Tingkat Kesuburan Korea Selatan Capai Titik Terendah
A
A
A
SEOUL - Orang Korea Selatan (Korsel) kini semakin sedikit memiliki bayi. Itu menjadi persoalan besar. Tingkat kesuburan total Korsel tahun lalu turun mencapai titik terendah di bawah 1%. Negeri Ginseng itu menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki tingkat kesuburan di bawah 1%.
Tingkat kesuburan total diukur dengan rata-rata jumlah anak yang akan dimiliki seorang perempuan sepanjang hidupnya. Pada 2018, tingkat kesuburan total turun 0,98 atau kurang dari satu bayi per satu perempuan atau turun dari tahun sebelumnya 1,05 pada 2017. Ini berarti jumlah bayi yang lahir di Korsel pada 2018 turun 8,7% dibandingkan 2017.
Catatan ini menempatkan Korsel sebagai negara dengan tingkat kesuburan yang paling rendah di dunia. Itu sebelumnya lebih rendah dibandingkan Jepang yang memang berjuang dengan tingkat kesuburan yang rendah selama bertahun-tahun. Pada 2018, tingkat kelahiran Jepang hanya 1,48%. Kalau Amerika Serikat, tingkat kesuburannya mencapai 1,72%.
Kalau beberapa negara Afrika memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dengan rata-rata 5-6. Untuk mempertahankan populasinya tetap stabil, pemerintah seharusnya mempertahankan tingkat kesuburan minimal 2%. Itu akan mengindikasi pertumbuhan populasi.
Dampak yang sangat nyata adalah jumlah populasi di Korsel yang akan semakin tua. Jumlah warga Korsel berusia di atas 65 tahun lebih tinggi dibandingkan anak berusia 0-14 tahun untuk pertama kali pada 2017. Orang manula di Korsel kini sudah mencapai 13,6% dari total keseluruhan warganya.
Seiring dengan tingkat kesuburan yang rendah, Pemerintah Korsel terus meningkatkan anggaran untuk mengatasi masalah tersebut sebesar USD82,32 miliar dalam satu dekade terakhir. Namun, jumlah bayi yang lahir justru tidak menunjukkan kenaikan. Pada Juni lalu, bayi yang lahir pada kisaran 24.051 anak atau turun 8,7% atau 2.306 dibandingkan tahun sebelumnya.
“Tingkat kesuburan total yang turun menjadi permasalahan kompleks,” kata profesor kesejahteraan sosial, Jung Jae-hoo, dari Universitas Perempuan Seoul, dilansir Business Korea. “Hal yang sulit adalah menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga, karier seorang perempuan dan sedikitnya perempuan berusia 30 tahunan melahirkan,” jelasnya.
Pemerintah Korsel telah menurun jam kerja dari 68 jam kerja per minggu menjadi 52 jam per minggu pada tahun lalu. Upaya itu dilakukan untuk meningkatkan tingkat kesuburan. Tapi, langkah serupa tidak dilakukan perusahaaan swasta, padahal kebanyakan orang Korsel bekerja di sektor tersebut.
Jung mengaku kini pesimis untuk mengatasi masalah penurunan tingkat kesuburan. “Saya justru tidak mampu berpikir mengenai langkah yang efektif untuk meningkatkan tingkat kesuburan,” katanya. Penyebab penurunan tingkat kesuburan yang sangat cepat terjadi karena banyak anak muda Korsel yang memilih menjomblo.
Faktanya, jumlah orang Korsel yang menikah justru menurun 2.664 atau 12,9% dengan total 17.946 pada tahun ini hingga Juni. Berdasarkan data dari Institut Korea untuk Kesehatan dan Hubungan Sosial (KIHSA) menyebutkan pada 2018 lalu, mayoritas warga Korsel berusia 20-44 tahun justru berstatus melajang.
“Di antara mereka banyak memilih tidak berkencang. 51% pria dan 64% perempuan mengaku tetap memilih akan melanjang,” demikian keterangan KIHSA dilansir CNN. Kenapa? Kebanyakan anak muda Korsel mengatakan mereka tidak memiliki waktu, uang dan kemampuan emosional untuk berkencan dengan pasangan berbeda jenis.
