China Ogah Bergabung dengan Perjanjian Kontrol Senjata
A
A
A
BEIJING - China telah menampik kemungkinan bergabug dengan perundingan perjanjian kontrol senjata trilateral dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Beijing terutama menyoroti sikap AS yang gagal memegang komitmen internasionalnya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, memperingatkan ketidakstabilan dan ketidakpastian keamanan strategis internasional menunjukkan bagaimana sebuah negara besar telah menarik diri dari sebuah perjanjian dan mekanisme internasional sementara yang lainnya membangun kekuatan nuklir dan misilnya sendiri.
Pernyataan itu muncul saat Presiden AS, Donald Trump, berusaha membuat Beijing untuk bergabung dengan perjanjian non-proliferasi baru ketika Washington meninggalkan yang sebelumnya dengan Moskow.
Lu berpendapat bahwa langkah-langkah semacam itu berdampak pada stabilitas global, mengikis rasa saling percaya strategis antara negara-negara besar dan melemahkan mekanisme kontrol senjata internasional. Dia mengatakan China dan Rusia sama-sama percaya bahwa mereka perlu memperkuat perencanaan kerja sama strategis, mematuhi multilateralisme, dengan tegas memeriksa kecenderungan negatif dan melawan bahaya unilateralisme.
"Mengenai negosiasi trilateral tentang pengendalian senjata, posisi China jelas," ucap Lu.
"Premis dan dasar untuk negosiasi kontrol senjata trilateral tidak ada sama sekali dan China tidak akan pernah berpartisipasi di dalamnya," tegasnya seperti dikutip dari Newsweek, Rabu (22/5/2019).
Gedung Putih menarik diri dari Traktat Nuklir Jarak Menengah (INF) 1987 pada Februari lalu. Perjanjian itu melarang AS dan Rusia mengerahkan rudal-rudal berbasis darat dengan jarak antara 310 dan 3.420 mil. Washington berargumen bahwa rudal Novator 9M729 Moskow melanggar batasan perjanjian, sementara para pejabat Rusia menolak tudingan ini dan menyatakan bahwa sistem pertahanan Aegis Ashore Pentagon di Eropa Timur dapat digunakan untuk tindakan ofensif, sehingga melanggar perjanjian.
Meskipun China bukan pihak dalam perjanjian itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China lainnya, Geng Shuang, menyebut langkah AS pada saat itu patut disesalkan dan memperingatkan hal itu bisa memicu serangkaian konsekuensi yang merugikan.
Ditanya apakah China akan bergabung dengan INF baru, Geng mengatakan langkah seperti itu melibatkan serangkaian masalah kompleks yang meliputi bidang politik, militer dan hukum, yang menarik perhatian dari banyak negara.
"Apa yang penting pada saat ini adalah untuk menegakkan dan mengimplementasikan perjanjian yang ada alih-alih membuat yang baru," cetus Geng.
"Rusia juga percaya bahwa AS harus terus memenuhi kewajiban internasionalnya dan sepenuhnya memahami posisi China dalam negosiasi kontrol senjata trilateral," ujar Geng lebih lanjut.
AS dan China sudah terkunci dalam perang dagang yang semakin mendalam yang menyebabkan masing-masing negara dengan ekonomi miliaran dolar dan Beijing — yang diyakini memiliki senjata nuklir jauh lebih sedikit daripada Moskow dan Washington — telah menunjukkan sedikit minat untuk mengadakan perundingan tentang potensi kesepakatan kontrol senjata.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, memperingatkan ketidakstabilan dan ketidakpastian keamanan strategis internasional menunjukkan bagaimana sebuah negara besar telah menarik diri dari sebuah perjanjian dan mekanisme internasional sementara yang lainnya membangun kekuatan nuklir dan misilnya sendiri.
Pernyataan itu muncul saat Presiden AS, Donald Trump, berusaha membuat Beijing untuk bergabung dengan perjanjian non-proliferasi baru ketika Washington meninggalkan yang sebelumnya dengan Moskow.
Lu berpendapat bahwa langkah-langkah semacam itu berdampak pada stabilitas global, mengikis rasa saling percaya strategis antara negara-negara besar dan melemahkan mekanisme kontrol senjata internasional. Dia mengatakan China dan Rusia sama-sama percaya bahwa mereka perlu memperkuat perencanaan kerja sama strategis, mematuhi multilateralisme, dengan tegas memeriksa kecenderungan negatif dan melawan bahaya unilateralisme.
"Mengenai negosiasi trilateral tentang pengendalian senjata, posisi China jelas," ucap Lu.
"Premis dan dasar untuk negosiasi kontrol senjata trilateral tidak ada sama sekali dan China tidak akan pernah berpartisipasi di dalamnya," tegasnya seperti dikutip dari Newsweek, Rabu (22/5/2019).
Gedung Putih menarik diri dari Traktat Nuklir Jarak Menengah (INF) 1987 pada Februari lalu. Perjanjian itu melarang AS dan Rusia mengerahkan rudal-rudal berbasis darat dengan jarak antara 310 dan 3.420 mil. Washington berargumen bahwa rudal Novator 9M729 Moskow melanggar batasan perjanjian, sementara para pejabat Rusia menolak tudingan ini dan menyatakan bahwa sistem pertahanan Aegis Ashore Pentagon di Eropa Timur dapat digunakan untuk tindakan ofensif, sehingga melanggar perjanjian.
Meskipun China bukan pihak dalam perjanjian itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China lainnya, Geng Shuang, menyebut langkah AS pada saat itu patut disesalkan dan memperingatkan hal itu bisa memicu serangkaian konsekuensi yang merugikan.
Ditanya apakah China akan bergabung dengan INF baru, Geng mengatakan langkah seperti itu melibatkan serangkaian masalah kompleks yang meliputi bidang politik, militer dan hukum, yang menarik perhatian dari banyak negara.
"Apa yang penting pada saat ini adalah untuk menegakkan dan mengimplementasikan perjanjian yang ada alih-alih membuat yang baru," cetus Geng.
"Rusia juga percaya bahwa AS harus terus memenuhi kewajiban internasionalnya dan sepenuhnya memahami posisi China dalam negosiasi kontrol senjata trilateral," ujar Geng lebih lanjut.
AS dan China sudah terkunci dalam perang dagang yang semakin mendalam yang menyebabkan masing-masing negara dengan ekonomi miliaran dolar dan Beijing — yang diyakini memiliki senjata nuklir jauh lebih sedikit daripada Moskow dan Washington — telah menunjukkan sedikit minat untuk mengadakan perundingan tentang potensi kesepakatan kontrol senjata.
(ian)