Wanita Tersubur di Dunia, Punya 44 Anak dan Mengasuhnya Sendirian
A
A
A
KAMPALA - Mariam Nabatanzi dari Uganda layak dijuluki sebagai wanita paling subur dan paling hebat di dunia. Ia mempunyai 44 anak yang luar biasa dan harus membesarkan mereka semua sendirian.
Nabatanzi menikah pada usia 12 tahun dengan suaminya yang saat itu berusia 40 tahun. Ia kemudian dianugerahi anak kembar pertama setahun kemudian.
Setelah pasangan kembar pertamanya lahir, Nabatanzi pergi ke dokter yang memberi tahu bahwa dirinya memiliki ovarium besar yang tidak biasa. Dokter itu kemudian menasehatinya bahwa KB, seperti pil, dapat menyebabkan masalah kesehatan sehingga ia terus hamil.
Keluarga besar sangat umum di Afrika dengan wanita di Uganda rata-rata melahirkan 5 atau 6 anak, salah satu tingkat kelahiran tertinggi di benua itu menurut Bank Dunia. Tetapi, bahkan di Uganda, keluarga Nabatanzi dianggap besar.
Pada saat ia berusia 23 tahun, Nabatanzi telah memiliki 25 anak. Putusa asa, ia kembali menemui dokter untuk menghentikannya. Sekali lagi, dia disarankan untuk tetap hamil karena jumlah ovariumnya sangat tinggi.
Kehamilan terakhirnya, dua setengah tahun yang lalu, mengalami komplikasi. Dia melahirkan anak kembar keenamnya, tetapi sayangnya salah satu dari mereka meninggal selama persalinan.
Kemudian suaminya, yang sering pergi dalam waktu lama, sering absen dalam waktu lama - meninggalkannya. Namanya sekarang adalah kutukan keluarga dan Nabatanzi kerap bersumpah serapah setiap kali dia merujuk padanya.
"Saya tumbuh dengan menangis, suami saya telah melewati saya dengan banyak penderitaan. Seluruh waktu saya dihabiskan untuk merawat anak-anak saya dan bekerja untuk mendapatkan uang," ujarnya seperti dikutip dari Mirror, Sabtu (27/4/2019).
Dengan begitu banyaknya mulut yang harus diberi makan, Nabatanzi bekerja serabutan. Dia telah bekerja sebagai penata rambut dan dekorator acara. Ia juga mengumpulkan dan menjual besi tua, membuat gin lokal dan menjual obat-obatan herbal.
Sebagian besar gajinya dihabiskan untuk memberi makan keluarga besarnya, perawatan medis, pakaian dan biaya sekolah untuk memastikan anak-anaknya mempunyai awal kehidupan yang baik.
Di dinding yang kotor di salah satu kamar rumahnya tergantung potret yang membanggakan bergambar beberapa anaknya lulus dari sekolah, perada emas di leher mereka.
Anak tertuanya, Ivan Kibuka, harus putus sekolah untuk membantu membesarkan keluarga.
"Ibu kewalahan, pekerjaannya menghancurkannya, kami membantu di mana kami bisa, seperti memasak dan mencuci, tetapi ia masih menanggung seluruh beban untuk keluarga. Saya merasakannya," tutur perempuan berusia 23 tahun itu.
Ibu Mariam meninggalkannya, ayahnya dan lima saudara kandungnya tiga hari setelah ia dilahirkan. Setelah ayahnya menikah lagi, ibu tirinya meracuni kelima anak yang lebih tua dengan gelas hancur dicampur dalam makanan mereka. Mereka semua mati.
Nabatanzi mengatakan hanya dia yang selamat karena pada saat itu tengah mengunjungi kerabat.
"Saya berusia tujuh tahun saat itu, terlalu muda untuk mengerti apa arti kematian sebenarnya. "Aku diberitahu oleh kerabat apa yang terjadi," ungkapnya.
Tragedi mengerikan ini memicu keinginannya untuk memiliki keluarga besar, meskipun dia awalnya berharap cukup enam anak saja.
Menyediakan rumah untuk 38 anak muda adalah tantangan yang konstan. Dua belas anak tidur di ranjang susun logam dengan kasur tipis di satu ruangan kecil dengan dinding berlapis debu. Di kamar lain, anak-anak menumpuk di atas kasur bersama sementara yang lain tidur di lantai tanah.
Anak-anak yang lebih besar membantu merawat yang muda dan semua orang membantu mengerjakan tugas-tugas seperti memasak.
"Sehari bisa membutuhkan 25 kilogram tepung jagung," kata Nabatanzi. Ikan atau daging adalah makanan langka.
Daftar nama di papan kayu kecil yang dipaku di dinding menjelaskan tugas mencuci atau memasak yang harus dilakukan anak-anaknya.
"Pada hari Sabtu kita semua bekerja bersama," demikian bunyinya.
Setelah mengalami masa kanak-kanak yang begitu sulit, harapan terbesar Nabatanzi sekarang adalah agar anak-anaknya bahagia.
