Pemimpin Hong Kong Carrie Lam Dituntut Segera Mundur
A
A
A
HONG KONG - Ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalanan mengenakan baju berwarna hitam untuk menuntut pemimpin mereka, Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, agar mengundurkan diri. Demonstrasi itu digelar setelah Lam menunda rencana undang-undang (RUU) ekstradisi setelah demonstrasi yang berlangsung ricuh pekan lalu.
Sejumlah massa membawa karangan bunga dan membentangkan spanduk bertuliskan, “Jangan tembak, Kita warga Hong Kong”. Mereka ingin menghindari kerusuhan yang mengguncang pusat bisnis pada Rabu lalu ketika polisi menembaki para demonstran dengan peluru karet dan gas air mata. Para demonstran, termasuk keluarga muda dan manula, membentuk lautan manusia dengan memakai baju hitam.
Mereka berjalan ke pusat finansial Hong Kong dengan berjalan kaki karena frustrasi dan kemarahan terhadap pemimpin mereka, Carrie Lam. Teriakan ribuan demonstrasi menyerukan Lam untuk mengundurkan diri, “mundur,” demikian teriakan mereka. Para demonstrasi juga memprotes aparat keamanan yang bertindak berlebihan pada demonstrasi lalu karena lebih dari 70 orang terluka.
Lam yang didukung Beijing pada Sabtu (15/6) resmi menunda RUU ekstradisi yang bisa mengirim orang ke China daratan untuk disidang. Dia juga menunjukkan ekspresi sedih dan kecewa serta tidak menunjukkan permintaan maaf. Itu menjadi ketegangan politik paling penting selama pemerintahan Hong Kong sejak dikembalikan ke teritorial China pada 1997 dari Inggris.
Itu juga menunjukkan ketidakmampuan Lam dalam memimpin Hong Kong.
“Carrie Lam menolak meminta maaf. Itu tidak bisa diterima,” kata Catherine Cheung, 16, warga Hong Kong, kepada Reuters. “Dia adalah pemimpin mengerikan yang dipenuhi dengan kebohongan. Saya pikir dia hanya menunda RUU untuk menentangkan kita saja,” katanya.
Demonstran lainnya, Cindy Yip, tetap menuntut agar RUU ekstradisi dibatalkan. “Kita tidak percaya dengan dia (Lam) lagi. Dia harus mundur,” tuntutnya. Para kritikus menyatakan RUU ekstradisi bisa mengancam penegakan hukum Hong Kong dan reputasi internasional sebagai pusat keuangan Asia. Beberapa taipan Hong Kong juga mulai mengalihkan kekayaan pribadinya.
Pakar investasi David Webb mengungkapkan, jika Lam adalah saham, maka dia bisa memiliki nilai nol. “Dia (Lam) telah kehilangan kepercayaan publik,” ungkap Webb. Jika melihat respons publik saat ini, menurut dia, Lam harus menjauhkan RUU tersebut.
Namun demikian, Beijing tetap memberikan dukungan kepada Lam. Harian milik Partai Komunis China, People’s Daily, mengungkapkan dukungan pemerintah pusat untuk Lam. Mereka juga mengecam kekuatan asing yang menggelorakan gerakan anti-China di Hong Kong. “Beberapa orang di Hong Kong bergantung dengan orang asing dan bergantung anak muda yang menjadi pion kekuatan asing anti-China,” tulis editorial People’s Daily.
Para demonstran meramaikan Hong Kong dan menjadi krisis politik setelah “Occupy” pernah mengundang negara kota itu pada 2014 lalu. Ketegangan itu terjadi di masa sulit bagi Beijing yang menghadapi eskalasi perang dagang dengan AS dan konflik di Laut China Selatan.
Beijing juga menyensor berita demonstrasi di Hong Kong karena khawatir memicu aksi di China daratan. Kericuhan yang terjadi di pusat keuangan pada Rabu lalu menjadi berita utama dan memaksa banyak kantor serta pusat bisnis tutup. Para aktivis kemarin memasang spanduk dan poster yang meminta aparat keamanan tidak bertindak kejam.
“Hentikan penembakan terhadap rakyat tak bersalah,” dan “Gunakan otakmu, kekerasan itu gila”. Sebelum berdemonstrasi, para penunjuk rasa mengheningkan cipta untuk mengenang seorang aktivis yang meninggal karena terjatuh di lokasi demonstrasi pada Sabtu lalu.
Di Taiwan, sekitar 5.000 orang berdemonstrasi di gedung parlemen di Taipei. Mereka membentangkan spanduk, “Menolak UU Ekstradisi China” dan “Taiwan mendukung Hong Kong”. Beberapa demonstran di Hong Kong juga mengibarkan bendera Taiwan.
Sistem hukum independen Hong Kong memberikan jaminan pada komunitas diplomatik dan bisnis untuk tetap mempertahankan aset dari sentuhan Beijing. Hong Kong menjalankan pemerintahan dengan sistem “satu negara, dua sistem” dan mendapatkan kebebasan yang tidak diperoleh warga China daratan.
