Perusahaan Internasional Diduga Danai 'Operasi Brutal' Terhadap Rohingya
A
A
A
NEW YORK - Tim pencari fakta PBB dalam kasus Rohingya menyerukan agar dunia internasional menjatuhkan sanksi kepada sejumplah perusahaan yang ditengarai terkait dengan militer Myanmar. Terdapat hampir 60 perusahaan asing, termasuk perusahaan dari Eropa, yang diduga turut membantu mendanai operasi brutal militer Myanmar terhadap Rohingya.
Dalam sebuah laporan terbaru, tim pencari fakta PBB meminta dijatuhkannya sanksi kepada sejumlah perusahaan dan embargo penjualan senjata ke Myanmar.
"Pendapatan yang diperoleh militer dari transaksi bisnis domestik dan asing secara substansial meningkatkan kemampuannya untuk melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia dengan impunitas," kata tim pencari fakta PBB seperti dilansir dari Deutsche Welle, Selasa (6/8/2019).
Laporan itu mengidentifikasi setidaknya 59 perusahaan asing - termasuk perusahaan dari Perancis, Belgia, Swiss, Hong Kong dan Cina - yang berurusan dengan usaha yang terkait dengan tentara Myanmar. Laporan itu juga menyebutkan setidaknya 14 perusahaan yang telah menjual senjata kepada militer Myanmar, termasuk entitas milik negara di Israel, India, Korea Selatan (Korsel), dan China.
Laporan dari misi pencari fakta PBB berfokus pada dua perusahaan utama militer yaitu Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) dan Myanmar Economic Corp - perusahaan holding yang bergerak di berbagai industri, dari batu permata dan tembaga, hingga obat-obatan serta pakaian.
Panel PBB sebelumnya mengatakan para pemimpin militer yang bertanggung jawab atas dua perusahaan tersebut harus diselidiki karena kejahatan genosida dan perang.
Myanmar salah satu negara yang memiliki catatan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di kawasan Asia Tenggara dan transisi dari militer ke pemerintahan sipil selama dekade terakhir telah menarik bisnis asing. Namun, investor mendapat tekanan untuk memastikan mereka tidak secara tidak langsung membantu pelanggaran HAM.
Ketua tim pencari fakta PBB, Marzuki Darusman, menekankan bahwa masyarakat internasional perlu berbuat lebih banyak untuk mengekang dana militer, misalnya melalui sanksi dan dengan mendorong perusahaan asing untuk melakukan bisnis dengan entitas yang independen dari tentara.
"Ini akan mendorong berlanjutnya liberalisasi dan pertumbuhan ekonomi Myanmar, termasuk sektor sumber daya alamnya, tetapi dengan cara yang berkontribusi pada akuntabilitas, keadilan, dan transparansi bagi penduduknya," katanya.
Marzuki Darusman, ketua misi, mengatakan bahwa sementara mengisolasi militer, juga penting untuk mendukung seluruh perekonomian Myanmar.
"Menghapus Tatmadaw dari ekonomi Myanmar memerlukan dua pendekatan paralel. Selain mengisolasi Tatmadaw secara finansial, kita harus mempromosikan ikatan ekonomi dengan perusahaan dan bisnis non-Tatmadaw di Myanmar," katanya.
Misi ini juga menekankan bahwa memotong para jenderal secara finansial harus dilakukan pada saat yang sama dengan mengejar penuntutan terhadap mereka.
Kemajuan yang terakhir telah "sangat lambat" kata salah seorang anggota tim pencari fakta PBB Christopher Sidoti. Sementara ia didorong oleh keputusan AS baru-baru ini untuk melarang Min Aung Hlaing dan tiga jenderal lainnya dari bepergian ke negara itu, Sidoti mengatakan, itu sebagian besar adalah tindakan simbolis.
Dia menambahkan bahwa dia berharap laporan itu akan mendorong penyelidikan lebih lanjut terhadap aset militer oleh badan-badan PBB, jurnalis, LSM, dan lainnya.
AS, Uni Eropa, Australia, dan Kanada telah menjatuhkan sanksi pada perwira senior di Myanmar atas pembunuhan di negara bagian Rakhine. Pengadilan Kriminal Internasional, ICC, juga telah meluncurkan penyelidikan awal terhadap pelanggaran hak asasi.
PBB dan pemerintah Barat menuduh militer Myanmar melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan geng, pembakaran dan kekejaman lainnya selama tindakan keras militer pada 2017 lalu di negara bagian Rakhine. Kekerasan itu memaksa lebih dari 700.000 anggota minoritas Muslim Rohingya melarikan diri melewati perbatasan ke Bangladesh.
