Proposal Amerika Serikat untuk Palestina Terancam Gagal
A
A
A
MANAMA - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta negara-negara Timur Tengah untuk memberikan dukungan rencana ekonomi sebagai fondasi perdamaian Israel-Palestina. Namun, rencana tersebut bisa mengalami kegagalan jika tidak didukung oleh Palestina dan negara-negara Arab lainnya.
Palestina dan banyak negara Arab mengabaikan rencana tersebut karena mengabaikan solusi politik untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung berabad-abad. Padahal, Palestina selalu menginginkan solusi politik, yakni “dua negara”, dalam konflik dengan Israel. Penasihat senior Presiden Trump dan menantunya, Jared Kushner, meminta Palestina untuk berpikir di luar “kotak tradisional” untuk jalur ekonomi yang menjadi syarat untuk perdamaian.
Direktur Operasional Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengungkapkan konflik di banyak negara menunjukkan kesulitan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Baik Israel maupun Palestina tidak menghadiri konferensi yang digelar pada Selasa malam (25/6) lalu. Berbeda sikap dengan Palestina, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, mengungkapkan pihaknya terbuka dengan proposal tersebut.
Di Gaza, kelompok pejuang Palestina, Hamas, dan rivalnya, gerakan Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas menggelar aksi untuk menolak konferensi yang berlangsung di Manama, Bahrain. Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengkritik negara Arab yang berpartisipasi dalam acara tersebut. Dia mengungkapkan, konferensi tersebut bertujuan untuk mengakhiri konflik Palestina dengan keuntungan ekonomi dan keuangan.
“Rakyat Palestina, yang telah bertempur selama seratus tahun, tidak akan menyerah kepada orang atau menawar. Yerusalem adalah milik kita, tanah ini adalah milik kita, dan segalanya adalah milik kita,” kata Haniyeh dilansir Reuters. Presiden Abbas mengungkapkan konferensi di Manama tidak akan sukses.
"Kita tidak akan menjadi budak atau pelayan bagi (Utusan Khusus Trump untuk negosiasi internasional) Jason Greenblatt, Kushner, dan (Duta Besar AS untuk Israel) David Friedman," katanya kepada jurnalis di Ramallah. Dia mengungkapkan, Palestina memang membutuhkan bantuan ekonomi, uang dan pendampingan. "Tapi sebelumnya terjadi, perlu solusi politik," katanya.
Aliansi utama AS, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, secara diam-diam mendukung rencana tersebut. Menteri Negara Arab Saudi Mohammed Al-Sheikh mengungkapkan rencana ekonomi AS itu bisa sukses jika melibatkan sektor swasta dan ada harapan perdamaian. “Saya sebenarnya percaya itu bisa dilaksanakan jika rakyat mempercayainya bisa dilaksanakan,” ujar Al-Sheikh.
Menurut dia, cara untuk meyakinkan masyarakat di lapangan agar memberikan mereka harapan bahwa rencana itu bisa dikerjakan secara berkelanjutan. “Itu bisa abadi dan bisa memberikan kesejahteraan serta mendorong pembangunan yang keberlanjutan,” papar Al-Sheikh. Namun demikian, banyak negara Arab yang belum bersikap seperti Yordania dan Mesir.
Dua negara Arab yang telah memiliki kesepakatan perdamaian dengan Israel hanya mengirimkan deputi menterinya ke konferensi tersebut. Ada sinyal kalau kedua negara tersebut masih bimbang dalam menentukan sikap. Pemerintah dan parlemen Libanon menentang rencana AS tersebut. Itu diungkapkan langsung dengan PM Libanon Saad al-Hariri kemarin.
Padahal, Libanon mendapatkan dana USD6 miliar untuk bantuan pemukiman permanen bagi Palestina yang telah tinggal di negara tersebut sejak pembentukan negara Israel pada 1948. “Pemerintah dan parlemen menentang kesepakatan dan konstitusi kita melarang naturalisasi,” kata Hariri. Dia mengungkapkan, rencana ekonomi tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu keseimbangan sektarian di negara tersebut.
