Serangan Kilang Minyak Saudi Permalukan 6 Sistem Rudal Patriot AS
A
A
A
RIYADH - Dua kilang minyak Aramco, salah satunya tercatat sebagai yang terbesar di Arab Saudi, diserang secara dahsyat Sabtu pekan lalu. Serangan ini jadi sorotan dunia, karena enam sistem pertahanan rudal Patriot Amerika Serikat (AS) yang dimiliki negara Islam itu terbukti gagal memberikan perlindungan.
Sorotan dunia juga tertuju pada militer Saudi karena kerajaan Islam ini merupakan negara dengan anggaran militer terbesar ketiga di dunia. Mengutip laporan Bloomberg, Selasa (17/9/2019), kecanggihan senjata pertahanan dan kekayaan yang dimiliki Arab Saudi belum menjamin jatung industri minyaknya aman dari serangan.
Dua kilang minyak Aramco Arab Saudi yang diserang adalah kilang minyak di Abqaiq dan Khura. Kilang minyak di Abqaiq merupakan kilang minyak terbesar di negara tersebut dan salah satu yang terbesar di dunia.
Pemerintah Riyadh mengatakan serangan besar-besaran itu dilakukan dengan pesawat nirawak atau drone. Riyadh tidak mengidentifikasi pelaku, meski menyimpulkan senjata yang menyerang tersebut buatan Iran. Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengklaim sebagai pelaku dan mengancam akan melakukan serangan serupa lainnya.
Serangan hebat itu merupakan terbaru dari serangkaian serangan yang selama ini melanda wilayah Arab Saudi dan seharusnya tidak mengejutkan. Efektivitas mesin militer Saudi telah lama dipertanyakan, meskipun menghabiskan USD83 miliar untuk pertahanan pada tahun lalu.
Sekadar perbandingan, anggaran pertahanan Rusia USD45 miliar dan Iran—rival Saudi—sebesar USD20 miliar.
Angkatan Udara Kerajaan yang dilengkapi peralatan canggih telah mengebom pemberontak Houthi Yaman sejak 2015, tetapi sejauh ini gagal membuat kelompok pemberontak itu menyerah.
Pakar pertahanan udara mengatakan setiap jawaban tegas untuk pertanyaan tentang kerentanan Saudi harus menunggu kejelasan lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada hari Sabtu pekan lalu. Ada beberapa laporan yang saling bertentangan mengenai teknologi apa yang digunakan dalam serangan hebat tersebut. Ada yang melaporkan serangan berupa 10 pesawat nirawak. Ada juga yang melaporkan serangan dilakukan oleh selusin rudal jelajah. Pejabat senior pemerintah AS sendiri menyimpulkan serangan dilakukan oleh kedua jenis senjata tersebut dengan menuding Iran sebagai biangnya.
"Jika itu adalah serangan campuran, jika Anda memiliki UAV (kendaraan udara nirawak) kecil ditambah rudal jelajah terkoordinasi, datang pada tingkat rendah—itu adalah masalah jahat untuk dihadapi, bahkan untuk militer Barat yang cakap," kata Douglas Barrie, peneliti senior dirgantara militer di Institut Internasional untuk Studi Strategis, sebuah kelompok think tank Inggris.
"Tempat terbaik untuk menghentikan barang-barang ini adalah sebelum itu mengudara," katanya lagi.
Menurut Barrie, pertahanan untuk melawan serangan pesawat nirawak—baik di bandara atau di medan perang—adalah topik hangat di acara pertahanan tahunan terbesar AS minggu lalu di antara perusahaan-perusahaan yang memproduksi dan menjual sistem pertahanan kelas atas kepada pemerintah di seluruh dunia.
Barrie dan para pakar lainnya mengatakan sifat instalasi minyak—besar, stasioner dan mudah terbakar—dalam hal apapun membuat pertahanan menjadi tantangan yang berat. Demikian juga penyebaran senjata pertahanan tersebut ke ruang-ruang kosong Arab Saudi yang luas dan kebutuhan untuk memantau ribuan mil wilayah yang berbatasan dengan Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Irak, dan Yordania.