Tetapi, warga Hong Kong tidak bisa melaksanakan pemungutan suara secara demokratis. Banyak kritikus menyatakan Beijing telah ikut campur terhadap Hong Kong, termasuk merusak sistem reformasi dan mengintervensi pemilu. China juga dituduh menjadi dalang hilangnya lima penjual buku berbasis di Hong Kong sejak 2015 karena kerap mengkritik pemimpin China.
Kubu oposisi Hong Kong menyatakan penundaan RUU ekstradisi belumlah cukup. Mereka tetap menginginkan Lam untuk mundur. “Jika dia (Lam) menolak untuk membatalkan RUU kontroversial, kita tidak boleh beristirahat. Jika dia bertahan, kita juga akan bertahan (berdemonstrasi),” kata anggota parlemen prodemokrasi, Claudia Mo.
Ketika ditanya, apakah Lam akan mengundurkan diri, dia menghindari menjawab pertanyaan langsung. “Beri kita kesempatan lain,” ungkap Lam. Dia mengungkapkan, dirinya adalah seorang pegawai negara yang bekerja selama beberapa dekade. Dia pun mengaku masih ingin bekerja.
Lam masih membela diri tentang RUU ekstradisi. “UU ekstradisi masih diperlukan untuk mencegah para kriminal menjadi Hong Kong sebagai tempat persembunyian,” ujar Lam. Dia mengklaim hak asasi manusia (HAM) akan dilindungi oleh pengadilan kota yang memutuskan ekstradisi juga akan dilaksanakan kasus per kasus.
Para pengacara dan kelompok pemerhati HAM juga menentang RUU tersebut. Perlawanan terhadap Lam juga didukung Kamar Dagang Amerika yang menentang RUU ekstradisi dan pemerintahan asing lainnya. “Lam membutuhkan perahu kecil karena dia telah menenggelamkan Titanic,” ujar seorang diplomat kepada Reuters.
Dorongan China untuk menggolkan RUU ekstradisi juga diungkap harian Hong Kong, Sing Tao. Mereka melaporkan Lama menggelar pertemuan rahasia dengan Wakil Perdana Menteri (PM) China Han Zheng di Shenzhen pada Kamis lalu. Isi pertemuan tersebut belum diketahui. Lam menolak berkomentar mengenai pertemuan itu.
Dalam pandangan Steve Tsang, pakar politik berbasis di London mengungkapkan, Lam bisa menyebabkan hal memalukan bagi Presiden China Xi Jinping saat ini. Insiden di Hong Kong, kata Tsang, tidak akan membantu menyelesaikan ketegangan perang dagang dengan AS menjelang KTT G20 di Jepang akhir bulan ini. “Xi bukan seorang pemimpin yang menoleransi kegagalan para pejabatnya,” katanya.
Sejumlah massa membawa karangan bunga dan membentangkan spanduk bertuliskan, “Jangan tembak, Kita warga Hong Kong”. Mereka ingin menghindari kerusuhan yang mengguncang pusat bisnis pada Rabu lalu ketika polisi menembaki para demonstran dengan peluru karet dan gas air mata. Para demonstran, termasuk keluarga muda dan manula, membentuk lautan manusia dengan memakai baju hitam.
Mereka berjalan ke pusat finansial Hong Kong dengan berjalan kaki karena frustrasi dan kemarahan terhadap pemimpin mereka, Carrie Lam. Teriakan ribuan demonstrasi menyerukan Lam untuk mengundurkan diri, “mundur,” demikian teriakan mereka. Para demonstrasi juga memprotes aparat keamanan yang bertindak berlebihan pada demonstrasi lalu karena lebih dari 70 orang terluka.
Lam yang didukung Beijing pada Sabtu (15/6) resmi menunda RUU ekstradisi yang bisa mengirim orang ke China daratan untuk disidang. Dia juga menunjukkan ekspresi sedih dan kecewa serta tidak menunjukkan permintaan maaf. Itu menjadi ketegangan politik paling penting selama pemerintahan Hong Kong sejak dikembalikan ke teritorial China pada 1997 dari Inggris.
Itu juga menunjukkan ketidakmampuan Lam dalam memimpin Hong Kong.
“Carrie Lam menolak meminta maaf. Itu tidak bisa diterima,” kata Catherine Cheung, 16, warga Hong Kong, kepada Reuters. “Dia adalah pemimpin mengerikan yang dipenuhi dengan kebohongan. Saya pikir dia hanya menunda RUU untuk menentangkan kita saja,” katanya.
Demonstran lainnya, Cindy Yip, tetap menuntut agar RUU ekstradisi dibatalkan. “Kita tidak percaya dengan dia (Lam) lagi. Dia harus mundur,” tuntutnya. Para kritikus menyatakan RUU ekstradisi bisa mengancam penegakan hukum Hong Kong dan reputasi internasional sebagai pusat keuangan Asia. Beberapa taipan Hong Kong juga mulai mengalihkan kekayaan pribadinya.
