Cegah Pemanasan Global, PBB Dorong Perubahan Diet
A
A
A
LONDON - Cara dunia mengelola lahan, memproduksi, dan mengonsumsi makanan, harus berubah untuk mengatasi pemanasan global.
Jika tak ada perubahan, maka keamanan pangan, kesehatan, dan keanekaragaman hayati akan terancam. Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu diluncurkan untuk menyoroti dampak perubahan iklim pada lahan.
Menurut laporan itu, pertumbuhan populasi global dan perubahan pola konsumsi telah mengakibatkan penggunaan lahan dan penggunaan air pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya. PBB menyerukan perubahan besar dalam pertanian dan pola makan.
Meski demikian, PBB tidak secara langsung menganjurkan menghindari makan daging. “Perubahan diet, berupa makanan berbasis tanaman dan makanan bersumber dari hewan yang berkelanjutan, dapat mengurangi penggunaan jutaan km persegi lahan pada 2050 dan berpotensi memangkas 0,7-8,0 gigaton per tahun karbon dioksida,” papar laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB (IPCC), di lansir Reuters.
Laporan IPCC menambahkan, “Menunda tindakan dapat mengakibatkan sejumlah dampak pada ekosistem yang dalam jangka panjang berpotensi mengakibatkan penambahan emisi dari ekosistem yang akan mempercepat pemanasan global.”
IPCC menggelar pertemuan untuk menyelesaikan laporan itu pekan ini di Jenewa, Swiss. Laporan itu akan membantu memandu cara menerapkan Kesepakatan Paris 2015 dan menghindari dampak terburuk perubahan iklim. IPCC akan menggelar konferensi di Cile untuk mendorong berbagai langkah tersebut.
Menjelang peluncuran laporan itu, para aktivis Greenpeace memasang spanduk di luar gedung pertemuan dengan tulisan “Kurangi Daging=Kurangi Panas. Aksi Iklim Sekarang!” Dalam rangkuman setebal 60 halaman untuk para pembuat kebijakan, IPCC menyatakan sejak masa praindustri, suhu udara di permukaan tanah telah naik hingga 1,53 derajat Celsius, dua kali dari kenaikan suhu rata-rata global 0,87 derajat Celsius.
Suhu sepanas itu telah mengakibatkan sejumlah gelombang panas, kekeringan, curah hujan tinggi, serta degradasi lahan dan terciptanya gurun. Penggunaan oleh manusia secara langsung memengaruhi lebih dari 70% secara global, permukaan lahan bebas es dan agrikultur mencakup 70% penggunaan air bersih.
Agrikultur, kehutanan, dan aktivitas penggunaan lahan lain nya mencakup 23% total emisi gas rumah kaca buatan manusia selama 2007-2016. Saat aktivitas pra dan pasca produksi dalam sistem makanan dimasukkan, maka akan naik menjadi 37%.
“Ini badai sempurna. Keterbatasan lahan, bertambahnya populasi manusia, dan semuanya dibungkus dalam selimut darurat iklim,” kata Profesor Dave Reay, pakar manajemen karbon di Universitas Edinburgh yang mengomentari laporan PBB tersebut.
Tahun lalu, dalam laporan khusus pertama IPCC, mereka telah memperingatkan bahwa menjaga kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat Celsius akan mempercepat perubahan dibandingkan target 2 derajat Celsius yang disebutkan dalam Kesepakatan Paris.
Laporan terbaru juga memperingatkan gangguan lebih banyak pada jaringan makanan global saat berbagai cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi akibat perubahan iklim. PBB memperkirakan peningkatan rata-rata 7,6% harga sereal pada 2050, memicu naiknya harga pangan dan meningkatkan risiko krisis pangan dan kelaparan.
Perubahan dalam pola konsumsi telah mengakibatkan sekitar 2 miliar orang dewasa sekarang mengalami obesitas. Selain itu, diperkirakan 821 juta orang masih mengalami gizi buruk.
Suplai per kapita untuk minyak sayur dan daging telah mencapai lebih dari dua kali lipat berdasarkan data sejak 1961, tapi saat ini sekitar 25- 30% makanan yang diproduksi dibuang atau menjadi sampah makanan. Hasil panen jagung dan gandum telah berkurang di beberapa wilayah.
Namun di wilayah lainnya, panen jagung, gandum, dan gula bit telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Lahan dapat menjadi sumber penghasil dan penyimpanan emisi karbondioksida.
Saat hutan dapat menyerap gas rumah kaca dari atmosfer, penggundulan hutan dan berubahnya hutan menjadi gurun dapat memperburuk pemanasan global akibat hilangnya tanaman dan erosi tanah. Berbagai langkah untuk memangkas emisi seperti produksi bahan bakar ramah lingkungan, arang ramah lingkungan dari biomass, serta penanaman pohon, juga akan meningkatkan ke butuhan untuk konversi lahan.
“Berkurangnya penggundulan hutan dan degradasi hutan dapat mengurangi 0,4-5,8 gigaton CO2,” ungkap laporan itu. Amazon yang 60% berada di Brasil merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia, tapi tidak secara langsung disebut dalam laporan itu.
Hutan hujan kadang disebut sebagai paru-paru dunia karena banyaknya karbon dioksida yang dapat diserap oleh pohon-pohon di sana. Sejak menjabat pada Januari, Presiden Brasil Jair Bolsonaro mendukung pembukaan hutan lindung di Amazon untuk agrikultur dan pertambangan. Kondisi ini sangat dikhawatirkan para aktivis lingkungan. (Syarifudin)
Jika tak ada perubahan, maka keamanan pangan, kesehatan, dan keanekaragaman hayati akan terancam. Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu diluncurkan untuk menyoroti dampak perubahan iklim pada lahan.