Sebelum ketegangan AS-Iran mereda, risiko serangan lebih lanjut kemungkinan akan tetap ada. Dalam beberapa bulan terakhir, AS menuduh Iran menyabotase kapal-kapal tanker yang membawa minyak melalui Selat Hormuz. Sedangkan drone yang diklaim Houthi menyerang stasiun pompa untuk pipa Timur-Barat Arab Saudi pada bulan Mei, dan ladang minyak Shaybah pada Agustus.
Seorang pejabat militer Saudi mengatakan pada hari Senin bahwa senjata Iran digunakan dalam serangan terbaru pada Sabtu pekan lalu.
"Ini sangat sederhana; Iran telah mencoba beberapa kali untuk menaikkan harga minyak," kata Ram Yavne, pensiunan brigadir jenderal dan mantan kepala perencanaan strategis di Pasukan Pertahanan Israel, yang sekarang bekerja di Institut Yahudi untuk Keamanan Nasional Amerika, sebuah kelompok think tank Washington.
"Mereka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ada harga buat AS karena menghalangi kemampuan mereka untuk menghasilkan minyak sangat tinggi," ujarnya.
Iran, yang menjadi target sanksi AS yang sangat melumpuhkan, telah membantah bertanggung jawab atas semua serangan di Saudi, termasuk serangan pada Sabtu lalu. Beberapa upaya serangan selama ini digagalkan oleh sistem pertahanan rudal yang dioperasikan Saudi, tetapi keberhasilan itu kemungkinan akan dilupakan setelah serangan hebat terhadap kilang minyak di Abqaiq. Sekadar diketahui, kilang minyak itu menghasilkan sekitar 5 persen dari pasokan minyak global.
"Hanya ada satu pengambilan rasional dari serangan pesawat tak berawak akhir pekan lalu terhadap infrastruktur kerajaan," kata Citi Research dalam analisisnya. "Infrastruktur itu sangat rentan terhadap serangan, dan pasar terus-menerus membuat kesalahan harga minyak."
Keberhasilan serangan pesawat tak berawak terhadap satu bagian infrastruktur terpenting di industri minyak global bisa dibilang memalukan bagi sistem rudal Patriot berbiaya tinggi milik Raytheon Co, Amerika Serikat.
"Apa yang membuat saya kagum adalah, apa yang terjadi pada sistem anti-rudal Amerika?," kata Fawaz A. Gerges, profesor politik Timur Tengah di London School of Economics. "Ini sangat mencerminkan AS dan sistem pertahanannya. Iran tahu ini sekarang dan pelajaran yang dipetik di sini akan diterapkan di Suriah, Lebanon, dan area lainnya di masa depan."
Arab Saudi telah dalam pembicaraan untuk memperoleh sistem pertahanan udara canggih S-400 Rusia yang baru-baru ini dibeli Turki. Senjata Rusia, meskipun sedikit diuji dalam pertempuran, memiliki keunggulan teknis dibandingkan Patriot AS. S-400 memiliki jangkauan 400 kilometer (250 mil), dibandingkan jangkauan Patriot yang mencapai 160 kilometer. Tak hanya itu, S-400 Rusia dapat menghancurkan target yang bergerak dua kali lebih cepat dan dapat dipasang untuk beraksi dalam lima menit, dibandingkan dengan satu jam untuk baterai Patriot.
Namun, membeli S-400 akan berisiko pada keretakan besar hubungan antara Washington dan Riyadh. Sanksi Amerika juga selalu menghantui. Pada Juli lalu, AS mengatakan pihaknya mengizinkan penyebaran 500 tentara ke Arab Saudi, sebagai "pencegah" serangan musuh.
Rusia memasangkan S-400 dengan sistem Pantsir-S1 yang lebih kecil, untuk menangani rudal terbang rendah dan jarak dekat yang akan lolos dari sistem pertahanan rudal balistik yang lebih besar. Meskipun Rusia telah menyebarkan S-400 di Suriah barat laut, mereka telah menggunakan sistem Pantsir untuk melawan serangan drone.
"Idealnya, Saudi membutuhkan pertahanan berlapis, termasuk sistem pertahanan titik jarak pendek seperti Skyshield Jerman atau Pantsir Rusia untuk memungkinkan keterlibatan cepat terhadap ancaman kecil dengan sistem yang lebih murah daripada Patriot yang mahal," kata Justin Bronk, peneliti untuk kekuatan udara dan teknologi di Royal United Services Institute Inggris, dalam sebuah pernyataan via email.
