Tsunami 'Aneh' Selat Sunda Picu Kewaspadaan Global

Minggu, 30 Desember 2018 - 14:54 WIB
Tsunami Aneh Selat Sunda Picu Kewaspadaan Global
Tsunami 'Aneh' Selat Sunda Picu Kewaspadaan Global
A A A
JAKARTA - Pihak berwenang seluruh dunia tengah berusaha bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi tsunami aneh seperti yang terjadi di Selat Sunda.

Tsunami pada 23 Desember lalu menewaskan sekitar 430 orang di sepanjang garis pantai Selat Sunda, mengakhiri satu tahun gempa bumi dan tsunami di kepulauan yang luas itu, yang mengangkangi Cincin Api Pasifik yang aktif secara seismik.

Tidak adanya sirene di kota dan pantai untuk memperingatkan warga sebelum rangkaian ombak mematikan itu menghantam pantai.

Seismolog dan pihak berwenang mengatakan badai faktor yang sempurna menyebabkan tsunami dan membuat deteksi dini nyaris tidak mungkin mengingat peralatan yang ada.

Tetapi bencana itu seharusnya menjadi seruan untuk meningkatkan penelitian tentang pemicu dan kesiapsiagaan tsunami, kata beberapa pakar, yang beberapa di antaranya telah melakukan perjalanan ke negara Asia Tenggara untuk menyelidiki apa yang terjadi.

“Indonesia telah menunjukkan kepada seluruh dunia sejumlah besar sumber yang berpotensi menyebabkan tsunami. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami peristiwa yang tidak terduga itu,” kata seismolog di University of Southampton, Stephen Hicks, seperti dilansir dari Reuters, Minggu (30/12/2018).

Sebagian besar tsunami tercatat dipicu oleh gempa bumi. Tapi kali ini letusan gunung berapi Anak Krakatau yang menyebabkan kawahnya runtuh sebagian ke laut saat air pasang, mengirimkan gelombang setinggi 5 meter yang menghantam daerah padat di pesisir pulau Jawa dan Sumatra.

Selama letusan, diperkirakan 180 juta meter kubik, atau sekitar dua pertiga dari pulau gunung vulkanik yang berusia kurang dari 100 tahun itu, runtuh ke laut.

Tetapi letusan itu tidak mengguncang monitor seismik secara signifikan, dan tidak adanya sinyal seismik yang biasanya terkait dengan tsunami membuat Badan Geofisika Indonesia (BMKG) awalnya mengirim tweet bahwa tidak ada tsunami.

Muhamad Sadly, kepala geofisika di BMKG, kemudian mengatakan kepada Reuters monitor pasang surutnya tidak dibuat untuk memicu peringatan tsunami dari peristiwa non-seismik.

Kepala Lembaga Penelitian Bencana Internasional Jepang, Fumihiko Imamura, mengatakan kepada Reuters bahwa dia tidak percaya sistem peringatan Jepang saat ini akan mendeteksi tsunami seperti yang terjadi di Selat Sunda.

"Kami masih memiliki beberapa risiko ini di Jepang karena ada 111 gunung berapi aktif dan kapasitas rendah untuk memantau letusan yang menghasilkan tsunami," katanya di Jakarta.

Para ilmuwan telah lama menandai keruntuhan Anak Krakatau, sekitar 155 km barat Ibu Kota, Jakarta, sebagai keprihatinan. Sebuah studi 2012 lalu yang diterbitkan oleh Geological Society of London menganggapnya sebagai "bahaya tsunami."

Anak Krakatau telah muncul dari gunung berapi Krakatau, yang pada tahun 1883 meletus dalam salah satu ledakan terbesar dalam sejarah. Lebih dari 36.000 orang tewas dalam serangkaian tsunami dan abunya menurunkan suhu permukaan global sebesar satu derajat Celcius.

Beberapa ahli percaya bahwa ada cukup waktu untuk setidaknya mendeteksi parsial atas tsunami minggu lalu dalam 24 menit yang dibutuhkan gelombang pertama menghantam daratan setelah tanah longsor di Gunung Anak Krakatau.

Tetapi sistem peringatan tsunami di seluruh negeri untuk pelampung yang terhubung dengan sensor dasar laut telah rusak sejak 2012 karena vandalisme, kelalaian dan kurangnya dana publik, kata pihak berwenang.

“Kurangnya sistem peringatan dini adalah mengapa tsunami Sabtu tidak terdeteksi,” kata juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Nugroho

Ia menambahkan bahwa dari 1.000 sirene tsunami yang dibutuhkan di seluruh Indonesia, hanya 56 yang ada.

"Tanda-tanda bahwa tsunami datang tidak terdeteksi sehingga orang tidak punya waktu untuk mengungsi," jelasnya.

Presiden Joko Widodo minggu ini memerintahkan BMKG untuk membeli sistem peringatan dini yang baru, dan badan tersebut kemudian mengatakan berencana untuk memasang tiga pelampung tsunami di pulau-pulau di sekitar Anak Krakatau.

Diperkirakan untuk hal itu membutuhkan dana sebesar Rp7 triliun. Angka itu kira-kira setara dengan total anggaran tanggap bencana Indonesia sebesar RP7,19 triliun untuk 2018, menurut Sutopo.

Tetapi para ahli lain mengatakan bahkan jika jaringan ini bekerja, menghindari bencana akan sulit.

“Tsunami adalah skenario terburuk untuk harapan adanya peringatan tsunami yang jelas: kurangnya gempa bumi yang jelas untuk memicu peringatan, air dangkal, dasar laut kasar, dan kedekatan dengan garis pantai terdekat,” kata seismolog Hicks.

Di Filipina, Renato Solidum, wakil menteri untuk pengurangan risiko bencana, mengatakan letusan dari gunung berapi Taal di negara itu telah menyebabkan gelombang tsunami sebelumnya di sekitar Danau Taal.

Dia mengatakan kepada Reuters bahwa apa yang terjadi di Indonesia menunjukkan perlunya menekankan kembali kesadaran dan kesiapsiagaan mengenai aktivitas vulkanik dan potensinya untuk memicu tsunami di Filipina.

Amerika Serikat (AS) juga menderita beberapa tsunami yang disebabkan oleh aktivitas gunung berapi, termasuk di Alaska, Hawaii, dan Washington, menurut layanan cuaca nasional.

Di Indonesia awal tahun ini, bencana gempa dan tsunami ganda menewaskan lebih dari 2.000 orang di pulau Sulawesi, sementara setidaknya 500 orang tewas ketika gempa bumi meratakan sebagian besar garis pantai utara pulau destinasi liburan Lombok.

Di negara di mana, menurut data pemerintah 62,4 persen dari populasi berisiko terkena gempa bumi dan 1,6 persen oleh tsunami, perhatian sekarang difokuskan pada kurangnya kesiapsiagaan.

"Mengingat potensi bencana di negara ini, sudah saatnya pendidikan bencana menjadi bagian dari kurikulum nasional," kata Presiden Joko Widodo kepada wartawan setelah tsunami terbaru.

Untuk Ramdi Tualfredi, seorang guru sekolah menengah yang selamat dari tsunami minggu lalu, peningkatan ini tidak dapat segera terjadi.

Dia mengatakan kepada Reuters bahwa orang-orang di desanya Cigondong di pantai barat Jawa dan dekat dengan Krakatau tidak pernah menerima latihan keselamatan atau pelatihan evakuasi.

"Saya tidak pernah menerima pendidikan tentang langkah-langkah keamanan," katanya.

"Sistem benar-benar gagal," tegasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5884 seconds (0.1#10.140)