Pakar Teror Khawatir 45.000 Anak ISIS Menjadi Pembom Bunuh Diri
A
A
A
BRUSSELS - Sekitar 45.000 anak tanpa kewarganegaraan lahir dari para militan Islamic State atau ISIS ketika kelompok itu masih berjaya di Irak dan Suriah. Para pakar terorisme khawatir ribuan anak tanpa kewarganegaraan itu akan menjadi pembom bunuh diri di berbagai tempat di seluruh dunia.
Koordinator Kontraterorisme Uni Eropa, Gilles de Kerchove, mengatakan sebagian besar anak-anak itu melarikan diri setelah kekhalifahan ISIS runtuh dan berisiko menjadi generasi "jihadis" fanatik berikutnya.
Gilles de Kerchove memperingatkan bahwa sebagian besar anak-anak muda tersebut seperti "bom waktu" yang suatu hari bisa meledak di seluruh dunia.
Anak-anak itu diberi akta kelahiran oleh ISIS ketika kelompok itu berjaya. Namun, dokumen-dokumen itu sekarang tidak berharga. Mereka berpotensi ditolak sekolah, mengakses perawatan medis, pekerjaan dan hak untuk menikah ketika mereka dewasa.
Penolakan itu bisa memicu kemarahan mereka dan berpotensi memicu kematian.
Gilles de Kerchove yang berbicara dalam sebuah konferensi di Roma telah mendengar de-radikalisasi wanita ISIS telah menjadi kunci untuk menghindari serangan teroris lebih lanjut di Eropa.
Peringatan pakar itu muncul ketika negara-negara Barat berusaha memblokir para militan ISIS dan keluarganya pulang karena khawatir mereka menimbulkan risiko serius bagi keselamatan publik.
Di antara anak-anak itu, paling tidak 730 orang dilahirkan oleh militan perempuan asing, termasuk warga negara Inggris, selama ISIS berjaya.
Sebuah laporan oleh King's College London, menemukan 145 dari 850 warga negara Inggris yang bergabung dengan ISIS adalah wanita. Laporan itu meremehkan kemungkinan ancaman serangan di Inggris dari para wanira tersebut.
Angka 45.000 anak itu merupakan perkiraan awal. Para pakar mengatakan jumlahnya bisa meningkat drastis.
Lebih dari 30.000 warga Irak diperkirakan akan kembali dari kamp-kamp di Suriah, di mana 90 persen dari mereka adalah istri dan anak-anak militan ISIS.
"Terlepas dari latar belakang mereka, memiliki generasi anak yang tumbuh tanpa kewarganegaraan bukan jalan menuju stabilitas di Irak," kata Alexandra Saieh, pejabt dari Dewan Pengungsi Norwegia.
Di Irak, ada sekitar 100.000 orang yang ada dalam daftar hitam pemerintah karena dicurigai memiliki hubungan dengan ISIS. Menurut Human Rights Watch, mereka akan berjuang untuk mendapatkan dokumen identitas untuk anak-anaknya.
Farhad Khosrokhavar, seorang pakar radikalisasi, mengatakan; “Ada iklim pembalasan. ‘Anda telah melukai kami dan kami akan melukai Anda' adalah pesannya."
"Di masa depan kita akan memiliki masalah besar jika kita tidak mengatasi masalah itu," ujarnya, seperti dikutip Daily Star, Kamis (9/5/2019).
Koordinator Kontraterorisme Uni Eropa, Gilles de Kerchove, mengatakan sebagian besar anak-anak itu melarikan diri setelah kekhalifahan ISIS runtuh dan berisiko menjadi generasi "jihadis" fanatik berikutnya.
Gilles de Kerchove memperingatkan bahwa sebagian besar anak-anak muda tersebut seperti "bom waktu" yang suatu hari bisa meledak di seluruh dunia.
Anak-anak itu diberi akta kelahiran oleh ISIS ketika kelompok itu berjaya. Namun, dokumen-dokumen itu sekarang tidak berharga. Mereka berpotensi ditolak sekolah, mengakses perawatan medis, pekerjaan dan hak untuk menikah ketika mereka dewasa.
Penolakan itu bisa memicu kemarahan mereka dan berpotensi memicu kematian.
Gilles de Kerchove yang berbicara dalam sebuah konferensi di Roma telah mendengar de-radikalisasi wanita ISIS telah menjadi kunci untuk menghindari serangan teroris lebih lanjut di Eropa.
Peringatan pakar itu muncul ketika negara-negara Barat berusaha memblokir para militan ISIS dan keluarganya pulang karena khawatir mereka menimbulkan risiko serius bagi keselamatan publik.
Di antara anak-anak itu, paling tidak 730 orang dilahirkan oleh militan perempuan asing, termasuk warga negara Inggris, selama ISIS berjaya.
Sebuah laporan oleh King's College London, menemukan 145 dari 850 warga negara Inggris yang bergabung dengan ISIS adalah wanita. Laporan itu meremehkan kemungkinan ancaman serangan di Inggris dari para wanira tersebut.
Angka 45.000 anak itu merupakan perkiraan awal. Para pakar mengatakan jumlahnya bisa meningkat drastis.
Lebih dari 30.000 warga Irak diperkirakan akan kembali dari kamp-kamp di Suriah, di mana 90 persen dari mereka adalah istri dan anak-anak militan ISIS.
"Terlepas dari latar belakang mereka, memiliki generasi anak yang tumbuh tanpa kewarganegaraan bukan jalan menuju stabilitas di Irak," kata Alexandra Saieh, pejabt dari Dewan Pengungsi Norwegia.
Di Irak, ada sekitar 100.000 orang yang ada dalam daftar hitam pemerintah karena dicurigai memiliki hubungan dengan ISIS. Menurut Human Rights Watch, mereka akan berjuang untuk mendapatkan dokumen identitas untuk anak-anaknya.
Farhad Khosrokhavar, seorang pakar radikalisasi, mengatakan; “Ada iklim pembalasan. ‘Anda telah melukai kami dan kami akan melukai Anda' adalah pesannya."
"Di masa depan kita akan memiliki masalah besar jika kita tidak mengatasi masalah itu," ujarnya, seperti dikutip Daily Star, Kamis (9/5/2019).
(mas)