Pakar investasi David Webb mengungkapkan, jika Lam adalah saham, maka dia bisa memiliki nilai nol. “Dia (Lam) telah kehilangan kepercayaan publik,” ungkap Webb. Jika melihat respons publik saat ini, menurut dia, Lam harus menjauhkan RUU tersebut.
Namun demikian, Beijing tetap memberikan dukungan kepada Lam. Harian milik Partai Komunis China, People’s Daily, mengungkapkan dukungan pemerintah pusat untuk Lam. Mereka juga mengecam kekuatan asing yang menggelorakan gerakan anti-China di Hong Kong. “Beberapa orang di Hong Kong bergantung dengan orang asing dan bergantung anak muda yang menjadi pion kekuatan asing anti-China,” tulis editorial People’s Daily.
Para demonstran meramaikan Hong Kong dan menjadi krisis politik setelah “Occupy” pernah mengundang negara kota itu pada 2014 lalu. Ketegangan itu terjadi di masa sulit bagi Beijing yang menghadapi eskalasi perang dagang dengan AS dan konflik di Laut China Selatan.
Beijing juga menyensor berita demonstrasi di Hong Kong karena khawatir memicu aksi di China daratan. Kericuhan yang terjadi di pusat keuangan pada Rabu lalu menjadi berita utama dan memaksa banyak kantor serta pusat bisnis tutup. Para aktivis kemarin memasang spanduk dan poster yang meminta aparat keamanan tidak bertindak kejam.
“Hentikan penembakan terhadap rakyat tak bersalah,” dan “Gunakan otakmu, kekerasan itu gila”. Sebelum berdemonstrasi, para penunjuk rasa mengheningkan cipta untuk mengenang seorang aktivis yang meninggal karena terjatuh di lokasi demonstrasi pada Sabtu lalu.
Di Taiwan, sekitar 5.000 orang berdemonstrasi di gedung parlemen di Taipei. Mereka membentangkan spanduk, “Menolak UU Ekstradisi China” dan “Taiwan mendukung Hong Kong”. Beberapa demonstran di Hong Kong juga mengibarkan bendera Taiwan.
Sistem hukum independen Hong Kong memberikan jaminan pada komunitas diplomatik dan bisnis untuk tetap mempertahankan aset dari sentuhan Beijing. Hong Kong menjalankan pemerintahan dengan sistem “satu negara, dua sistem” dan mendapatkan kebebasan yang tidak diperoleh warga China daratan.
Tetapi, warga Hong Kong tidak bisa melaksanakan pemungutan suara secara demokratis. Banyak kritikus menyatakan Beijing telah ikut campur terhadap Hong Kong, termasuk merusak sistem reformasi dan mengintervensi pemilu. China juga dituduh menjadi dalang hilangnya lima penjual buku berbasis di Hong Kong sejak 2015 karena kerap mengkritik pemimpin China.
Kubu oposisi Hong Kong menyatakan penundaan RUU ekstradisi belumlah cukup. Mereka tetap menginginkan Lam untuk mundur. “Jika dia (Lam) menolak untuk membatalkan RUU kontroversial, kita tidak boleh beristirahat. Jika dia bertahan, kita juga akan bertahan (berdemonstrasi),” kata anggota parlemen prodemokrasi, Claudia Mo.
Ketika ditanya, apakah Lam akan mengundurkan diri, dia menghindari menjawab pertanyaan langsung. “Beri kita kesempatan lain,” ungkap Lam. Dia mengungkapkan, dirinya adalah seorang pegawai negara yang bekerja selama beberapa dekade. Dia pun mengaku masih ingin bekerja.
Lam masih membela diri tentang RUU ekstradisi. “UU ekstradisi masih diperlukan untuk mencegah para kriminal menjadi Hong Kong sebagai tempat persembunyian,” ujar Lam. Dia mengklaim hak asasi manusia (HAM) akan dilindungi oleh pengadilan kota yang memutuskan ekstradisi juga akan dilaksanakan kasus per kasus.
Para pengacara dan kelompok pemerhati HAM juga menentang RUU tersebut. Perlawanan terhadap Lam juga didukung Kamar Dagang Amerika yang menentang RUU ekstradisi dan pemerintahan asing lainnya. “Lam membutuhkan perahu kecil karena dia telah menenggelamkan Titanic,” ujar seorang diplomat kepada Reuters.
Dorongan China untuk menggolkan RUU ekstradisi juga diungkap harian Hong Kong, Sing Tao. Mereka melaporkan Lama menggelar pertemuan rahasia dengan Wakil Perdana Menteri (PM) China Han Zheng di Shenzhen pada Kamis lalu. Isi pertemuan tersebut belum diketahui. Lam menolak berkomentar mengenai pertemuan itu.
Dalam pandangan Steve Tsang, pakar politik berbasis di London mengungkapkan, Lam bisa menyebabkan hal memalukan bagi Presiden China Xi Jinping saat ini. Insiden di Hong Kong, kata Tsang, tidak akan membantu menyelesaikan ketegangan perang dagang dengan AS menjelang KTT G20 di Jepang akhir bulan ini. “Xi bukan seorang pemimpin yang menoleransi kegagalan para pejabatnya,” katanya.
(don)