Teheran Kesal AS Sebar Hoax Soal Bom Atom
A
A
A
TEHERAN - Wakil Presiden Pertama Iran, Eshaq Jahangiri, menyalahkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump karena memberi isyarat jika Teheran berniat untuk mendapatkan senjata nuklir.
"Musuh kita telah berbohong selama 20 tahun bahwa Iran ingin membuat bom atom. Tentu saja, IAEA (Badan Energi Atom Internasional) dan badan-badan lainnya telah berulang kali mengunjungi Iran, pembicaraan ekstensif diadakan dan 6 kekuatan dunia (kelompok 5 + 1) mengakui bahwa Iran tidak akan menuju ke bom nuklir," kata Jahangiri seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (29/5/2019).
Dia menggarisbawahi bahwa IAEA mengunjungi Iran beberapa kali, menyajikan 14 laporan bahwa Iran belum memiliki pengalihan terhadap senjata nuklir. Dia juga memperingatkan AS dan sekutunya terhadap konflik militer dengan Teheran, mendesak Washington untuk menghentikan tekanan terhadap Iran dan meningkatkan keamanan regional.
Jahangiri tampaknya merujuk pada pernyataan sebelumnya tentang Iran oleh Donald Trump yang dibuat setelah pembicaraannya dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Tokyo awal pekan ini.
"Saya sama sekali tidak ingin menyakiti Iran. Saya ingin Iran mengatakan, 'tidak ada senjata nuklir'," kata Trump kala itu.
"Tidak ada yang ingin melihat hal-hal buruk terjadi, terutama saya," imbuhnya.
Pada saat yang sama, Trump mengkonfirmasi kesiapan AS untuk duduk bersama Iran.
"Saya percaya bahwa Iran ingin berbicara, dan jika mereka ingin berbicara, kami juga ingin berbicara," ujarnya menekankan.
Dalam perkembangan terpisah, Duta Besar Iran untuk Prancis Bahram Qassemi menekankan bahwa senjata nuklir tidak pernah memiliki tempat dalam doktrin pertahanan Republik Islam Iran.
Dia ingat bahwa sifat damai dari program nuklir Iran dan dorongan negara untuk tidak mencari senjata atom disebutkan secara khusus dalam dekrit agama yang dikeluarkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Seperti Jahangiri, Qassemi juga mengutip 14 laporan IAEA berturut-turut yang menegaskan kepatuhan Teheran terhadap kesepakatan nuklir Iran 2015, yang juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Pada 8 Mei 2018, Presiden AS Donald Trump mengumumkan penarikan sepihak Washington dari JCPOA, dan kemudian memberlakukan sanksi ekonomi yang ketat terhadap Iran.
Tepat satu tahun kemudian, Teheran mengumumkan bahwa mereka akan mundur dari beberapa komitmen "sukarela" di bawah kesepakatan Iran, memberikan waktu bagi para penandatangan perjanjian asal Eropa 60 hari guna memastikan bahwa kepentingan Iran dilindungi berdasarkan perjanjian tersebut, sebuah langkah yang memperburuk ketegangan AS-Iran.
Setelah Washington memberlakukan lebih banyak sanksi anti-Iran yang ditujukan pada sektor-sektor besi, baja, aluminium, dan tembaga, AS mengerahkan sebuah kapal induk dan satuan tugas pembom ke Timur Tengah untuk menghadapi apa yang Gedung Putih gambarkan sebagai ancaman yang berasal dari Iran.
Teheran telah berulang kali membantah tuduhan itu, mengecam tindakan AS itu sebagai "perang psikologis" dan menyatakan kesiapan untuk membalas terhadap potensi operasi militer.
"Musuh kita telah berbohong selama 20 tahun bahwa Iran ingin membuat bom atom. Tentu saja, IAEA (Badan Energi Atom Internasional) dan badan-badan lainnya telah berulang kali mengunjungi Iran, pembicaraan ekstensif diadakan dan 6 kekuatan dunia (kelompok 5 + 1) mengakui bahwa Iran tidak akan menuju ke bom nuklir," kata Jahangiri seperti dikutip dari Sputnik, Rabu (29/5/2019).
Dia menggarisbawahi bahwa IAEA mengunjungi Iran beberapa kali, menyajikan 14 laporan bahwa Iran belum memiliki pengalihan terhadap senjata nuklir. Dia juga memperingatkan AS dan sekutunya terhadap konflik militer dengan Teheran, mendesak Washington untuk menghentikan tekanan terhadap Iran dan meningkatkan keamanan regional.
Jahangiri tampaknya merujuk pada pernyataan sebelumnya tentang Iran oleh Donald Trump yang dibuat setelah pembicaraannya dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Tokyo awal pekan ini.
"Saya sama sekali tidak ingin menyakiti Iran. Saya ingin Iran mengatakan, 'tidak ada senjata nuklir'," kata Trump kala itu.
"Tidak ada yang ingin melihat hal-hal buruk terjadi, terutama saya," imbuhnya.
Pada saat yang sama, Trump mengkonfirmasi kesiapan AS untuk duduk bersama Iran.
"Saya percaya bahwa Iran ingin berbicara, dan jika mereka ingin berbicara, kami juga ingin berbicara," ujarnya menekankan.
Dalam perkembangan terpisah, Duta Besar Iran untuk Prancis Bahram Qassemi menekankan bahwa senjata nuklir tidak pernah memiliki tempat dalam doktrin pertahanan Republik Islam Iran.
Dia ingat bahwa sifat damai dari program nuklir Iran dan dorongan negara untuk tidak mencari senjata atom disebutkan secara khusus dalam dekrit agama yang dikeluarkan oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Seperti Jahangiri, Qassemi juga mengutip 14 laporan IAEA berturut-turut yang menegaskan kepatuhan Teheran terhadap kesepakatan nuklir Iran 2015, yang juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Pada 8 Mei 2018, Presiden AS Donald Trump mengumumkan penarikan sepihak Washington dari JCPOA, dan kemudian memberlakukan sanksi ekonomi yang ketat terhadap Iran.
Tepat satu tahun kemudian, Teheran mengumumkan bahwa mereka akan mundur dari beberapa komitmen "sukarela" di bawah kesepakatan Iran, memberikan waktu bagi para penandatangan perjanjian asal Eropa 60 hari guna memastikan bahwa kepentingan Iran dilindungi berdasarkan perjanjian tersebut, sebuah langkah yang memperburuk ketegangan AS-Iran.
Setelah Washington memberlakukan lebih banyak sanksi anti-Iran yang ditujukan pada sektor-sektor besi, baja, aluminium, dan tembaga, AS mengerahkan sebuah kapal induk dan satuan tugas pembom ke Timur Tengah untuk menghadapi apa yang Gedung Putih gambarkan sebagai ancaman yang berasal dari Iran.
Teheran telah berulang kali membantah tuduhan itu, mengecam tindakan AS itu sebagai "perang psikologis" dan menyatakan kesiapan untuk membalas terhadap potensi operasi militer.
(ian)