6 November, Iran Akan Mulai Memperkaya Uranium Hingga 5%
A
A
A
TEHERAN - Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi, mengumumkan bahwa negara itu akan mulai memperkaya uranium hingga 5% di situs nuklir Fordow pada 6 November mendatang. Pejabat itu menambahkan bahwa proses menyuntikkan gas ke dalam sentrifugal, memperkaya uranium, akan dipantau oleh inspektur dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Salehi lebih lanjut mencatat bahwa jika perlu, Iran mampu memperkaya uranium hingga 20% di pabrik Fordow. Pejabat itu menambahkan bahwa saat ini, negara ini memiliki 20% cadangan uranium yang diperkaya seperti dilansir dari Sputnik, Rabu (6/11/2019).
Sebelumnya, Presiden Hassan Rouhani mengeluarkan perintah untuk situs nuklir Fordow agar mulai memperkaya uranium hingga 5% mulai 6 November sebagai langkah selanjutnya dalam kebijakan Iran untuk mengurangi komitmennya berdasarkan perjanjian nuklir 2015.
Uranium yang diperkaya hingga level antara 3% dan 5% banyak digunakan dalam reaktor nuklir di seluruh dunia. Ketika uranium diperkaya melebihi 20%, uranium dianggap sangat diperkaya dan berpotensi digunakan dalam pembuatan senjata nuklir. Iran telah berulang kali menyatakan bahwa mereka mengembangkan program nuklirnya hanya untuk tujuan damai, dengan alasan agama melarang penggunaan senjata nuklir. Tetapi beberapa negara, seperti Israel, terus menuduh Teheran mencoba membangun senjata nuklirnya sendiri.
Untuk mengatasi kecurigaan seputar program nuklir Iran, sekelompok negara yang disebut P5+1 mencapai kesepakatan pada 2015 yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran. Menurut perjanjian tersebut, kemampuan Iran untuk mengembangkan program nuklirnya sangat terbatas - yaitu tidak dapat memperkaya uranium di atas 3,67%. Sebagai imbalannya, semua sanksi internasional dicabut dari negara itu.
Kesepakatan itu mengalami pukulan berat setelah Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk menarik diri pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap bank dan industri minyak Iran. AS juga mengancam akan menghukum setiap entitas yang berurusan dengan Negeri Mullah itu dalam kedua bidang tersebut.
Para penandatangan yang tersisa untuk JCPOA mengecam langkah tersebut dan bersumpah untuk menemukan cara untuk terus melakukan bisnis dengan Iran.
Terlepas dari upaya itu, banyak perusahaan memutuskan hubungan dengan Iran dan perdagangan minyak negara itu masih menderita karena sanksi. Uni Eropa (UE) kemudian memperkenalkan mekanisme perdagangan khusus yang disebut INSTEX untuk memintas pembatasan AS, tetapi gagal melindungi perdagangan minyak Iran.
Sehubungan dengan situasi ini, Iran mengumumkan pada bulan Mei 2019 bahwa mereka akan mulai secara bertahap menanggalkan komitmennya di bawah JCPOA kecuali para pihak penandatangan yang tersisa memberikan solusi untuk kesengsaraan ekonominya. Sejak itu Iran telah melalui tiga tahap pengurangan komitmennya tersebut.
Salehi lebih lanjut mencatat bahwa jika perlu, Iran mampu memperkaya uranium hingga 20% di pabrik Fordow. Pejabat itu menambahkan bahwa saat ini, negara ini memiliki 20% cadangan uranium yang diperkaya seperti dilansir dari Sputnik, Rabu (6/11/2019).
Sebelumnya, Presiden Hassan Rouhani mengeluarkan perintah untuk situs nuklir Fordow agar mulai memperkaya uranium hingga 5% mulai 6 November sebagai langkah selanjutnya dalam kebijakan Iran untuk mengurangi komitmennya berdasarkan perjanjian nuklir 2015.
Uranium yang diperkaya hingga level antara 3% dan 5% banyak digunakan dalam reaktor nuklir di seluruh dunia. Ketika uranium diperkaya melebihi 20%, uranium dianggap sangat diperkaya dan berpotensi digunakan dalam pembuatan senjata nuklir. Iran telah berulang kali menyatakan bahwa mereka mengembangkan program nuklirnya hanya untuk tujuan damai, dengan alasan agama melarang penggunaan senjata nuklir. Tetapi beberapa negara, seperti Israel, terus menuduh Teheran mencoba membangun senjata nuklirnya sendiri.
Untuk mengatasi kecurigaan seputar program nuklir Iran, sekelompok negara yang disebut P5+1 mencapai kesepakatan pada 2015 yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran. Menurut perjanjian tersebut, kemampuan Iran untuk mengembangkan program nuklirnya sangat terbatas - yaitu tidak dapat memperkaya uranium di atas 3,67%. Sebagai imbalannya, semua sanksi internasional dicabut dari negara itu.
Kesepakatan itu mengalami pukulan berat setelah Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk menarik diri pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap bank dan industri minyak Iran. AS juga mengancam akan menghukum setiap entitas yang berurusan dengan Negeri Mullah itu dalam kedua bidang tersebut.
Para penandatangan yang tersisa untuk JCPOA mengecam langkah tersebut dan bersumpah untuk menemukan cara untuk terus melakukan bisnis dengan Iran.
Terlepas dari upaya itu, banyak perusahaan memutuskan hubungan dengan Iran dan perdagangan minyak negara itu masih menderita karena sanksi. Uni Eropa (UE) kemudian memperkenalkan mekanisme perdagangan khusus yang disebut INSTEX untuk memintas pembatasan AS, tetapi gagal melindungi perdagangan minyak Iran.
Sehubungan dengan situasi ini, Iran mengumumkan pada bulan Mei 2019 bahwa mereka akan mulai secara bertahap menanggalkan komitmennya di bawah JCPOA kecuali para pihak penandatangan yang tersisa memberikan solusi untuk kesengsaraan ekonominya. Sejak itu Iran telah melalui tiga tahap pengurangan komitmennya tersebut.
(ian)