Pemerintah Libanon sebenarnya diundang ke konferensi tersebut, namun mereka tidak mengirimkan perwakilan sama sekali. Ketua Parlemen Libanon Nabih Berri juga menentang inisiatif AS tersebut. “Orang yang berpikir bahwa pemberian miliaran dolar agar Libanon menggadaikan prinsip merupakan suatu hal yang salah,” kata Berri.
Hizbullah, kelompok bersenjata Libanon yang didukung Iran, juga mendeklarasikan rencana itu sebagai “kejahatan bersejarah” yang harus dihentikan. Dalam pandangan pakar Timur Tengah, David Mokovsky, kehadiran beberapa negara Teluk di Manama juga menunjukkan mereka ingin menjalin hubungan dekat dengan Israel. Itu disebabkan mereka memiliki musuh yakni Iran. “Yang jelas, mereka tidak ingin memotong rakyat Palestina dan melakukan sesuatu yang mereka tidak inginkan,” paparnya.
Sulit Dijual
Washington berharap negara-negara penghasil minyak di Teluk akan mendukung rencana tersebut. Itu dikarenakan rencana tersebut juga membutuhkan donor dan investor untuk berkontribusi terhadap rencana ekonomi senilai USD50 miliar bagi Palestina dan negara-negara Arab lainnya.
Menteri Negara Saudi Mohammed Al-Sheikh mengungkapkan rencana Kushner itu bisa memperkuat inklusi sektor-sektor swasta. Namun, dia mengungkapkan proposal itu sangat bergantung pada pendanaan negara. “Ketika saya menerima bahwa perdamaian itu hal yang esensial, mendukung rencana itu adalah harapan perdamaian yang didapatkan mereka,
Namun, pendekatan dengan mengutamakan ekonomi dalam proses perdamaian menjadikan hal itu sangat dijual. Apalagi, rencana itu tidak didukung rencana politik AS yang masih direncanakan. Riyadh menegaskan bahwa segala kesepakatan seharusnya berdasarkan inisiatif perdamaian yang dipimpin Saudi.
Inisiatif itu menyerukan negara Palestina harus sesuai dengan perbatasan sebelum pencaplokan Israel setelah perang Timur Tengah pada 1967. Saudi juga menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan mengembalikan hak para pengungsi. Namun, berbagai kesepakatan itu sepertinya akan ditolak mentah-mentah oleh Israel. Kushner sendiri mengungkapkan kalau rencana ekonomi tidak memasukkan inisiatif Arab.
Tidak jelas juga bagaimana penjelasan pemerintahan Trump mengabaikan “solusi dua negara” untuk penciptaan Negara Palestina yang merdeka dan berdampingan dengan Israel. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan banyak negara-negara mendukung solusi dua negara. Namun, pemerintahan Trump menolak untuk berkomitmen terhadap kesepakatan tersebut.
Berbagai isu yang belum diselesaikan adalah perbatasan, keamanan Israel, status Palestina, nasib permukiman Israel, dan kehadiran militer Israel di wilayah Palestina. Para pemimpin Palestina juga menolak bersentuhan dengan Gedung Putih karena terlalu berpihak kepada Israel. Ditambah lagi dengan konsensus internasional, Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017.
Sementara itu, IMF mengungkapkan tingkat pengangguran di Tepi Barat mencapai 30% dan 50% di Gaza. Adanya blokade Israel dan Mesir juga memperparah kondisi warga Palestina. Ditambah dengan blokade bantuan asing dan sanksi bagi Pemerintah Palestina dan Hamas. Sebelumnya, Kushner memaparkan rencana ekonomi untuk Palestina yang lebih sejahtera di masa depan jika berdamai dengan Israel.
Proposal itu termasuk investasi senilai USD50 miliar untuk Palestina dalam kurun waktu 10 tahun. Rencana ekonomi berjudul "Perdamaian menuju Kesejahteraan" menawarkan kerangka untuk masa depan Palestina yang lebih sejahtera. Kushner meyakini pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tidak bisa terwujud tanpa solusi politik yang adil terhadap konflik Israel dan Palestina.
