Demo Rusuh Berlanjut di Irak meski PM Mahdi Umumkan Mundur
A
A
A
BAGHDAD - Demo rusuh anti-pemerintah terus berkobar di Irak selatan meskipun Perdana Menteri (PM) Adel Abdul Mahdi telah mengumumkan mengundurkan diri pada hari Jumat. Ribuan orang dilaporkan masih melakukan aksi duduk di Tahrir Square.
Sesaat setelah PM Mahdi mengumumkan pengunduran diri kekerasan pecah di Irak selatan yang menewaskan 21 orang. Seorang demonstran juga ditemukan tewas di Baghdad.
PM Mahdi mengumumkan pengunduran dirinya setelah ulama senior Syiah Muslim Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, mendesak anggota parlemen untuk mempertimbangkan kembali dukungan mereka pada pemerintah yang diguncang oleh demo mematikan selama berminggu-minggu.
"Menanggapi seruan (ulama) ini, dan untuk memfasilitasinya secepat mungkin, saya akan mengajukan kepada parlemen permintaan (untuk menerima) pengunduran diri saya dari kepemimpinan pemerintah saat ini," bunyi pernyataan yang ditandatangani oleh PM Mahdi.
Pernyataan itu tidak mengatakan kapan dia secara resmi akan mengundurkan diri. Parlemen akan mengadakan sesi darurat pada hari Minggu (1/12/2019) untuk membahas krisis ini.
Selama berminggu-minggu, para pemrotes muda, pengangguran dan tidak bersenjata telah memimpin seruan untuk perombakan sistem politik yang mereka sebut secara endemis korup dan melayani kekuatan asing, terutama rezim Teheran.
Para pemrotes merayakan pengumuman pengunduran diri PM Mahdi, tetapi mereka mengatakan tidak akan menghentikan demonstrasi sampai seluruh elite politik disingkirkan.
"Pengunduran diri Abdul Mahdi hanyalah permulaan. Kami akan tetap berada di jalanan sampai seluruh pemerintah lengser, dan semua politisi korup lainnya," kata Mustafa Hafidh, seorang pengunjuk rasa di Tahrir Square.
"Itu tidak cukup," kata Ali al-Sayeda, demonstran lain. "Kita menginginkan mereka semua (lengser), akar dan cabang. Kita tidak bisa membiarkan tekanan," ujarnya, seperti dikutip Voice of America, Sabtu (30/11/2019).
Kemenangan tim nasional sepak bola Irak melawan Uni Emirat Arab memberi alasan bagi pemrotes di Tahrir Square untuk perayaan dan mereka menyalakan kembang api, menikmati istirahat singkat dari kerusuhan.
Bentrokan Nasiriyah
Sementara itu, pasukan keamanan menembak mati sedikitnya 21 orang di kota Nasiriyah selatan setelah pengunjuk rasa mencoba menyerbu markas polisi setempat. Di Najaf, orang-orang bersenjata tak dikenal menembak langsung ke arah demonstran.
Sumber polisi mengatakan, pasukan keamanan juga menembak mati seorang demonstran di dekat Jembatan Ahrar.
Pasukan Irak telah membunuh ratusan demonstran sejak protes anti-pemerintah pecah 1 Oktober. Lebih dari selusin anggota pasukan keamanan juga tewas dalam bentrokan. Setidaknya 436 orang telah meninggal dalam waktu kurang dari dua bulan. Data ini menurut penghitungan Reuters dari sumber medis dan polisi.
Pembakaran kantor Konsulat Iran di kota suci Najaf pada hari Rabu meningkatkan kekerasan dan mendapat tanggapan brutal dari pasukan keamanan. Lebih dari 60 orang di berbagai wilayah telah ditembak mati pasukan keamanan Irak pada hari Kamis.
Sistani, yang memiliki pengaruh besar atas opini publik, memperingatkan akan ledakan perselisihan sipil dan tirani. Dia mendesak pasukan pemerintah untuk berhenti membunuh demonstran.
"Pemerintah tampaknya tidak mampu menangani peristiwa-peristiwa dalam dua bulan terakhir. Parlemen, dari mana pemerintah saat ini muncul, harus mempertimbangkan kembali pilihannya dan melakukan apa yang menjadi kepentingan Irak," kata seorang wakil dari Sistani dalam khotbah yang disiarkan televisi.
Daerah Sunni
Beberapa pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di utara, provinsi mayoritas Sunni di Irak dalam solidaritas dengan rekan-rekan Syiah mereka di Irak selatan. Aksi solidaritas ini juga dipicu oleh pengunduran diri PM Mahdi dan didorong oleh kemenangan tim nasional sepak bola.
Daerah komunitas Sunni yang telah hancur oleh perjuangan melawan kelompok ISIS kini telah tenang. Namun, sebagian masyarakat khawatir sisa-sisa militan ISIS akan memanfaatkan kerusuhan untuk menumbuhkan pemberontakan yang sedang berlangsung.
Militer Irak mengatakan sebuah roket menghantam Zona Hijau Baghdad, wilayah yang menampung gedung-gedung pemerintah dan kedutaan besar asing, pada Jumat malam. Namun, tak ada korban jiwa dalam serangan ini.
"Musuh-musuh Irak dan aparat mereka berusaha menabur kekacauan dan pertikaian untuk mengembalikan negara ini ke usia kediktatoran...Setiap orang harus bekerja sama untuk menggagalkan peluang itu," kata Sistani, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Pengumuman pengunduran diri PM Mahdi bisa menjadi pukulan bagi pengaruh Iran, di mana komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran melakukan intervensi pada bulan lalu untuk menjaga agar perdana menteri itu tetap berkuasa meskipun diguncang demo rusuh anti-pemerintah selama berminggu-minggu.