Itu juga berkaitan dengan tingginya tingkat pengangguran di tengah kesempatan kerja yang sangat kompetitif di Korsel. Banyak anak muda disibukkan dengan kegiatan ekstra untuk mendapatkan sertifikat kemampuan professional sehingga mereka jarang menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Hingga muncul budaya banyak anak muda Korsel lebih sering menyendiri.
Beberapa kampus di Korsel dan sekolah menengah mencoba mendidik mahasiswa dan siswa tentang kencan, cinta dan seks. Itu sebagai upaya untuk menentang budaya yang melarang pacaran. Bahkan, banyak kampus memberikan tugas agar mahasiswanya berkencan. Itu dilakukan demi masa depan Korsel.
Korsel tidak sendirian. Mereka masih memiliki kawan seperjuangan, yakni Jepang yang selama bertahun-tahun berjuang keras melawan populasi yang menua, penurunan jumlah tenaga kerja, dan rendahnya tingkat kelahiran. Kedua negara tersebut mengalami penurunan demografi sejak 1970-an. Pada 2065, populasi Jepang diperkirakan menurun dari 127 juta mencapai 88 juta.
Pada 2017, jumlah banyak yang lahir di Jepang hanya 950.000, padalah jumlah kematian mencapai 1,3 juta. Masalah yang dihadapi Jepang sama dengan Korsel yakni budaya kerja yang tidak sehat karena orang semakin sulit menyeimbangkan antara kerja dan kehidupan keluarga.
Sama seperti Korsel, Pemerintah Jepang telah mengeluarkan berbagai inisiatif untuk mengubah tren tersebut. Pada 2017, Jepang mengucurkan USD18 miliar untuk menggratiskan sekolah anak-anak dan memberikan bantuan bagi perawatan bayi. Bahkan, Jepang memberikan bantuan dana bagi pasangan yang melahirkan bayi.
Di salah satu kota pertanian di Jepang, keluarga yang melahirkan anak pertama akan mendapatkan USD879, anak kedua kembali mendapatkan USD1.335, dan USD3.518 untuk anak kelima dari keluarga yang sama. Sistem itu berjalan baik pada 2005-2014, tingkat kesuburan meningkat dua kali lipat di kota tersebut dari 1,4% menjadi 2,8%.
Tingkat kesuburan total diukur dengan rata-rata jumlah anak yang akan dimiliki seorang perempuan sepanjang hidupnya. Pada 2018, tingkat kesuburan total turun 0,98 atau kurang dari satu bayi per satu perempuan atau turun dari tahun sebelumnya 1,05 pada 2017. Ini berarti jumlah bayi yang lahir di Korsel pada 2018 turun 8,7% dibandingkan 2017.
Catatan ini menempatkan Korsel sebagai negara dengan tingkat kesuburan yang paling rendah di dunia. Itu sebelumnya lebih rendah dibandingkan Jepang yang memang berjuang dengan tingkat kesuburan yang rendah selama bertahun-tahun. Pada 2018, tingkat kelahiran Jepang hanya 1,48%. Kalau Amerika Serikat, tingkat kesuburannya mencapai 1,72%.
Kalau beberapa negara Afrika memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dengan rata-rata 5-6. Untuk mempertahankan populasinya tetap stabil, pemerintah seharusnya mempertahankan tingkat kesuburan minimal 2%. Itu akan mengindikasi pertumbuhan populasi.
Dampak yang sangat nyata adalah jumlah populasi di Korsel yang akan semakin tua. Jumlah warga Korsel berusia di atas 65 tahun lebih tinggi dibandingkan anak berusia 0-14 tahun untuk pertama kali pada 2017. Orang manula di Korsel kini sudah mencapai 13,6% dari total keseluruhan warganya.
Seiring dengan tingkat kesuburan yang rendah, Pemerintah Korsel terus meningkatkan anggaran untuk mengatasi masalah tersebut sebesar USD82,32 miliar dalam satu dekade terakhir. Namun, jumlah bayi yang lahir justru tidak menunjukkan kenaikan. Pada Juni lalu, bayi yang lahir pada kisaran 24.051 anak atau turun 8,7% atau 2.306 dibandingkan tahun sebelumnya.
