India Dominasi Kursi CEO di Perusahaan Multinasional Dunia
A
A
A
NEW YORK - Selain memproduksi barang, India juga mengekspor sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dengan kapabilitas manajerial dan penguasaan bahasa Inggris yang baik, bangsa India bahkan mendominasi kursi CEO di perusahaan multinasional. Dua di antaranya yang sangat menonjol adalah CEO Google Sundar Pichai dan CEO Microsoft Satya Nadella. Masih banyak orang berkebangsaan India yang mampu duduk di kursi eksekutif perusahaan-perusahaan raksasa dunia.
Sebut saja Sanjay Kumar Jha (CEO Global Foundries), Shantanu Narayen (CEO Adobe), Nikesh Arora (CEO Softbank Internet and Media Inc), Francisco D’Souza (CEO Cognizant), Dinesh Paliwal (CEO Harman International), Sanjay Mehrota (CEO SanDisk), dan Rajeev Suri (CEO Nokia).
Jumlah bangsa India yang menduduki jabatan CEO di perusahaan papan atas dunia memang terus tumbuh sejak satu dekade lalu. Berdasarkan hasil studi Egon Zehnder dalam S&P 500, bangsa India mendominasi kursi CEO, kecuali dibandingkan dengan AS. Kesimpulan serupa juga diambil Sekolah Bisnis Internasional Eropa.
Pendiri CareerNet, Anshuman Das, mengatakan fenomena itu tidak terlepas dari skala operasi dan bisnis perusahaan multinasional di India. “Jika kalian melihat perusahaan seperti Pepsi, Hewlett-Packard, atau IBM, karyawannya mayoritas dari India. Karena itu, pemimpinnya juga dari India,” kata Das seperti dikutip TIME.
Bangsa India yang sukses di perusahaan asing memiliki kelebihan masing-masing. Namun, secara umum, mereka disebut lebih bersahabat, terbiasa dengan keberagaman, mudah beradaptasi, dan sangat percaya diri. Sama seperti bangsa China, mereka juga menyebar ke seluruh sudut dunia.
Tidak seperti bangsa AS dan China, bangsa India sangat pandai melakukan negosiasi dengan para birokrat dan politisi. Skill itu sangat diperlukan di negara maju dan berkembang. Liberalisasi ekonomi di India yang dimulai pada 1991 juga berperan mencetak generasi yang kuat. Mereka belajar berdiri di kaki sendiri.
“Kami harus belajar berkompetisi dengan pemain lokal dan asing,” terang pebisnis Vindi Banga. Vindi yang pernah menjadi CEO Unilever Hindustan mengatakan produk Unilever, Surf sempat kalah dari merek lokal, Nirma. Dia dituntut mampu menciptakan produk yang lebih baik dengan harga yang rasional.
Berdasarkan statistik Apex Recruiter, sebanyak 75 CEO di dalam daftar Fortune 500 AS merupakan orang asing, 10 di antaranya berasal dari India, mayoritas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebuah studi pada 2005 juga menunjukkan 1/3 dari total insinyur di Silicon Valley dan 7% CEO IT berasal dari India.
Namun bangsa India bukanlah bangsa asing yang mendominasi kursi CEO di dalam daftar Fortune 500 AS. Sesuai observasi Universitas Harvard, bangsa India (30%) kalah dari Belgia (60%), Australia (56%), Swiss (33%), dan Inggris (32%). Meski demikian bangsa India lebih unggul daripada China, Rusia, dan Jepang.
Konsultan IT Tencent, Mike Wu, tidak membantah kapabilitas manajerial bangsa India kuat dan baik. Tapi bangsa China dan Jepang juga tidak kalah pamornya. “Meski Jepang tidak mengekspor CEO sebanyak India, manajerialnya tetap patut diteladani. Selain itu bangsa China dan Jepang menekuni sektor di luar IT,” kata Wu.
Berdasarkan kajian Universitas Harvard, proporsi startup teknologi di Silicon Valley yang dipimpin bangsa India naik dari 7% pada 1980-an menjadi 13% pada 1990-an. Programmer Sina, David Yang, mengatakan bangsa India sangat pandai, antusias, dan dedikatif dalam mengembangkan perangkat lunak.
Sebagian besar CEO ternama dari India, baik Satya Nadella ataupun Sundar Pichai, mendapatkan pendidikan dan pengalaman manajemen di luar India. Berkebalikan dengan India, bangsa China yang tumbuh di luar negeri kembali ke negaranya untuk mengembangkan SDM lokal dan membuka bisnis baru.
