Pembuatan Bomber Siluman B-21 Angkatan Udara AS Dimulai
A
A
A
WASHINGTON - Kontraktor pertahanan, Northrop Grumman, telah memulai pembuatan bomber siluman Angkatan Udara Amerika Serikat (AS) generasi berikutnya, B-21 Raider. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Staf Angkatan Udara Jenderal David Goldfein dalam audiensi di Institut Mitchell untuk Studi Aerospace pada 9 Juli lalu.
“Kami memantau dengan seksama pembuatan pesawat uji tambahan dan perangkat lunak terkait untuk mendukung penerbangan pertama,” kata Goldfein, seperti dikutip Sputnik dari Warrior Maven, Kamis (18/7/2019).
Bomber B-21 akan menggantikan bomber B-2 Spirit yang menua. B-2 merupakan bomber siluman pertama yang diluncurkan pada tahun 1989 dan mulai beroperasi pada tahun 1997.
B-21 pertama diharapkan akan beroperasi pada tahun 2025, meskipun Angkatan Udara AS akan terus mengoperasikan 20 B-2 hingga 2032. Angkatan Udara berencana untuk memperoleh hingga 100 B-21.
Melengkapi B-21 akan menjadi rudal jelajah Long Range Stand Off (LRSO) Angkatan Udara yang akan datang, yang mampu membawa senjata nuklir.
"LRSO akan memberikan pengganda kekuatan yang efektif biaya untuk pembom nuklir kita," kata Goldfein.
"Ini sesuai jadwal untuk mencapai kemampuan operasi awal pada 2030," tukasnya.
Bomber B-21 Raider menampilkan desian sayap terbang yang sama dengan pendahulunya, sebuah bentuk dengan lapisan anti radar berteknologi tinggi, memberikan pesawat profil radar yang sangat rendah. Itu akan membantunya menyelinap ke wilayah musuh tanpa terdekteksi untuk mengirimkan senjata konvensional atau nuklir, lalu melarikan diri tanpa cacat dan bahkan mungkin tidak diketahui.
Dengan biaya yang diproyeksikan sekitar USD656 juta per pesawat, jenis kekebalan seperti itu menjadi sangat diperlukan secara finansial. Namun, B-21 Raiders harus mencari trik baru terhadap radar gelombang permukaan frekuensi tinggi (HFSWR) yang dipelopori oleh China, yang diklaim dapat mendeteksi pesawat siluman.
“Karena pesawat siluman modern, seperti F-35 dan F-22 AS, atau J-20 dan J-31 China, dirancang untuk bersembunyi dari sistem radar microwave yang banyak digunakan, mereka tidak memiliki perlindungan dari radar gelombang panjang,” Sputnik melaporkan bulan lalu, mengutip Liu Yongtan dari Akademi Ilmu Pengetahuan China dan Akademi Teknik China.
“Kami memantau dengan seksama pembuatan pesawat uji tambahan dan perangkat lunak terkait untuk mendukung penerbangan pertama,” kata Goldfein, seperti dikutip Sputnik dari Warrior Maven, Kamis (18/7/2019).
Bomber B-21 akan menggantikan bomber B-2 Spirit yang menua. B-2 merupakan bomber siluman pertama yang diluncurkan pada tahun 1989 dan mulai beroperasi pada tahun 1997.
B-21 pertama diharapkan akan beroperasi pada tahun 2025, meskipun Angkatan Udara AS akan terus mengoperasikan 20 B-2 hingga 2032. Angkatan Udara berencana untuk memperoleh hingga 100 B-21.
Melengkapi B-21 akan menjadi rudal jelajah Long Range Stand Off (LRSO) Angkatan Udara yang akan datang, yang mampu membawa senjata nuklir.
"LRSO akan memberikan pengganda kekuatan yang efektif biaya untuk pembom nuklir kita," kata Goldfein.
"Ini sesuai jadwal untuk mencapai kemampuan operasi awal pada 2030," tukasnya.
Bomber B-21 Raider menampilkan desian sayap terbang yang sama dengan pendahulunya, sebuah bentuk dengan lapisan anti radar berteknologi tinggi, memberikan pesawat profil radar yang sangat rendah. Itu akan membantunya menyelinap ke wilayah musuh tanpa terdekteksi untuk mengirimkan senjata konvensional atau nuklir, lalu melarikan diri tanpa cacat dan bahkan mungkin tidak diketahui.
Dengan biaya yang diproyeksikan sekitar USD656 juta per pesawat, jenis kekebalan seperti itu menjadi sangat diperlukan secara finansial. Namun, B-21 Raiders harus mencari trik baru terhadap radar gelombang permukaan frekuensi tinggi (HFSWR) yang dipelopori oleh China, yang diklaim dapat mendeteksi pesawat siluman.
“Karena pesawat siluman modern, seperti F-35 dan F-22 AS, atau J-20 dan J-31 China, dirancang untuk bersembunyi dari sistem radar microwave yang banyak digunakan, mereka tidak memiliki perlindungan dari radar gelombang panjang,” Sputnik melaporkan bulan lalu, mengutip Liu Yongtan dari Akademi Ilmu Pengetahuan China dan Akademi Teknik China.
(ian)