Pemimpin Hong Kong Carrie Lam Yakin Dapat Menangani Krisis

Rabu, 28 Agustus 2019 - 08:11 WIB
Pemimpin Hong Kong Carrie...
Pemimpin Hong Kong Carrie Lam Yakin Dapat Menangani Krisis
A A A
HONG KONG - Pemimpin Hong Kong Carrie Lam menyatakan kekerasan selama unjuk rasa antipemerintah Hong Kong menjadi semakin serius. Meski demikian, Lam menegaskan, Pemerintah Hong Kong yakin bisa mengatasinya sendiri. Pernyataan Lam itu muncul saat dia untuk pertama kali tampil ke publik sejak unjuk rasa yang berujung bentrok pada Minggu (25/8).

Kepolisian Hong Kong saat itu menembakkan meriam air dan gas air mata untuk meredam aksi unjuk rasa. Unjuk rasa itu menjadi krisis politik terbesar di Hong Kong sejak penyerahan kota tersebut ke China pada 1997 oleh Inggris. Otoritas China telah mengirim peringatan tegas bahwa intervensi bisa dilakukan untuk mengendalikan kekerasan.

Lam menyatakan tidak akan menyerah dalam membangun dialog. “Kita harus bersiap untuk rekonsiliasi dalam masyarakat melalui komunikasi dengan orang berbeda. Kita ingin mengakhiri situasi kacau di Hong Kong,” kata Lam yang tidak yakin dengan pendapat bahwa pemerintahannya telah kehilangan kontrol.

Lebih banyak unjuk rasa telah direncanakan dalam beberapa hari dan pekan mendatang. Aksi itu menjadi tantangan langsung bagi otoritas di Beijing yang akan memperingati ulang tahun ke-70 berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober. Beijing memperingatkan bahwa China menentang intervensi pemerintah asing dalam unjuk rasa di Hong Kong.

Pernyataan itu muncul setelah para pemimpin Grup Tujuh (G7) menyerukan agar kekerasan dapat dihindari di Hong Kong. “Beijing sangat kecewa dan menentang G7 yang membuat pernyataan dan gerakan tangan tanpa berpikir tentang masalah Hong Kong,” ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China Geng Shuang dilansir Reuters.

Saat mengunjungi Provinsi Guangdong dekat Hong Kong, Menteri Keamanan Publik Chian Zhao Kezhi menyatakan, China akan melumpuhkan aktivitas teroris kekerasan dan dengan tegas menjaga keamanan politik. Kerusuhan di pusat keuangan Asia itu terjadi sejak pertengahan Juni untuk menolak rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang dapat mengirim tersangka ke pengadilan di China.

Namun, unjuk rasa yang berlangsung 12 pekan itu kini berubah menjadi tuntutan demokrasi lebih luas berdasarkan kebijakan satu negara dua sistem yang ditetapkan setelah penyerahan Hong Kong ke China pada 1997.

Otoritas sejauh ini menolak lima tuntutan utama demonstran, yakni pencabutan RUU ekstradisi, pembentukan penyelidikan independen terkait unjuk rasa dan kebrutalan polisi, berhenti menyebut unjuk rasa itu sebagai perusuh, mencabut dakwaan pada demonstran yang ditahan, serta melaksanakan reformasi politik.

Sejak gerakan unjuk rasa itu terjadi, kepolisian Hong Kong telah menahan 883 orang, termasuk beberapa anak-anak yang paling muda berusia 12 tahun. Sebanyak 136 demonstran menghadapi dakwaan. Adapun 205 personel kepolisian terluka selama unjuk rasa. Pemerintah Hong Kong menyatakan kekerasan itu mendorong kota ke jurang bahaya besar.

Unjuk rasa itu terjadi saat Hong Kong mengalami resesi pertama dalam satu dekade. Saat ini semua indikasi pertumbuhan ekonomi mendapat tekanan besar. Sejumlah lembaga rating mengungkapkan berbagai pertanyaan jangka panjang tentang kualitas pemerintahan di Hong Kong.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0903 seconds (0.1#10.140)