Rencana tersebut memiliki penjelasan detail tentang berbagai proyek yang akan dilaksanakan. Itu termasuk membuka Jalur Barat dan Gaza ke pasar regional dan global. Itu termasuk proposal membangun koridor transportasi untuk Palestina dengan teritorial lainnya, baik jalur jalan dan kereta api dengan nilai proyek senilai USD5 miliar.
Kemudian, proyek untuk meningkatkan dan membangun jaringan listrik, air, dan telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi. Ada juga proyek untuk mendukung pertumbuhan kewirausahaan, bisnis skala kecil dan menengah, pariwisata, pertanian, perumahan, dan industri. Rencana ekonomi memperkuat pembangunan regional dan integrasi untuk memperkuat ekonomi Mesir, Israel, Yordania, dan Libanon.
“Visi ekonomi itu berkaitan untuk menyelesaikan seluruh konflik. Itu tidak akan membawa rakyat Israel dan Palestina semakin dekat. Karena itu, saya tidak optimistis dengan renca yang bisa diwujudkan secepatnya,” kata Mokovsky. Sementara itu, Oman kemarin menegaskan akan membuka misi diplomasi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Mereka akan mengirimkan delegasi dari kementerian luar negeri ke Ramallah untuk mewujudkan hal tersebut. “Sesuai dengan dukungan Kesultanan untuk persaudaraan dengan rakyat Palestina, sudah diputuskan untuk membuka misi diplomatik untuk Palestina di tingkat kedutaan,” kata Kementerian Luar Negeri Oman. Hanan Ashrawi, pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyambut keputusan tersebut dan pengakuan Palestina sebagai negara.
“Saya berharap kedutaan itu akan membantu dalam pendidikan pemerintahan Oma mengenai pendudukan Israel,” ujarnya. Oman selama ini dipandang sebagai negara netral seperti Swiss dalam berbagai diplomasi global. Oman pernah memediasi perundingan AS-Iran pada 2013 yang menghasilkan kesepakatan nuklir di Jenewa dua tahun kemudian. Mereka juga kerap menawarkan ide untuk mewujudkan perundingan Israel dan Palestina.
Palestina dan banyak negara Arab mengabaikan rencana tersebut karena mengabaikan solusi politik untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung berabad-abad. Padahal, Palestina selalu menginginkan solusi politik, yakni “dua negara”, dalam konflik dengan Israel. Penasihat senior Presiden Trump dan menantunya, Jared Kushner, meminta Palestina untuk berpikir di luar “kotak tradisional” untuk jalur ekonomi yang menjadi syarat untuk perdamaian.
Direktur Operasional Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengungkapkan konflik di banyak negara menunjukkan kesulitan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Baik Israel maupun Palestina tidak menghadiri konferensi yang digelar pada Selasa malam (25/6) lalu. Berbeda sikap dengan Palestina, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, mengungkapkan pihaknya terbuka dengan proposal tersebut.
Di Gaza, kelompok pejuang Palestina, Hamas, dan rivalnya, gerakan Fatah pimpinan Presiden Mahmoud Abbas menggelar aksi untuk menolak konferensi yang berlangsung di Manama, Bahrain. Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengkritik negara Arab yang berpartisipasi dalam acara tersebut. Dia mengungkapkan, konferensi tersebut bertujuan untuk mengakhiri konflik Palestina dengan keuntungan ekonomi dan keuangan.
“Rakyat Palestina, yang telah bertempur selama seratus tahun, tidak akan menyerah kepada orang atau menawar. Yerusalem adalah milik kita, tanah ini adalah milik kita, dan segalanya adalah milik kita,” kata Haniyeh dilansir Reuters. Presiden Abbas mengungkapkan konferensi di Manama tidak akan sukses.
"Kita tidak akan menjadi budak atau pelayan bagi (Utusan Khusus Trump untuk negosiasi internasional) Jason Greenblatt, Kushner, dan (Duta Besar AS untuk Israel) David Friedman," katanya kepada jurnalis di Ramallah. Dia mengungkapkan, Palestina memang membutuhkan bantuan ekonomi, uang dan pendampingan. "Tapi sebelumnya terjadi, perlu solusi politik," katanya.
