Eropa Desak Iran Patuhi Kesepakatan Nuklir
A
A
A
BRUSSELS - Negara-negara Eropa yang menjadi penandatangan dalam perjanjian nuklir 2015 mendesak Iran untuk tidak meningkatkan pengayaan uraniumnya. Desakan itu muncul ketika seorang utusan Prancis tiba di Teheran untuk meningkatkan upaya-upaya guna menyelamatkan perjanjian nuklir.
Kesepakatan antara Iran dan kekuatan dunia menjanjikan bantun sanksi, manfaat ekonomi dan mengakhiri isolasi internasional terhadap Iran dengan imbalan pembatasan ketat pada program nuklirnya.
Namun Teheran mengatakan telah kehilangan kesabaran. Iran menganggap negara-negara Eropa tidak bertidak lebih dari setahun setelah Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari perjanjian.
Negara-negara Eropa yang menandatangani kesepakatan itu bersama dengan kepala diplomatik Uni Eropa meminta Teheran untuk mematuhi perjanjian.
"Iran harus bertindak sesuai perjanjian dengan membalikkan kegiatan ini dan kembali mematuhi secara penuh JCPoA tanpa penundaan," bunyi pernyataan dari Uni Eropa dan menteri luar negeri Prancis, Jerman dan Inggris seperti dilansir dari AFP, Rabu (10/7/2019).
Menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang ditugaskan untuk melakukan inspeksi, Iran sementara secara konsisten memenuhi komitmennya di bawah kesepakatan tersebut hingga baru-baru ini, saat mereka melanggar dua komitmen perjanjian.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengirim penasihat diplomatik topnya ke Teheran setelah Iran mengumumkan pada hari Senin bahwa pihaknya telah melewati pengayaan uranium 4,5 persen. Angka itu di atas batas 3,67 persen di bawah perjanjian meskipun masih jauh di bawah 90 persen yang diperlukan untuk keperluan militer.
"Emmanuel Bonne tiba di ibukota Iran pada Selasa sore," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian.
Pertemuannya dengan Laksamana Muda Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, direncanakan pada Rabu pagi.
"Kedatanang Bonne adalah untuk mengumpulkan strategi deeskalasi," kantor kepresidenan Prancis mengatakan.
Kesepakatan 2015 telah digambarkan sebagai kemenangan diplomasi melawan unilateralisme dan langkah besar untuk melawan proliferasi.
Tetapi setelah AS menarik diri pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran, terutama pada sektor perbankan dan minyaknya, masa depan perjanjian itu menjadi tidak pasti.
Ketika ekonomi Iran jatuh bebas, Teheran menuntut agar pihak-pihak lain dalam kesepakatan itu, terutama Prancis, Jerman dan Inggris, memberikan keuntungan ekonomi yang dijanjikan dan membantunya melewati sanksi AS.
Pada bulan Mei, setahun setelah penarikan Trump, Presiden Hassan Rouhani mengatakan Iran akan membatalkan komitmennya di bawah kesepakatan secara bertahap setiap 60 hari dalam upaya untuk memaksa pihak lain untuk melakukan tawar-menawar.
Ketika ketegangan meningkat, AS mengirim kapal induk, pembom, dan pasukan tambahan ke wilayah itu untuk melawan ancaman yang dirasakan dari Iran.
Kesepakatan antara Iran dan kekuatan dunia menjanjikan bantun sanksi, manfaat ekonomi dan mengakhiri isolasi internasional terhadap Iran dengan imbalan pembatasan ketat pada program nuklirnya.
Namun Teheran mengatakan telah kehilangan kesabaran. Iran menganggap negara-negara Eropa tidak bertidak lebih dari setahun setelah Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) keluar dari perjanjian.
Negara-negara Eropa yang menandatangani kesepakatan itu bersama dengan kepala diplomatik Uni Eropa meminta Teheran untuk mematuhi perjanjian.
"Iran harus bertindak sesuai perjanjian dengan membalikkan kegiatan ini dan kembali mematuhi secara penuh JCPoA tanpa penundaan," bunyi pernyataan dari Uni Eropa dan menteri luar negeri Prancis, Jerman dan Inggris seperti dilansir dari AFP, Rabu (10/7/2019).
Menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang ditugaskan untuk melakukan inspeksi, Iran sementara secara konsisten memenuhi komitmennya di bawah kesepakatan tersebut hingga baru-baru ini, saat mereka melanggar dua komitmen perjanjian.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengirim penasihat diplomatik topnya ke Teheran setelah Iran mengumumkan pada hari Senin bahwa pihaknya telah melewati pengayaan uranium 4,5 persen. Angka itu di atas batas 3,67 persen di bawah perjanjian meskipun masih jauh di bawah 90 persen yang diperlukan untuk keperluan militer.
"Emmanuel Bonne tiba di ibukota Iran pada Selasa sore," kata Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian.
Pertemuannya dengan Laksamana Muda Ali Shamkhani, sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, direncanakan pada Rabu pagi.
"Kedatanang Bonne adalah untuk mengumpulkan strategi deeskalasi," kantor kepresidenan Prancis mengatakan.
Kesepakatan 2015 telah digambarkan sebagai kemenangan diplomasi melawan unilateralisme dan langkah besar untuk melawan proliferasi.
Tetapi setelah AS menarik diri pada Mei 2018 dan menerapkan kembali sanksi keras terhadap Iran, terutama pada sektor perbankan dan minyaknya, masa depan perjanjian itu menjadi tidak pasti.
Ketika ekonomi Iran jatuh bebas, Teheran menuntut agar pihak-pihak lain dalam kesepakatan itu, terutama Prancis, Jerman dan Inggris, memberikan keuntungan ekonomi yang dijanjikan dan membantunya melewati sanksi AS.
Pada bulan Mei, setahun setelah penarikan Trump, Presiden Hassan Rouhani mengatakan Iran akan membatalkan komitmennya di bawah kesepakatan secara bertahap setiap 60 hari dalam upaya untuk memaksa pihak lain untuk melakukan tawar-menawar.
Ketika ketegangan meningkat, AS mengirim kapal induk, pembom, dan pasukan tambahan ke wilayah itu untuk melawan ancaman yang dirasakan dari Iran.
(ian)