Tiga Orang Terluka dalam Pemboman Pos Polisi di Rakhine
A
A
A
YANGON - Sebuah kelompok bersenjata tak dikenal meledakkan empat bom dan melepaskan sejumlah tembakan ke pos polisi Myanmar di negara bagian Rakhine utara pada Kamie pagi. Demikian laporan media pemerintah setempat.
Dua petugas polisi dan satu insinyur militer terluka dalam serangan itu seperti dikutip dari The Straits Times, Jumat (25/1/2019).
Aksi kekerasan telah menimpa wilayah perbatasan Myanmar- Bangladesh selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2017, militer Myanmar membunuh ribuan Muslim Rohingya dan menelantarkan lebih dari 700 ribu orang sebagai tanggapan atas serangan terhadap pos-pos polisi oleh Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA), sebuah kelompok pemberontak Rohingya.
Bulan ini, bentrokan meletus antara militer dan Tentara Arakan, kelompok pemberontak Buddha Rakhine, yang menggusur sekitar 6.000 warga sipil.
Serangan hari Kamis kemarin dilaporkan diluncurkan dari dalam wilayah Bangladesh, dan pelaku penyerangan belum diidentifikasi secara resmi.
Seorang pejabat lokal mengatakan kepada surat kabar The Irrawaddy bahwa pelaku penyerangan diidentifikasi sebagai anggota ARSA dalam laporan polisi, tetapi para ahli mengatakan serangan itu tidak menunjukkan tindakan khas ARSA.
Richard Horsey, seorang konsultan untuk International Crisis Group menulis di Twitter: "Saya meragukan klaim bahwa ARSA memiliki artileri atau senjata berat lainnya. Mereka hanya menggunakan senapan serbu dan (alat peledak rakitan) hingga saat ini. Saya menduga kesalahan pelaporan, tetapi jika dikonfirmasi, ini merupakan perkembangan yang signifikan."
Pihak berwenang Myanmar telah membuat kebingungan tentang situasi keamanan di negara bagian Rakhine, yang menghubungkan serangan 16 Januari terhadap pos polisi dengan Tentara Arakan sebelum kemudian menyalahkan ARSA.
Pemerintah Myanmar memanggil duta besar Bangladesh pada hari Kamis dan meminta agar Bangladesh bekerja sama untuk mencegah wilayahnya digunakan untuk "terorisme".
Dua petugas polisi dan satu insinyur militer terluka dalam serangan itu seperti dikutip dari The Straits Times, Jumat (25/1/2019).
Aksi kekerasan telah menimpa wilayah perbatasan Myanmar- Bangladesh selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2017, militer Myanmar membunuh ribuan Muslim Rohingya dan menelantarkan lebih dari 700 ribu orang sebagai tanggapan atas serangan terhadap pos-pos polisi oleh Pasukan Keselamatan Arakan Rohingya (ARSA), sebuah kelompok pemberontak Rohingya.
Bulan ini, bentrokan meletus antara militer dan Tentara Arakan, kelompok pemberontak Buddha Rakhine, yang menggusur sekitar 6.000 warga sipil.
Serangan hari Kamis kemarin dilaporkan diluncurkan dari dalam wilayah Bangladesh, dan pelaku penyerangan belum diidentifikasi secara resmi.
Seorang pejabat lokal mengatakan kepada surat kabar The Irrawaddy bahwa pelaku penyerangan diidentifikasi sebagai anggota ARSA dalam laporan polisi, tetapi para ahli mengatakan serangan itu tidak menunjukkan tindakan khas ARSA.
Richard Horsey, seorang konsultan untuk International Crisis Group menulis di Twitter: "Saya meragukan klaim bahwa ARSA memiliki artileri atau senjata berat lainnya. Mereka hanya menggunakan senapan serbu dan (alat peledak rakitan) hingga saat ini. Saya menduga kesalahan pelaporan, tetapi jika dikonfirmasi, ini merupakan perkembangan yang signifikan."
Pihak berwenang Myanmar telah membuat kebingungan tentang situasi keamanan di negara bagian Rakhine, yang menghubungkan serangan 16 Januari terhadap pos polisi dengan Tentara Arakan sebelum kemudian menyalahkan ARSA.
Pemerintah Myanmar memanggil duta besar Bangladesh pada hari Kamis dan meminta agar Bangladesh bekerja sama untuk mencegah wilayahnya digunakan untuk "terorisme".
(ian)