Sorotan dunia juga tertuju pada militer Saudi karena kerajaan Islam ini merupakan negara dengan anggaran militer terbesar ketiga di dunia. Mengutip laporan Bloomberg, Selasa (17/9/2019), kecanggihan senjata pertahanan dan kekayaan yang dimiliki Arab Saudi belum menjamin jatung industri minyaknya aman dari serangan.
Dua kilang minyak Aramco Arab Saudi yang diserang adalah kilang minyak di Abqaiq dan Khura. Kilang minyak di Abqaiq merupakan kilang minyak terbesar di negara tersebut dan salah satu yang terbesar di dunia.
Pemerintah Riyadh mengatakan serangan besar-besaran itu dilakukan dengan pesawat nirawak atau drone. Riyadh tidak mengidentifikasi pelaku, meski menyimpulkan senjata yang menyerang tersebut buatan Iran. Kelompok pemberontak Houthi Yaman mengklaim sebagai pelaku dan mengancam akan melakukan serangan serupa lainnya.
Serangan hebat itu merupakan terbaru dari serangkaian serangan yang selama ini melanda wilayah Arab Saudi dan seharusnya tidak mengejutkan. Efektivitas mesin militer Saudi telah lama dipertanyakan, meskipun menghabiskan USD83 miliar untuk pertahanan pada tahun lalu.
Sekadar perbandingan, anggaran pertahanan Rusia USD45 miliar dan Iran—rival Saudi—sebesar USD20 miliar.
Angkatan Udara Kerajaan yang dilengkapi peralatan canggih telah mengebom pemberontak Houthi Yaman sejak 2015, tetapi sejauh ini gagal membuat kelompok pemberontak itu menyerah.
Pakar pertahanan udara mengatakan setiap jawaban tegas untuk pertanyaan tentang kerentanan Saudi harus menunggu kejelasan lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada hari Sabtu pekan lalu. Ada beberapa laporan yang saling bertentangan mengenai teknologi apa yang digunakan dalam serangan hebat tersebut. Ada yang melaporkan serangan berupa 10 pesawat nirawak. Ada juga yang melaporkan serangan dilakukan oleh selusin rudal jelajah. Pejabat senior pemerintah AS sendiri menyimpulkan serangan dilakukan oleh kedua jenis senjata tersebut dengan menuding Iran sebagai biangnya.
"Jika itu adalah serangan campuran, jika Anda memiliki UAV (kendaraan udara nirawak) kecil ditambah rudal jelajah terkoordinasi, datang pada tingkat rendah—itu adalah masalah jahat untuk dihadapi, bahkan untuk militer Barat yang cakap," kata Douglas Barrie, peneliti senior dirgantara militer di Institut Internasional untuk Studi Strategis, sebuah kelompok think tank Inggris.
"Tempat terbaik untuk menghentikan barang-barang ini adalah sebelum itu mengudara," katanya lagi.
Menurut Barrie, pertahanan untuk melawan serangan pesawat nirawak—baik di bandara atau di medan perang—adalah topik hangat di acara pertahanan tahunan terbesar AS minggu lalu di antara perusahaan-perusahaan yang memproduksi dan menjual sistem pertahanan kelas atas kepada pemerintah di seluruh dunia.
Barrie dan para pakar lainnya mengatakan sifat instalasi minyak—besar, stasioner dan mudah terbakar—dalam hal apapun membuat pertahanan menjadi tantangan yang berat. Demikian juga penyebaran senjata pertahanan tersebut ke ruang-ruang kosong Arab Saudi yang luas dan kebutuhan untuk memantau ribuan mil wilayah yang berbatasan dengan Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Irak, dan Yordania.
Sebelum ketegangan AS-Iran mereda, risiko serangan lebih lanjut kemungkinan akan tetap ada. Dalam beberapa bulan terakhir, AS menuduh Iran menyabotase kapal-kapal tanker yang membawa minyak melalui Selat Hormuz. Sedangkan drone yang diklaim Houthi menyerang stasiun pompa untuk pipa Timur-Barat Arab Saudi pada bulan Mei, dan ladang minyak Shaybah pada Agustus.