Aliansi utama AS, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, secara diam-diam mendukung rencana tersebut. Menteri Negara Arab Saudi Mohammed Al-Sheikh mengungkapkan rencana ekonomi AS itu bisa sukses jika melibatkan sektor swasta dan ada harapan perdamaian. “Saya sebenarnya percaya itu bisa dilaksanakan jika rakyat mempercayainya bisa dilaksanakan,” ujar Al-Sheikh.
Menurut dia, cara untuk meyakinkan masyarakat di lapangan agar memberikan mereka harapan bahwa rencana itu bisa dikerjakan secara berkelanjutan. “Itu bisa abadi dan bisa memberikan kesejahteraan serta mendorong pembangunan yang keberlanjutan,” papar Al-Sheikh. Namun demikian, banyak negara Arab yang belum bersikap seperti Yordania dan Mesir.
Dua negara Arab yang telah memiliki kesepakatan perdamaian dengan Israel hanya mengirimkan deputi menterinya ke konferensi tersebut. Ada sinyal kalau kedua negara tersebut masih bimbang dalam menentukan sikap. Pemerintah dan parlemen Libanon menentang rencana AS tersebut. Itu diungkapkan langsung dengan PM Libanon Saad al-Hariri kemarin.
Padahal, Libanon mendapatkan dana USD6 miliar untuk bantuan pemukiman permanen bagi Palestina yang telah tinggal di negara tersebut sejak pembentukan negara Israel pada 1948. “Pemerintah dan parlemen menentang kesepakatan dan konstitusi kita melarang naturalisasi,” kata Hariri. Dia mengungkapkan, rencana ekonomi tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu keseimbangan sektarian di negara tersebut.
Pemerintah Libanon sebenarnya diundang ke konferensi tersebut, namun mereka tidak mengirimkan perwakilan sama sekali. Ketua Parlemen Libanon Nabih Berri juga menentang inisiatif AS tersebut. “Orang yang berpikir bahwa pemberian miliaran dolar agar Libanon menggadaikan prinsip merupakan suatu hal yang salah,” kata Berri.
Hizbullah, kelompok bersenjata Libanon yang didukung Iran, juga mendeklarasikan rencana itu sebagai “kejahatan bersejarah” yang harus dihentikan. Dalam pandangan pakar Timur Tengah, David Mokovsky, kehadiran beberapa negara Teluk di Manama juga menunjukkan mereka ingin menjalin hubungan dekat dengan Israel. Itu disebabkan mereka memiliki musuh yakni Iran. “Yang jelas, mereka tidak ingin memotong rakyat Palestina dan melakukan sesuatu yang mereka tidak inginkan,” paparnya.
Sulit Dijual
Washington berharap negara-negara penghasil minyak di Teluk akan mendukung rencana tersebut. Itu dikarenakan rencana tersebut juga membutuhkan donor dan investor untuk berkontribusi terhadap rencana ekonomi senilai USD50 miliar bagi Palestina dan negara-negara Arab lainnya.
Menteri Negara Saudi Mohammed Al-Sheikh mengungkapkan rencana Kushner itu bisa memperkuat inklusi sektor-sektor swasta. Namun, dia mengungkapkan proposal itu sangat bergantung pada pendanaan negara. “Ketika saya menerima bahwa perdamaian itu hal yang esensial, mendukung rencana itu adalah harapan perdamaian yang didapatkan mereka,
Namun, pendekatan dengan mengutamakan ekonomi dalam proses perdamaian menjadikan hal itu sangat dijual. Apalagi, rencana itu tidak didukung rencana politik AS yang masih direncanakan. Riyadh menegaskan bahwa segala kesepakatan seharusnya berdasarkan inisiatif perdamaian yang dipimpin Saudi.
