Kalahkan Inggris, Industri Pertahanan Rusia Makin Berjaya
A
A
A
MOSKOW - Pertarungan bisnis senjata dunia kian sengit. Teranyar, Rusia berhasil menyalip Inggris sebagai produsen senjata terbesar kedua di dunia yang kukuh digenggam sejak 2002. Posisi nomor wahid tetap ditempati Amerika Serikat (AS).
Walaupun belum masuk jajaran 100 perusahaan besar dunia, produsen senjata Tanah Air berpeluang merebut pasar senjata dunia. Di antara perusahaan dimaksud adalah PT Pindad yang sudah menunjukkan kemampuan memproduksi senjata serbu langganan juara. Dari pihak Kementerian Pertahanan berkomitmen mendorong perusahaan produk pertahanan bisa tumbuh dan berkembang melalui sinergi.
Data persaingan bisnis senjata diungkapkan Institute Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) yang dirilis kemarin. Berdasar data SIPRI, bisnis senjata selama ini terus menunjukkan peningkatan. Total penjualan 100 perusahaan pertahanan mencapai USD398,2 miliar (Rp5.810 triliun) pada 2017. Besaran ini meningkat 2,5% dibandingkan tahun 2016 atau menunjukkan peningkatan 44% sejak 2002.
Selama 2017 tersebut, fokus pertumbuhan penjualan senjata tertuju pada Rusia. “Perusahaan Rusia mengalami pertumbuhan signifikan dalam penjualan senjata sejak 2011,” kata peneliti senior SIPRI Siemon Wezeman. “Itu sesuai dengan peningkatan belanja dan modernisasi angkatan bersenjata Rusia,” imbuhnya.
Kedigdayaan produksi senjata Rusia disokong 10 perusahaan yang masuk dalam daftar 100 produsen senjata dan peralatan militer pada 2017. Perusahaan Rusia tersebut menguasai 9,5% dari total penjualan senjata. Total nilai penjualan senjata 10 perusahaan Rusia itu mencapai USD37,7 miliar (Rp549,95 triliun).
Dari perusahaan Rusia yang ada, nama Almaz-Antey untuk pertama kali masuk 10 besar. “Almaz-Antey mengalami peningkatan penjualan sebesar 17% atau senilai USD8,6 miliar(Rp125 triliun),” ujar peneliti SIPRI Alexandra Kuimova.
Tiga perusahaan Rusia lainnya yang masuk Top 100 perusahaan pertahanan dengan peningkatan penjualan mencapai lebih dari 15% adalah United Engine Corporation (25%), High Precision Systems (22%), dan Tactical Missiles Corporation (19%).
Di sisi lain, Negeri Paman Sam masih merajai dalam penjualan senjata dan peralatan tempur, dengan memiliki 42 perusahaan dengan penjualan naik 2% dan menguasai 57% dari total penjualan senjata atau USD226,6 miliar (3.306 triliun).
“Perusahaan pertahanan AS mendapatkan keuntungan dari proyek dan program Departemen Pertahanan AS yang terus meningkatkan dan memperbarui senjatanya,” kata Direktur Program Belanja Militer dan Senjata Aude Fleurant.
Di antara perusahaan AS, Lockheed Martin masih menjadi produsen senjata terbesar pada 2017 dengan nilai penjualan USD44,9 miliar. Keberhasilan Lockheed Martin terutama ditopang pesanan senjata dari militer AS. Perusahaan itu antara lain memproduksi pesawat tempur F-35 Lightning dan pesawat pengangkut militer Hercules C-130.
Adapun Inggris, produsen senjata terbesar di Eropa Barat, jatuh pada peringkat ketiga dengan nilai penjualan USD35,7 miliar. “Kombinasi penjualan senjata perusahaan Inggris meningkat 2,3% dibandingkan 2016,” ujar Fleurant. “Ini merupakan peningkatan besar karena penjualan senjata yang dilakukan BAE Systems, Rolls-Royce dan GKN,” imbuhnya.
BAE Systems menduduki peringkat keempat di 100 produsen senjata di SIPRI. Perusahaan raksasa Inggris BAE Systems, yang memiliki lebih dari 83.000 karyawan, memproduksi pesawat tempur Eurofighter Typhoon, yang juga dijual ke Arab Saudi. BAE Systems mengalami kenaikan penjualan senjata sebesar 3,3% pada 2017 dengan nilai USD22,9 miliar.