“Sejak India merdeka pada 1947, ada banyak masalah manajemen mengingat situasi domestik saat itu rumit, mulai dari sengketa keberagaman etnik, agama hingga bahasa. Situasi ini mencetak generasi yang kuat. Bangsa India menjadi amat pandai melakukan manajemen dan komunikasi daripada China,” kata Wang.
Ironisnya bangsa India yang sudah memiliki jabatan tinggi di perusahaan asing lebih sulit dipanggil pulang ke negaranya. Alasannya gaji di India jauh lebih kecil. Adapun gaji di China dan perusahaan AS hampir setara. Berdasarkan studi Towers Watson pada 2014, gaji eksekutif di China dua kali lipat daripada di India.
Para pebisnis di India mengatakan lingkungan bisnis di India kurang menarik dan sulit akibat korupsi dan sumber daya yang terbatas. Sebaliknya China menjadi surga startup. Dengan didukung pemerintah, bangsa China mampu membangun perusahaan besar seperti Baidu, Alibaba, Sina, Weibo, Didi.
Salah satu pendiri Google, Larry Page, mengaku beruntung memiliki orang secerdas Sundar Pichai di Google. “Saya telah bertemu dengannya cukup lama dan membimbingnya semampu saya. Saya tentu akan terus melakukannya,” tulis Page di dalam blognya setelah menunjuk Pichai sebagai CEO pada tahun 2015.
Sebagai CEO, Pichai bertanggung jawab dalam berbagai proyek utama, mulai dari mesin pencari, iklan, peta, aplikasi hingga Android. Alumnus The Wharton School itu bergabung dengan Google sejak 2004. Saat itu dia bertanggung jawab dalam pengelolaan produk dan inovasi, terutama Google Chrome dan Drive.
Sebelum menjadi bagian dari Google, Pichai bekerja di McKinsey & Company. Tidak berbeda jauh dengan Pichai, Satya Nadella juga dipercaya para pendiri Microsoft. Sejak bergabung pada 1992, dia disebut berhasil mentransformasi bisnis Microsoft. “Posisi ini benar-benar di luar perkiraan,” kata Nadella.
Majalah Forbes menobatkan Nadella sebagai orang paling berpengaruh ke-72 di dunia. Alumni Jurusan Teknik Komunikasi dan Elektronik Institut Teknologi Manipal itu melanjutkan kuliah di bidang Ilmu Komputer di Universitas Wisconsin dan Universitas Chicago. Dia pernah menjadi staf teknologi Sun Microsystems.
Sebut saja Sanjay Kumar Jha (CEO Global Foundries), Shantanu Narayen (CEO Adobe), Nikesh Arora (CEO Softbank Internet and Media Inc), Francisco D’Souza (CEO Cognizant), Dinesh Paliwal (CEO Harman International), Sanjay Mehrota (CEO SanDisk), dan Rajeev Suri (CEO Nokia).
Jumlah bangsa India yang menduduki jabatan CEO di perusahaan papan atas dunia memang terus tumbuh sejak satu dekade lalu. Berdasarkan hasil studi Egon Zehnder dalam S&P 500, bangsa India mendominasi kursi CEO, kecuali dibandingkan dengan AS. Kesimpulan serupa juga diambil Sekolah Bisnis Internasional Eropa.
Pendiri CareerNet, Anshuman Das, mengatakan fenomena itu tidak terlepas dari skala operasi dan bisnis perusahaan multinasional di India. “Jika kalian melihat perusahaan seperti Pepsi, Hewlett-Packard, atau IBM, karyawannya mayoritas dari India. Karena itu, pemimpinnya juga dari India,” kata Das seperti dikutip TIME.
Bangsa India yang sukses di perusahaan asing memiliki kelebihan masing-masing. Namun, secara umum, mereka disebut lebih bersahabat, terbiasa dengan keberagaman, mudah beradaptasi, dan sangat percaya diri. Sama seperti bangsa China, mereka juga menyebar ke seluruh sudut dunia.
Tidak seperti bangsa AS dan China, bangsa India sangat pandai melakukan negosiasi dengan para birokrat dan politisi. Skill itu sangat diperlukan di negara maju dan berkembang. Liberalisasi ekonomi di India yang dimulai pada 1991 juga berperan mencetak generasi yang kuat. Mereka belajar berdiri di kaki sendiri.