"Saya mulai mengambil tanggung jawab orang dewasa pada tahap awal. Kurasa, aku belum memiliki kesenangan sejak aku dilahirkan," tukasnya.
Nabatanzi menikah pada usia 12 tahun dengan suaminya yang saat itu berusia 40 tahun. Ia kemudian dianugerahi anak kembar pertama setahun kemudian.
Setelah pasangan kembar pertamanya lahir, Nabatanzi pergi ke dokter yang memberi tahu bahwa dirinya memiliki ovarium besar yang tidak biasa. Dokter itu kemudian menasehatinya bahwa KB, seperti pil, dapat menyebabkan masalah kesehatan sehingga ia terus hamil.
Keluarga besar sangat umum di Afrika dengan wanita di Uganda rata-rata melahirkan 5 atau 6 anak, salah satu tingkat kelahiran tertinggi di benua itu menurut Bank Dunia. Tetapi, bahkan di Uganda, keluarga Nabatanzi dianggap besar.
Pada saat ia berusia 23 tahun, Nabatanzi telah memiliki 25 anak. Putusa asa, ia kembali menemui dokter untuk menghentikannya. Sekali lagi, dia disarankan untuk tetap hamil karena jumlah ovariumnya sangat tinggi.
Kehamilan terakhirnya, dua setengah tahun yang lalu, mengalami komplikasi. Dia melahirkan anak kembar keenamnya, tetapi sayangnya salah satu dari mereka meninggal selama persalinan.
Kemudian suaminya, yang sering pergi dalam waktu lama, sering absen dalam waktu lama - meninggalkannya. Namanya sekarang adalah kutukan keluarga dan Nabatanzi kerap bersumpah serapah setiap kali dia merujuk padanya.
"Saya tumbuh dengan menangis, suami saya telah melewati saya dengan banyak penderitaan. Seluruh waktu saya dihabiskan untuk merawat anak-anak saya dan bekerja untuk mendapatkan uang," ujarnya seperti dikutip dari Mirror, Sabtu (27/4/2019).
Dengan begitu banyaknya mulut yang harus diberi makan, Nabatanzi bekerja serabutan. Dia telah bekerja sebagai penata rambut dan dekorator acara. Ia juga mengumpulkan dan menjual besi tua, membuat gin lokal dan menjual obat-obatan herbal.
Sebagian besar gajinya dihabiskan untuk memberi makan keluarga besarnya, perawatan medis, pakaian dan biaya sekolah untuk memastikan anak-anaknya mempunyai awal kehidupan yang baik.
Di dinding yang kotor di salah satu kamar rumahnya tergantung potret yang membanggakan bergambar beberapa anaknya lulus dari sekolah, perada emas di leher mereka.
Anak tertuanya, Ivan Kibuka, harus putus sekolah untuk membantu membesarkan keluarga.
"Ibu kewalahan, pekerjaannya menghancurkannya, kami membantu di mana kami bisa, seperti memasak dan mencuci, tetapi ia masih menanggung seluruh beban untuk keluarga. Saya merasakannya," tutur perempuan berusia 23 tahun itu.
Ibu Mariam meninggalkannya, ayahnya dan lima saudara kandungnya tiga hari setelah ia dilahirkan. Setelah ayahnya menikah lagi, ibu tirinya meracuni kelima anak yang lebih tua dengan gelas hancur dicampur dalam makanan mereka. Mereka semua mati.
Nabatanzi mengatakan hanya dia yang selamat karena pada saat itu tengah mengunjungi kerabat.
"Saya berusia tujuh tahun saat itu, terlalu muda untuk mengerti apa arti kematian sebenarnya. "Aku diberitahu oleh kerabat apa yang terjadi," ungkapnya.
Tragedi mengerikan ini memicu keinginannya untuk memiliki keluarga besar, meskipun dia awalnya berharap cukup enam anak saja.
Menyediakan rumah untuk 38 anak muda adalah tantangan yang konstan. Dua belas anak tidur di ranjang susun logam dengan kasur tipis di satu ruangan kecil dengan dinding berlapis debu. Di kamar lain, anak-anak menumpuk di atas kasur bersama sementara yang lain tidur di lantai tanah.
Anak-anak yang lebih besar membantu merawat yang muda dan semua orang membantu mengerjakan tugas-tugas seperti memasak.
"Sehari bisa membutuhkan 25 kilogram tepung jagung," kata Nabatanzi. Ikan atau daging adalah makanan langka.
Daftar nama di papan kayu kecil yang dipaku di dinding menjelaskan tugas mencuci atau memasak yang harus dilakukan anak-anaknya.
"Pada hari Sabtu kita semua bekerja bersama," demikian bunyinya.
Setelah mengalami masa kanak-kanak yang begitu sulit, harapan terbesar Nabatanzi sekarang adalah agar anak-anaknya bahagia.
"Saya mulai mengambil tanggung jawab orang dewasa pada tahap awal. Kurasa, aku belum memiliki kesenangan sejak aku dilahirkan," tukasnya.
(ian)