Selama 2017 SIPRI juga mencatat banyak penjualan senjata dari perusahaan Turki meningkat hingga 24% pada 2017. “Itu menunjukkan ambisi pengembangan industri senjata Turki untuk memenuhi tuntutan permintaan senjata dan mengurangi ketergantungan dari produsen senjata asing,” kata peneliti SIPRI, Pieter Wezeman. (Andika Hendra)
Walaupun belum masuk jajaran 100 perusahaan besar dunia, produsen senjata Tanah Air berpeluang merebut pasar senjata dunia. Di antara perusahaan dimaksud adalah PT Pindad yang sudah menunjukkan kemampuan memproduksi senjata serbu langganan juara. Dari pihak Kementerian Pertahanan berkomitmen mendorong perusahaan produk pertahanan bisa tumbuh dan berkembang melalui sinergi.
Data persaingan bisnis senjata diungkapkan Institute Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) yang dirilis kemarin. Berdasar data SIPRI, bisnis senjata selama ini terus menunjukkan peningkatan. Total penjualan 100 perusahaan pertahanan mencapai USD398,2 miliar (Rp5.810 triliun) pada 2017. Besaran ini meningkat 2,5% dibandingkan tahun 2016 atau menunjukkan peningkatan 44% sejak 2002.
Selama 2017 tersebut, fokus pertumbuhan penjualan senjata tertuju pada Rusia. “Perusahaan Rusia mengalami pertumbuhan signifikan dalam penjualan senjata sejak 2011,” kata peneliti senior SIPRI Siemon Wezeman. “Itu sesuai dengan peningkatan belanja dan modernisasi angkatan bersenjata Rusia,” imbuhnya.
Kedigdayaan produksi senjata Rusia disokong 10 perusahaan yang masuk dalam daftar 100 produsen senjata dan peralatan militer pada 2017. Perusahaan Rusia tersebut menguasai 9,5% dari total penjualan senjata. Total nilai penjualan senjata 10 perusahaan Rusia itu mencapai USD37,7 miliar (Rp549,95 triliun).
Dari perusahaan Rusia yang ada, nama Almaz-Antey untuk pertama kali masuk 10 besar. “Almaz-Antey mengalami peningkatan penjualan sebesar 17% atau senilai USD8,6 miliar(Rp125 triliun),” ujar peneliti SIPRI Alexandra Kuimova.
Tiga perusahaan Rusia lainnya yang masuk Top 100 perusahaan pertahanan dengan peningkatan penjualan mencapai lebih dari 15% adalah United Engine Corporation (25%), High Precision Systems (22%), dan Tactical Missiles Corporation (19%).
Di sisi lain, Negeri Paman Sam masih merajai dalam penjualan senjata dan peralatan tempur, dengan memiliki 42 perusahaan dengan penjualan naik 2% dan menguasai 57% dari total penjualan senjata atau USD226,6 miliar (3.306 triliun).
“Perusahaan pertahanan AS mendapatkan keuntungan dari proyek dan program Departemen Pertahanan AS yang terus meningkatkan dan memperbarui senjatanya,” kata Direktur Program Belanja Militer dan Senjata Aude Fleurant.
Di antara perusahaan AS, Lockheed Martin masih menjadi produsen senjata terbesar pada 2017 dengan nilai penjualan USD44,9 miliar. Keberhasilan Lockheed Martin terutama ditopang pesanan senjata dari militer AS. Perusahaan itu antara lain memproduksi pesawat tempur F-35 Lightning dan pesawat pengangkut militer Hercules C-130.
Adapun Inggris, produsen senjata terbesar di Eropa Barat, jatuh pada peringkat ketiga dengan nilai penjualan USD35,7 miliar. “Kombinasi penjualan senjata perusahaan Inggris meningkat 2,3% dibandingkan 2016,” ujar Fleurant. “Ini merupakan peningkatan besar karena penjualan senjata yang dilakukan BAE Systems, Rolls-Royce dan GKN,” imbuhnya.
BAE Systems menduduki peringkat keempat di 100 produsen senjata di SIPRI. Perusahaan raksasa Inggris BAE Systems, yang memiliki lebih dari 83.000 karyawan, memproduksi pesawat tempur Eurofighter Typhoon, yang juga dijual ke Arab Saudi. BAE Systems mengalami kenaikan penjualan senjata sebesar 3,3% pada 2017 dengan nilai USD22,9 miliar.
Selama 2017 SIPRI juga mencatat banyak penjualan senjata dari perusahaan Turki meningkat hingga 24% pada 2017. “Itu menunjukkan ambisi pengembangan industri senjata Turki untuk memenuhi tuntutan permintaan senjata dan mengurangi ketergantungan dari produsen senjata asing,” kata peneliti SIPRI, Pieter Wezeman. (Andika Hendra)
(nfl)