“Tingkat kesuburan total yang turun menjadi permasalahan kompleks,” kata profesor kesejahteraan sosial, Jung Jae-hoo, dari Universitas Perempuan Seoul, dilansir Business Korea. “Hal yang sulit adalah menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga, karier seorang perempuan dan sedikitnya perempuan berusia 30 tahunan melahirkan,” jelasnya.
Pemerintah Korsel telah menurun jam kerja dari 68 jam kerja per minggu menjadi 52 jam per minggu pada tahun lalu. Upaya itu dilakukan untuk meningkatkan tingkat kesuburan. Tapi, langkah serupa tidak dilakukan perusahaaan swasta, padahal kebanyakan orang Korsel bekerja di sektor tersebut.
Jung mengaku kini pesimis untuk mengatasi masalah penurunan tingkat kesuburan. “Saya justru tidak mampu berpikir mengenai langkah yang efektif untuk meningkatkan tingkat kesuburan,” katanya. Penyebab penurunan tingkat kesuburan yang sangat cepat terjadi karena banyak anak muda Korsel yang memilih menjomblo.
Faktanya, jumlah orang Korsel yang menikah justru menurun 2.664 atau 12,9% dengan total 17.946 pada tahun ini hingga Juni. Berdasarkan data dari Institut Korea untuk Kesehatan dan Hubungan Sosial (KIHSA) menyebutkan pada 2018 lalu, mayoritas warga Korsel berusia 20-44 tahun justru berstatus melajang.
“Di antara mereka banyak memilih tidak berkencang. 51% pria dan 64% perempuan mengaku tetap memilih akan melanjang,” demikian keterangan KIHSA dilansir CNN. Kenapa? Kebanyakan anak muda Korsel mengatakan mereka tidak memiliki waktu, uang dan kemampuan emosional untuk berkencan dengan pasangan berbeda jenis.
Itu juga berkaitan dengan tingginya tingkat pengangguran di tengah kesempatan kerja yang sangat kompetitif di Korsel. Banyak anak muda disibukkan dengan kegiatan ekstra untuk mendapatkan sertifikat kemampuan professional sehingga mereka jarang menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Hingga muncul budaya banyak anak muda Korsel lebih sering menyendiri.
Beberapa kampus di Korsel dan sekolah menengah mencoba mendidik mahasiswa dan siswa tentang kencan, cinta dan seks. Itu sebagai upaya untuk menentang budaya yang melarang pacaran. Bahkan, banyak kampus memberikan tugas agar mahasiswanya berkencan. Itu dilakukan demi masa depan Korsel.
Korsel tidak sendirian. Mereka masih memiliki kawan seperjuangan, yakni Jepang yang selama bertahun-tahun berjuang keras melawan populasi yang menua, penurunan jumlah tenaga kerja, dan rendahnya tingkat kelahiran. Kedua negara tersebut mengalami penurunan demografi sejak 1970-an. Pada 2065, populasi Jepang diperkirakan menurun dari 127 juta mencapai 88 juta.
Pada 2017, jumlah banyak yang lahir di Jepang hanya 950.000, padalah jumlah kematian mencapai 1,3 juta. Masalah yang dihadapi Jepang sama dengan Korsel yakni budaya kerja yang tidak sehat karena orang semakin sulit menyeimbangkan antara kerja dan kehidupan keluarga.
Sama seperti Korsel, Pemerintah Jepang telah mengeluarkan berbagai inisiatif untuk mengubah tren tersebut. Pada 2017, Jepang mengucurkan USD18 miliar untuk menggratiskan sekolah anak-anak dan memberikan bantuan bagi perawatan bayi. Bahkan, Jepang memberikan bantuan dana bagi pasangan yang melahirkan bayi.
Di salah satu kota pertanian di Jepang, keluarga yang melahirkan anak pertama akan mendapatkan USD879, anak kedua kembali mendapatkan USD1.335, dan USD3.518 untuk anak kelima dari keluarga yang sama. Sistem itu berjalan baik pada 2005-2014, tingkat kesuburan meningkat dua kali lipat di kota tersebut dari 1,4% menjadi 2,8%.
(don)