Inisiatif itu menyerukan negara Palestina harus sesuai dengan perbatasan sebelum pencaplokan Israel setelah perang Timur Tengah pada 1967. Saudi juga menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan mengembalikan hak para pengungsi. Namun, berbagai kesepakatan itu sepertinya akan ditolak mentah-mentah oleh Israel. Kushner sendiri mengungkapkan kalau rencana ekonomi tidak memasukkan inisiatif Arab.
Tidak jelas juga bagaimana penjelasan pemerintahan Trump mengabaikan “solusi dua negara” untuk penciptaan Negara Palestina yang merdeka dan berdampingan dengan Israel. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan banyak negara-negara mendukung solusi dua negara. Namun, pemerintahan Trump menolak untuk berkomitmen terhadap kesepakatan tersebut.
Berbagai isu yang belum diselesaikan adalah perbatasan, keamanan Israel, status Palestina, nasib permukiman Israel, dan kehadiran militer Israel di wilayah Palestina. Para pemimpin Palestina juga menolak bersentuhan dengan Gedung Putih karena terlalu berpihak kepada Israel. Ditambah lagi dengan konsensus internasional, Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017.
Sementara itu, IMF mengungkapkan tingkat pengangguran di Tepi Barat mencapai 30% dan 50% di Gaza. Adanya blokade Israel dan Mesir juga memperparah kondisi warga Palestina. Ditambah dengan blokade bantuan asing dan sanksi bagi Pemerintah Palestina dan Hamas. Sebelumnya, Kushner memaparkan rencana ekonomi untuk Palestina yang lebih sejahtera di masa depan jika berdamai dengan Israel.
Proposal itu termasuk investasi senilai USD50 miliar untuk Palestina dalam kurun waktu 10 tahun. Rencana ekonomi berjudul "Perdamaian menuju Kesejahteraan" menawarkan kerangka untuk masa depan Palestina yang lebih sejahtera. Kushner meyakini pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tidak bisa terwujud tanpa solusi politik yang adil terhadap konflik Israel dan Palestina.
Rencana tersebut memiliki penjelasan detail tentang berbagai proyek yang akan dilaksanakan. Itu termasuk membuka Jalur Barat dan Gaza ke pasar regional dan global. Itu termasuk proposal membangun koridor transportasi untuk Palestina dengan teritorial lainnya, baik jalur jalan dan kereta api dengan nilai proyek senilai USD5 miliar.
Kemudian, proyek untuk meningkatkan dan membangun jaringan listrik, air, dan telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi. Ada juga proyek untuk mendukung pertumbuhan kewirausahaan, bisnis skala kecil dan menengah, pariwisata, pertanian, perumahan, dan industri. Rencana ekonomi memperkuat pembangunan regional dan integrasi untuk memperkuat ekonomi Mesir, Israel, Yordania, dan Libanon.
“Visi ekonomi itu berkaitan untuk menyelesaikan seluruh konflik. Itu tidak akan membawa rakyat Israel dan Palestina semakin dekat. Karena itu, saya tidak optimistis dengan renca yang bisa diwujudkan secepatnya,” kata Mokovsky. Sementara itu, Oman kemarin menegaskan akan membuka misi diplomasi di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Mereka akan mengirimkan delegasi dari kementerian luar negeri ke Ramallah untuk mewujudkan hal tersebut. “Sesuai dengan dukungan Kesultanan untuk persaudaraan dengan rakyat Palestina, sudah diputuskan untuk membuka misi diplomatik untuk Palestina di tingkat kedutaan,” kata Kementerian Luar Negeri Oman. Hanan Ashrawi, pejabat senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menyambut keputusan tersebut dan pengakuan Palestina sebagai negara.
“Saya berharap kedutaan itu akan membantu dalam pendidikan pemerintahan Oma mengenai pendudukan Israel,” ujarnya. Oman selama ini dipandang sebagai negara netral seperti Swiss dalam berbagai diplomasi global. Oman pernah memediasi perundingan AS-Iran pada 2013 yang menghasilkan kesepakatan nuklir di Jenewa dua tahun kemudian. Mereka juga kerap menawarkan ide untuk mewujudkan perundingan Israel dan Palestina.
(don)