demokrasi, ekonomi yang kompetitif dann HAM," ucap Hassan pada Kamis (5/12/2019).
"Ini masalah mereka, sehingga kita tidak melihat kepemimpinan UE sekarang dalam kemajuan demokrasi dunia," sambung Menteri Luar Negeri Luar Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Hal serupa juga terjadi di AS, khususnya sejak terpilihnya Donald Trump. Hassan menyebut, Trump sangat berhasil mengeksploitasi suara protes terhadap para elit, yang berarti perusahaan multinasional dan lain-lain, sampai politik Gedung Putih, globalisasi dan informasi teknologi.
"Ketakutan kelompok menengah ke bawah terhadap persoalan baru ini, karena itu Trump menang. Tergantung apakah Trump akan kembali terpilih pada tahun depan, kalau dia menang kembali akan menguatkan populisme dan perpecahan nasionalisme, dan ini kerugian demokrasi," ujarnya.
Dia lalu menuturkan, Indonesia saat ini menjadi contoh yang baik. Dirinya mengatakan, dengan merosotnya demokrasi di dunia, baik dari jumlah negara maupun kualitas keberhasilan, Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu pada April 2019 dan pembentukan kabinet.
"Berbeda dengan eksklusifitas yang terjadi di banyak negara demokrasi maju, kita justru kita menjadi contoh yang tidak banyak di dunia saat ini. Jadi, meski di dalam kita boleh punya persoalan, tapi kalau kita ketahui apa yang terjadi di luar, sesungguhnya kita menjadi contoh yang baik," tukasnya.
Hassan menuturkan, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, setelah berakhirnya perang dingin, banyak negara yang otoritarian merangkul demokrasi. Lebih dari 120 dari 190 negara anggota PBB menjadi demokrasi, tapi dalam perkembangan lima tahun terakhir ini, khususnya di Eropa dan Amerika menguat populisme dan nasionalisme sempit.
"Kita tahu di Eropa sejak krisis Euro, mulai dari Yunani, Portugal, kecenderungan populisme menguat dan bulan lalu menyebar ke Eropa, yang menjadikan di Eropa itu menjadi anti segalanya. Anti migran, Islam, dan orang asing, sehingga Eropa sekarang menghadapi persoalan bagaimana merekonsiliasi antara cita-cita UE untuk memajukan pluralistik demokrasi, ekonomi yang kompetitif dann HAM," ucap Hassan pada Kamis (5/12/2019).
"Ini masalah mereka, sehingga kita tidak melihat kepemimpinan UE sekarang dalam kemajuan demokrasi dunia," sambung Menteri Luar Negeri Luar Indonesia di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tersebut.
Hal serupa juga terjadi di AS, khususnya sejak terpilihnya Donald Trump. Hassan menyebut, Trump sangat berhasil mengeksploitasi suara protes terhadap para elit, yang berarti perusahaan multinasional dan lain-lain, sampai politik Gedung Putih, globalisasi dan informasi teknologi.
"Ketakutan kelompok menengah ke bawah terhadap persoalan baru ini, karena itu Trump menang. Tergantung apakah Trump akan kembali terpilih pada tahun depan, kalau dia menang kembali akan menguatkan populisme dan perpecahan nasionalisme, dan ini kerugian demokrasi," ujarnya.
Dia lalu menuturkan, Indonesia saat ini menjadi contoh yang baik. Dirinya mengatakan, dengan merosotnya demokrasi di dunia, baik dari jumlah negara maupun kualitas keberhasilan, Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilu pada April 2019 dan pembentukan kabinet.
"Berbeda dengan eksklusifitas yang terjadi di banyak negara demokrasi maju, kita justru kita menjadi contoh yang tidak banyak di dunia saat ini. Jadi, meski di dalam kita boleh punya persoalan, tapi kalau kita ketahui apa yang terjadi di luar, sesungguhnya kita menjadi contoh yang baik," tukasnya.
(esn)