Seorang pejabat militer Saudi mengatakan pada hari Senin bahwa senjata Iran digunakan dalam serangan terbaru pada Sabtu pekan lalu.
"Ini sangat sederhana; Iran telah mencoba beberapa kali untuk menaikkan harga minyak," kata Ram Yavne, pensiunan brigadir jenderal dan mantan kepala perencanaan strategis di Pasukan Pertahanan Israel, yang sekarang bekerja di Institut Yahudi untuk Keamanan Nasional Amerika, sebuah kelompok think tank Washington.
"Mereka ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ada harga buat AS karena menghalangi kemampuan mereka untuk menghasilkan minyak sangat tinggi," ujarnya.
Iran, yang menjadi target sanksi AS yang sangat melumpuhkan, telah membantah bertanggung jawab atas semua serangan di Saudi, termasuk serangan pada Sabtu lalu. Beberapa upaya serangan selama ini digagalkan oleh sistem pertahanan rudal yang dioperasikan Saudi, tetapi keberhasilan itu kemungkinan akan dilupakan setelah serangan hebat terhadap kilang minyak di Abqaiq. Sekadar diketahui, kilang minyak itu menghasilkan sekitar 5 persen dari pasokan minyak global.
"Hanya ada satu pengambilan rasional dari serangan pesawat tak berawak akhir pekan lalu terhadap infrastruktur kerajaan," kata Citi Research dalam analisisnya. "Infrastruktur itu sangat rentan terhadap serangan, dan pasar terus-menerus membuat kesalahan harga minyak."
Keberhasilan serangan pesawat tak berawak terhadap satu bagian infrastruktur terpenting di industri minyak global bisa dibilang memalukan bagi sistem rudal Patriot berbiaya tinggi milik Raytheon Co, Amerika Serikat.
"Apa yang membuat saya kagum adalah, apa yang terjadi pada sistem anti-rudal Amerika?," kata Fawaz A. Gerges, profesor politik Timur Tengah di London School of Economics. "Ini sangat mencerminkan AS dan sistem pertahanannya. Iran tahu ini sekarang dan pelajaran yang dipetik di sini akan diterapkan di Suriah, Lebanon, dan area lainnya di masa depan."
Arab Saudi telah dalam pembicaraan untuk memperoleh sistem pertahanan udara canggih S-400 Rusia yang baru-baru ini dibeli Turki. Senjata Rusia, meskipun sedikit diuji dalam pertempuran, memiliki keunggulan teknis dibandingkan Patriot AS. S-400 memiliki jangkauan 400 kilometer (250 mil), dibandingkan jangkauan Patriot yang mencapai 160 kilometer. Tak hanya itu, S-400 Rusia dapat menghancurkan target yang bergerak dua kali lebih cepat dan dapat dipasang untuk beraksi dalam lima menit, dibandingkan dengan satu jam untuk baterai Patriot.
Namun, membeli S-400 akan berisiko pada keretakan besar hubungan antara Washington dan Riyadh. Sanksi Amerika juga selalu menghantui. Pada Juli lalu, AS mengatakan pihaknya mengizinkan penyebaran 500 tentara ke Arab Saudi, sebagai "pencegah" serangan musuh.
Rusia memasangkan S-400 dengan sistem Pantsir-S1 yang lebih kecil, untuk menangani rudal terbang rendah dan jarak dekat yang akan lolos dari sistem pertahanan rudal balistik yang lebih besar. Meskipun Rusia telah menyebarkan S-400 di Suriah barat laut, mereka telah menggunakan sistem Pantsir untuk melawan serangan drone.
"Idealnya, Saudi membutuhkan pertahanan berlapis, termasuk sistem pertahanan titik jarak pendek seperti Skyshield Jerman atau Pantsir Rusia untuk memungkinkan keterlibatan cepat terhadap ancaman kecil dengan sistem yang lebih murah daripada Patriot yang mahal," kata Justin Bronk, peneliti untuk kekuatan udara dan teknologi di Royal United Services Institute Inggris, dalam sebuah pernyataan via email.
(mas)