Pemerintah Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan pihaknya bereaksi terhadap serangan oleh gerilyawan Rohingya.
Dalam sebuah laporan terbaru, tim pencari fakta PBB meminta dijatuhkannya sanksi kepada sejumlah perusahaan dan embargo penjualan senjata ke Myanmar.
"Pendapatan yang diperoleh militer dari transaksi bisnis domestik dan asing secara substansial meningkatkan kemampuannya untuk melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia dengan impunitas," kata tim pencari fakta PBB seperti dilansir dari Deutsche Welle, Selasa (6/8/2019).
Laporan itu mengidentifikasi setidaknya 59 perusahaan asing - termasuk perusahaan dari Perancis, Belgia, Swiss, Hong Kong dan Cina - yang berurusan dengan usaha yang terkait dengan tentara Myanmar. Laporan itu juga menyebutkan setidaknya 14 perusahaan yang telah menjual senjata kepada militer Myanmar, termasuk entitas milik negara di Israel, India, Korea Selatan (Korsel), dan China.
Laporan dari misi pencari fakta PBB berfokus pada dua perusahaan utama militer yaitu Myanmar Economic Holdings Ltd (MEHL) dan Myanmar Economic Corp - perusahaan holding yang bergerak di berbagai industri, dari batu permata dan tembaga, hingga obat-obatan serta pakaian.
Panel PBB sebelumnya mengatakan para pemimpin militer yang bertanggung jawab atas dua perusahaan tersebut harus diselidiki karena kejahatan genosida dan perang.
Myanmar salah satu negara yang memiliki catatan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di kawasan Asia Tenggara dan transisi dari militer ke pemerintahan sipil selama dekade terakhir telah menarik bisnis asing. Namun, investor mendapat tekanan untuk memastikan mereka tidak secara tidak langsung membantu pelanggaran HAM.
Ketua tim pencari fakta PBB, Marzuki Darusman, menekankan bahwa masyarakat internasional perlu berbuat lebih banyak untuk mengekang dana militer, misalnya melalui sanksi dan dengan mendorong perusahaan asing untuk melakukan bisnis dengan entitas yang independen dari tentara.
"Ini akan mendorong berlanjutnya liberalisasi dan pertumbuhan ekonomi Myanmar, termasuk sektor sumber daya alamnya, tetapi dengan cara yang berkontribusi pada akuntabilitas, keadilan, dan transparansi bagi penduduknya," katanya.
Marzuki Darusman, ketua misi, mengatakan bahwa sementara mengisolasi militer, juga penting untuk mendukung seluruh perekonomian Myanmar.
"Menghapus Tatmadaw dari ekonomi Myanmar memerlukan dua pendekatan paralel. Selain mengisolasi Tatmadaw secara finansial, kita harus mempromosikan ikatan ekonomi dengan perusahaan dan bisnis non-Tatmadaw di Myanmar," katanya.
Misi ini juga menekankan bahwa memotong para jenderal secara finansial harus dilakukan pada saat yang sama dengan mengejar penuntutan terhadap mereka.
Kemajuan yang terakhir telah "sangat lambat" kata salah seorang anggota tim pencari fakta PBB Christopher Sidoti. Sementara ia didorong oleh keputusan AS baru-baru ini untuk melarang Min Aung Hlaing dan tiga jenderal lainnya dari bepergian ke negara itu, Sidoti mengatakan, itu sebagian besar adalah tindakan simbolis.
Dia menambahkan bahwa dia berharap laporan itu akan mendorong penyelidikan lebih lanjut terhadap aset militer oleh badan-badan PBB, jurnalis, LSM, dan lainnya.
AS, Uni Eropa, Australia, dan Kanada telah menjatuhkan sanksi pada perwira senior di Myanmar atas pembunuhan di negara bagian Rakhine. Pengadilan Kriminal Internasional, ICC, juga telah meluncurkan penyelidikan awal terhadap pelanggaran hak asasi.
PBB dan pemerintah Barat menuduh militer Myanmar melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan geng, pembakaran dan kekejaman lainnya selama tindakan keras militer pada 2017 lalu di negara bagian Rakhine. Kekerasan itu memaksa lebih dari 700.000 anggota minoritas Muslim Rohingya melarikan diri melewati perbatasan ke Bangladesh.
Pemerintah Myanmar membantah tuduhan itu dan mengatakan pihaknya bereaksi terhadap serangan oleh gerilyawan Rohingya.
(ian)