Menurut laporan itu, pertumbuhan populasi global dan perubahan pola konsumsi telah mengakibatkan penggunaan lahan dan penggunaan air pada level yang belum pernah terjadi sebelumnya. PBB menyerukan perubahan besar dalam pertanian dan pola makan.
Meski demikian, PBB tidak secara langsung menganjurkan menghindari makan daging. “Perubahan diet, berupa makanan berbasis tanaman dan makanan bersumber dari hewan yang berkelanjutan, dapat mengurangi penggunaan jutaan km persegi lahan pada 2050 dan berpotensi memangkas 0,7-8,0 gigaton per tahun karbon dioksida,” papar laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB (IPCC), di lansir Reuters.
Laporan IPCC menambahkan, “Menunda tindakan dapat mengakibatkan sejumlah dampak pada ekosistem yang dalam jangka panjang berpotensi mengakibatkan penambahan emisi dari ekosistem yang akan mempercepat pemanasan global.”
IPCC menggelar pertemuan untuk menyelesaikan laporan itu pekan ini di Jenewa, Swiss. Laporan itu akan membantu memandu cara menerapkan Kesepakatan Paris 2015 dan menghindari dampak terburuk perubahan iklim. IPCC akan menggelar konferensi di Cile untuk mendorong berbagai langkah tersebut.
Menjelang peluncuran laporan itu, para aktivis Greenpeace memasang spanduk di luar gedung pertemuan dengan tulisan “Kurangi Daging=Kurangi Panas. Aksi Iklim Sekarang!” Dalam rangkuman setebal 60 halaman untuk para pembuat kebijakan, IPCC menyatakan sejak masa praindustri, suhu udara di permukaan tanah telah naik hingga 1,53 derajat Celsius, dua kali dari kenaikan suhu rata-rata global 0,87 derajat Celsius.
Suhu sepanas itu telah mengakibatkan sejumlah gelombang panas, kekeringan, curah hujan tinggi, serta degradasi lahan dan terciptanya gurun. Penggunaan oleh manusia secara langsung memengaruhi lebih dari 70% secara global, permukaan lahan bebas es dan agrikultur mencakup 70% penggunaan air bersih.
Agrikultur, kehutanan, dan aktivitas penggunaan lahan lain nya mencakup 23% total emisi gas rumah kaca buatan manusia selama 2007-2016. Saat aktivitas pra dan pasca produksi dalam sistem makanan dimasukkan, maka akan naik menjadi 37%.
“Ini badai sempurna. Keterbatasan lahan, bertambahnya populasi manusia, dan semuanya dibungkus dalam selimut darurat iklim,” kata Profesor Dave Reay, pakar manajemen karbon di Universitas Edinburgh yang mengomentari laporan PBB tersebut.
Tahun lalu, dalam laporan khusus pertama IPCC, mereka telah memperingatkan bahwa menjaga kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat Celsius akan mempercepat perubahan dibandingkan target 2 derajat Celsius yang disebutkan dalam Kesepakatan Paris.
Laporan terbaru juga memperingatkan gangguan lebih banyak pada jaringan makanan global saat berbagai cuaca ekstrem menjadi lebih sering terjadi akibat perubahan iklim. PBB memperkirakan peningkatan rata-rata 7,6% harga sereal pada 2050, memicu naiknya harga pangan dan meningkatkan risiko krisis pangan dan kelaparan.
Perubahan dalam pola konsumsi telah mengakibatkan sekitar 2 miliar orang dewasa sekarang mengalami obesitas. Selain itu, diperkirakan 821 juta orang masih mengalami gizi buruk.
Suplai per kapita untuk minyak sayur dan daging telah mencapai lebih dari dua kali lipat berdasarkan data sejak 1961, tapi saat ini sekitar 25- 30% makanan yang diproduksi dibuang atau menjadi sampah makanan. Hasil panen jagung dan gandum telah berkurang di beberapa wilayah.
Namun di wilayah lainnya, panen jagung, gandum, dan gula bit telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Lahan dapat menjadi sumber penghasil dan penyimpanan emisi karbondioksida.
Saat hutan dapat menyerap gas rumah kaca dari atmosfer, penggundulan hutan dan berubahnya hutan menjadi gurun dapat memperburuk pemanasan global akibat hilangnya tanaman dan erosi tanah. Berbagai langkah untuk memangkas emisi seperti produksi bahan bakar ramah lingkungan, arang ramah lingkungan dari biomass, serta penanaman pohon, juga akan meningkatkan ke butuhan untuk konversi lahan.
“Berkurangnya penggundulan hutan dan degradasi hutan dapat mengurangi 0,4-5,8 gigaton CO2,” ungkap laporan itu. Amazon yang 60% berada di Brasil merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia, tapi tidak secara langsung disebut dalam laporan itu.
Hutan hujan kadang disebut sebagai paru-paru dunia karena banyaknya karbon dioksida yang dapat diserap oleh pohon-pohon di sana. Sejak menjabat pada Januari, Presiden Brasil Jair Bolsonaro mendukung pembukaan hutan lindung di Amazon untuk agrikultur dan pertambangan. Kondisi ini sangat dikhawatirkan para aktivis lingkungan. (Syarifudin)
(nfl)