Sesaat setelah PM Mahdi mengumumkan pengunduran diri kekerasan pecah di Irak selatan yang menewaskan 21 orang. Seorang demonstran juga ditemukan tewas di Baghdad.
PM Mahdi mengumumkan pengunduran dirinya setelah ulama senior Syiah Muslim Irak, Ayatollah Ali al-Sistani, mendesak anggota parlemen untuk mempertimbangkan kembali dukungan mereka pada pemerintah yang diguncang oleh demo mematikan selama berminggu-minggu.
"Menanggapi seruan (ulama) ini, dan untuk memfasilitasinya secepat mungkin, saya akan mengajukan kepada parlemen permintaan (untuk menerima) pengunduran diri saya dari kepemimpinan pemerintah saat ini," bunyi pernyataan yang ditandatangani oleh PM Mahdi.
Pernyataan itu tidak mengatakan kapan dia secara resmi akan mengundurkan diri. Parlemen akan mengadakan sesi darurat pada hari Minggu (1/12/2019) untuk membahas krisis ini.
Selama berminggu-minggu, para pemrotes muda, pengangguran dan tidak bersenjata telah memimpin seruan untuk perombakan sistem politik yang mereka sebut secara endemis korup dan melayani kekuatan asing, terutama rezim Teheran.
Para pemrotes merayakan pengumuman pengunduran diri PM Mahdi, tetapi mereka mengatakan tidak akan menghentikan demonstrasi sampai seluruh elite politik disingkirkan.
"Pengunduran diri Abdul Mahdi hanyalah permulaan. Kami akan tetap berada di jalanan sampai seluruh pemerintah lengser, dan semua politisi korup lainnya," kata Mustafa Hafidh, seorang pengunjuk rasa di Tahrir Square.
"Itu tidak cukup," kata Ali al-Sayeda, demonstran lain. "Kita menginginkan mereka semua (lengser), akar dan cabang. Kita tidak bisa membiarkan tekanan," ujarnya, seperti dikutip Voice of America, Sabtu (30/11/2019).
Kemenangan tim nasional sepak bola Irak melawan Uni Emirat Arab memberi alasan bagi pemrotes di Tahrir Square untuk perayaan dan mereka menyalakan kembang api, menikmati istirahat singkat dari kerusuhan.
Bentrokan Nasiriyah
Sementara itu, pasukan keamanan menembak mati sedikitnya 21 orang di kota Nasiriyah selatan setelah pengunjuk rasa mencoba menyerbu markas polisi setempat. Di Najaf, orang-orang bersenjata tak dikenal menembak langsung ke arah demonstran.
Sumber polisi mengatakan, pasukan keamanan juga menembak mati seorang demonstran di dekat Jembatan Ahrar.
Pasukan Irak telah membunuh ratusan demonstran sejak protes anti-pemerintah pecah 1 Oktober. Lebih dari selusin anggota pasukan keamanan juga tewas dalam bentrokan. Setidaknya 436 orang telah meninggal dalam waktu kurang dari dua bulan. Data ini menurut penghitungan Reuters dari sumber medis dan polisi.
Pembakaran kantor Konsulat Iran di kota suci Najaf pada hari Rabu meningkatkan kekerasan dan mendapat tanggapan brutal dari pasukan keamanan. Lebih dari 60 orang di berbagai wilayah telah ditembak mati pasukan keamanan Irak pada hari Kamis.
Sistani, yang memiliki pengaruh besar atas opini publik, memperingatkan akan ledakan perselisihan sipil dan tirani. Dia mendesak pasukan pemerintah untuk berhenti membunuh demonstran.
"Pemerintah tampaknya tidak mampu menangani peristiwa-peristiwa dalam dua bulan terakhir. Parlemen, dari mana pemerintah saat ini muncul, harus mempertimbangkan kembali pilihannya dan melakukan apa yang menjadi kepentingan Irak," kata seorang wakil dari Sistani dalam khotbah yang disiarkan televisi.
Daerah Sunni
Beberapa pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di utara, provinsi mayoritas Sunni di Irak dalam solidaritas dengan rekan-rekan Syiah mereka di Irak selatan. Aksi solidaritas ini juga dipicu oleh pengunduran diri PM Mahdi dan didorong oleh kemenangan tim nasional sepak bola.
Daerah komunitas Sunni yang telah hancur oleh perjuangan melawan kelompok ISIS kini telah tenang. Namun, sebagian masyarakat khawatir sisa-sisa militan ISIS akan memanfaatkan kerusuhan untuk menumbuhkan pemberontakan yang sedang berlangsung.
Militer Irak mengatakan sebuah roket menghantam Zona Hijau Baghdad, wilayah yang menampung gedung-gedung pemerintah dan kedutaan besar asing, pada Jumat malam. Namun, tak ada korban jiwa dalam serangan ini.
"Musuh-musuh Irak dan aparat mereka berusaha menabur kekacauan dan pertikaian untuk mengembalikan negara ini ke usia kediktatoran...Setiap orang harus bekerja sama untuk menggagalkan peluang itu," kata Sistani, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Pengumuman pengunduran diri PM Mahdi bisa menjadi pukulan bagi pengaruh Iran, di mana komandan Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran melakukan intervensi pada bulan lalu untuk menjaga agar perdana menteri itu tetap berkuasa meskipun diguncang demo rusuh anti-pemerintah selama berminggu-minggu.
(mas)