“Kami harus belajar berkompetisi dengan pemain lokal dan asing,” terang pebisnis Vindi Banga. Vindi yang pernah menjadi CEO Unilever Hindustan mengatakan produk Unilever, Surf sempat kalah dari merek lokal, Nirma. Dia dituntut mampu menciptakan produk yang lebih baik dengan harga yang rasional.
Berdasarkan statistik Apex Recruiter, sebanyak 75 CEO di dalam daftar Fortune 500 AS merupakan orang asing, 10 di antaranya berasal dari India, mayoritas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebuah studi pada 2005 juga menunjukkan 1/3 dari total insinyur di Silicon Valley dan 7% CEO IT berasal dari India.
Namun bangsa India bukanlah bangsa asing yang mendominasi kursi CEO di dalam daftar Fortune 500 AS. Sesuai observasi Universitas Harvard, bangsa India (30%) kalah dari Belgia (60%), Australia (56%), Swiss (33%), dan Inggris (32%). Meski demikian bangsa India lebih unggul daripada China, Rusia, dan Jepang.
Konsultan IT Tencent, Mike Wu, tidak membantah kapabilitas manajerial bangsa India kuat dan baik. Tapi bangsa China dan Jepang juga tidak kalah pamornya. “Meski Jepang tidak mengekspor CEO sebanyak India, manajerialnya tetap patut diteladani. Selain itu bangsa China dan Jepang menekuni sektor di luar IT,” kata Wu.
Berdasarkan kajian Universitas Harvard, proporsi startup teknologi di Silicon Valley yang dipimpin bangsa India naik dari 7% pada 1980-an menjadi 13% pada 1990-an. Programmer Sina, David Yang, mengatakan bangsa India sangat pandai, antusias, dan dedikatif dalam mengembangkan perangkat lunak.
Sebagian besar CEO ternama dari India, baik Satya Nadella ataupun Sundar Pichai, mendapatkan pendidikan dan pengalaman manajemen di luar India. Berkebalikan dengan India, bangsa China yang tumbuh di luar negeri kembali ke negaranya untuk mengembangkan SDM lokal dan membuka bisnis baru.
“Sejak India merdeka pada 1947, ada banyak masalah manajemen mengingat situasi domestik saat itu rumit, mulai dari sengketa keberagaman etnik, agama hingga bahasa. Situasi ini mencetak generasi yang kuat. Bangsa India menjadi amat pandai melakukan manajemen dan komunikasi daripada China,” kata Wang.
Ironisnya bangsa India yang sudah memiliki jabatan tinggi di perusahaan asing lebih sulit dipanggil pulang ke negaranya. Alasannya gaji di India jauh lebih kecil. Adapun gaji di China dan perusahaan AS hampir setara. Berdasarkan studi Towers Watson pada 2014, gaji eksekutif di China dua kali lipat daripada di India.
Para pebisnis di India mengatakan lingkungan bisnis di India kurang menarik dan sulit akibat korupsi dan sumber daya yang terbatas. Sebaliknya China menjadi surga startup. Dengan didukung pemerintah, bangsa China mampu membangun perusahaan besar seperti Baidu, Alibaba, Sina, Weibo, Didi.
Salah satu pendiri Google, Larry Page, mengaku beruntung memiliki orang secerdas Sundar Pichai di Google. “Saya telah bertemu dengannya cukup lama dan membimbingnya semampu saya. Saya tentu akan terus melakukannya,” tulis Page di dalam blognya setelah menunjuk Pichai sebagai CEO pada tahun 2015.
Sebagai CEO, Pichai bertanggung jawab dalam berbagai proyek utama, mulai dari mesin pencari, iklan, peta, aplikasi hingga Android. Alumnus The Wharton School itu bergabung dengan Google sejak 2004. Saat itu dia bertanggung jawab dalam pengelolaan produk dan inovasi, terutama Google Chrome dan Drive.
Sebelum menjadi bagian dari Google, Pichai bekerja di McKinsey & Company. Tidak berbeda jauh dengan Pichai, Satya Nadella juga dipercaya para pendiri Microsoft. Sejak bergabung pada 1992, dia disebut berhasil mentransformasi bisnis Microsoft. “Posisi ini benar-benar di luar perkiraan,” kata Nadella.
Majalah Forbes menobatkan Nadella sebagai orang paling berpengaruh ke-72 di dunia. Alumni Jurusan Teknik Komunikasi dan Elektronik Institut Teknologi Manipal itu melanjutkan kuliah di bidang Ilmu Komputer di Universitas Wisconsin dan Universitas Chicago. Dia pernah menjadi staf teknologi Sun Microsystems.
(don)