Cegah Kapal Perang AS-China Tabrakan, Pentagon Serukan Aturan Tegas
A
A
A
WASHINGTON - Seorang petinggi Pentagon menyerukan pembuatan aturan yang lebih tegas yang mengatur pertemuan kapal-kapal perang Amerika Serikat (AS) dan China di perairan sengketa seperti Laut China Selatan. Seruan itu disampaikan setelah kapal perang kedua pihak pernah hampir bertabrakan di perairan sengketa.
"Jangan saling menghalangi, mengemudikan kapal di depan satu sama lain, serta melemparkan rintangan di depan kapal," kata Kepala Operasi Angkatan Laut AS Laksamana John Richardson saat menyampaikan saran dalam sebuah pertemuan yang digelar kelompok think tank Dewan Atlantik di Washington.
"Mari kita menjadikan yang bias untuk membuatnya mudah," ujar Richardson. Dia mengatakan AS harus mencari cara untuk melindungi Angkatan Laut-nya.
Angkatan Laut China dan AS menyetujui Code for Unplanned Encounters 2014 pada 2014. Itu adalah perjanjian yang tidak mengikat secara hukum yang mencegah ketegangan maritim dan penerbangan menjadi konflik besar. Angkatan Laut dari 21 negara mematuhi kode tersebut.
Negara-negara yang bersengketa dengan China atas wilayah Laut China Selatan dan wilayah Laut China Timur antara lain Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei dan Jepang.
Richardson mengatakan bahwa kehadiran Angkatan Laut AS yang konsisten di wilayah tersebut adalah untuk misi penegakan kebebasan navigasi. Dia menuntut lebih banyak cara untuk meminimalkan kemungkinan salah perhitungan antara kapal perang bersenjata berat di perairan sengkata.
Menurutnya, aturan berdasarkan sistem identifikasi otomatis berbasis transponder dapat digunakan untuk berbagi informasi penting di antara kapal untuk menghindari tabrakan.
"Jadi, hanya dengan menempatkan mekanisme penegakan hukum ini membuat lebih sulit untuk bermain cepat dan longgar dengan aturan," kata Richardson. "Tapi Anda harus bergerak untuk menegakkan hal-hal itu. Saya rasa banyak struktur, hanya saja kita harus sedikit lebih berotot dalam menegakkannya."
Pernyataan Richardson tentang "zona abu-abu" atau "rawan konflik" muncul ketika China dan AS terlibat dalam persaingan di banyak bidang. Kedua negara telah terlibat perang dagang terbesar dalam sejarah ekonomi. Kedua negara itu juga dikhawatirkan terlibat konfrontasi terkait sengketa Laut China Selatan dan masalah Taiwan.
AS juga prihatin dengan pertemuan "titik api" yang melibatkan Angkatan Laut Rusia di Mediterania Timur dan Laut Hitam.
Richardson mengatakan bahwa kunjungannya ke Beijing lalu untuk mencari pemahaman yang lebih baik dalam meminimalkan risiko konflik. Dia saat itu bertemu dengan Kepala Staf Gabungan Militer China, Jenderal Li Zuocheng dan petinggi militer lainnya, Wakil Laksamana Shen Jinglong.
"Kami memiliki kepentingan bersama di banyak bidang. Saya akan mengatakan semenanjung Korea yang didenuklirisasi adalah area di mana kami memiliki kepentingan bersama," kata Richardson, dikutip South China Morning Post, Jumat (8/2/2019). "Kami memiliki perbedaan, kami mempertimbangkan Laut China Selatan."
"Jangan saling menghalangi, mengemudikan kapal di depan satu sama lain, serta melemparkan rintangan di depan kapal," kata Kepala Operasi Angkatan Laut AS Laksamana John Richardson saat menyampaikan saran dalam sebuah pertemuan yang digelar kelompok think tank Dewan Atlantik di Washington.
"Mari kita menjadikan yang bias untuk membuatnya mudah," ujar Richardson. Dia mengatakan AS harus mencari cara untuk melindungi Angkatan Laut-nya.
Angkatan Laut China dan AS menyetujui Code for Unplanned Encounters 2014 pada 2014. Itu adalah perjanjian yang tidak mengikat secara hukum yang mencegah ketegangan maritim dan penerbangan menjadi konflik besar. Angkatan Laut dari 21 negara mematuhi kode tersebut.
Negara-negara yang bersengketa dengan China atas wilayah Laut China Selatan dan wilayah Laut China Timur antara lain Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei dan Jepang.
Richardson mengatakan bahwa kehadiran Angkatan Laut AS yang konsisten di wilayah tersebut adalah untuk misi penegakan kebebasan navigasi. Dia menuntut lebih banyak cara untuk meminimalkan kemungkinan salah perhitungan antara kapal perang bersenjata berat di perairan sengkata.
Menurutnya, aturan berdasarkan sistem identifikasi otomatis berbasis transponder dapat digunakan untuk berbagi informasi penting di antara kapal untuk menghindari tabrakan.
"Jadi, hanya dengan menempatkan mekanisme penegakan hukum ini membuat lebih sulit untuk bermain cepat dan longgar dengan aturan," kata Richardson. "Tapi Anda harus bergerak untuk menegakkan hal-hal itu. Saya rasa banyak struktur, hanya saja kita harus sedikit lebih berotot dalam menegakkannya."
Pernyataan Richardson tentang "zona abu-abu" atau "rawan konflik" muncul ketika China dan AS terlibat dalam persaingan di banyak bidang. Kedua negara telah terlibat perang dagang terbesar dalam sejarah ekonomi. Kedua negara itu juga dikhawatirkan terlibat konfrontasi terkait sengketa Laut China Selatan dan masalah Taiwan.
AS juga prihatin dengan pertemuan "titik api" yang melibatkan Angkatan Laut Rusia di Mediterania Timur dan Laut Hitam.
Richardson mengatakan bahwa kunjungannya ke Beijing lalu untuk mencari pemahaman yang lebih baik dalam meminimalkan risiko konflik. Dia saat itu bertemu dengan Kepala Staf Gabungan Militer China, Jenderal Li Zuocheng dan petinggi militer lainnya, Wakil Laksamana Shen Jinglong.
"Kami memiliki kepentingan bersama di banyak bidang. Saya akan mengatakan semenanjung Korea yang didenuklirisasi adalah area di mana kami memiliki kepentingan bersama," kata Richardson, dikutip South China Morning Post, Jumat (8/2/2019). "Kami memiliki perbedaan, kami mempertimbangkan Laut China Selatan."
(mas)