Tentaranya Siksa Petani Indonesia, Belanda Enggan Bayar Kompensasi
A
A
A
DEN HAAG - Pengadilan di Den Haag memerintahkan Pemerintah Belanda untuk membayar kompensasi senilai Rp125 juta kepada seorang petani Jawa Timur, Indonesia, korban penyiksaan tentara kolonial tahun 1947. Alih-alih membayar, pemerintah Belanda sekarang justru mengajukan banding meski petani itu telah meninggal tahun lalu.
Petani bernama Yasemen disiksa saat dia masih remaja. Sebelum meninggal, dia pernah memberikan kesaksian kepada panel hakim di Pengadilan Distrik di Den Haag. Yasemen yang duduk di kursi roda di sebuah ruang kantor di Jawa Timur memberikan kesaksian via Skype.
Saat itu, dia dengan gemetar mengatakan kepada panel hakim bagaimana tentara Kerajaan Belanda menahannya selama lebih dari setahun dan menyiksanya pada tahun 1947.
Pasukan Belanda pernah berusaha menduduki kembali wilayah Indonesia setelah Perang Dunia II. Yaseman kala itu ditangkap karena dicurigai menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia pada puncak perang kemerdekaan 1945-1949.
Dalam kesaksiannya, tentara kolonial Belanda memukul tulang tengkoraknya dengan segumpal kayu dan mematikan rokok di kepalanya.
Ketika para hakim secara online melihat dua bekas luka bulat di kulit kepalanya.
Yaseman kepada panel hakim juga mengaku dipaksa untuk minum air dalam jumlah banyak sebelum ditendang di bagian perut. Tak hanya itu, dia juga disetrum.
"Guncangan itu buruk," kata Yaseman seperti dikutip dalam dokumen pengadilan yang diterjemahkan.
"Anda bisa merasakan pukulan sekali, saya bisa menahannya. Tapi setrum mengalir ke seluruh tubuh dan sakit," ujarnya.
Yaseman berusia 89 tahun ketika dia memberi kesaksian dan bukti. Meskipun sudah uzur dan tubuhnya rapuh, dia mampu menceritakan kisah penderitaannya dengan detail dan meyakinkan kepada panel hakim.
"Dia memiliki ingatan yang tajam," kata cucunya, Iswanto, yang duduk di sampingnya di "ruang sidang virtual".
"Dia sering membicarakan masa lalunya. Setiap kali seseorang datang, teman, tetangga, kerabat, dia akan menceritakan kisahnya kepada siapa pun yang mau mendengarkan," ujarnya.
Sayangnya, Yaseman sudah meninggal saat keputusan hakim di buat. Dia meninggal beberapa bulan setelah memberikan bukti dan kesaksian.
Pengadilan menerima kesaksiannya sebagai bukti bahwa pasukan Belanda memang telah menganiaya dirinya.
Pengadilan menemukan cukup bukti untuk membuktikan klaim Yaseman tentang pemukulan dan luka bakar rokok. Namun, menurut pengadilan, klaim sengatan listrik dan penyiksaan dengan air minum tidak dapat diverifikasi.
Dalam putusan itu, pengadilan mengakui penggunaan metode penyiksaan seperti itu "sangat mungkin" terjadi.
Pemerintah Belanda diperintahkan untuk membayar kompensasi senilai Rp125 juta.
Namun, Pemerintah Belanda kini mengajukan banding terhadap putusan pengadilan di Den Haag. Sikap itu membuat keluarga dan pengacara Yaseman marah.
"Ini adalah fakta yang diketahui bahwa Belanda terlibat dalam penyiksaan besar-besaran selama perang kemerdekaan," kata pengacaranya di Amsterdam, Liesbeth Zegveld.
"Dari semua korban, hanya satu yang terdaftar di pengadilan, dan itu adalah Yaseman.
"Sungguh memalukan bahwa negara tidak akan bertanggung jawab, bahkan untuk kasus yang satu ini," ujarnya, seperti dikutip abc.net.au, Minggu (9/12/2018).
Petani bernama Yasemen disiksa saat dia masih remaja. Sebelum meninggal, dia pernah memberikan kesaksian kepada panel hakim di Pengadilan Distrik di Den Haag. Yasemen yang duduk di kursi roda di sebuah ruang kantor di Jawa Timur memberikan kesaksian via Skype.
Saat itu, dia dengan gemetar mengatakan kepada panel hakim bagaimana tentara Kerajaan Belanda menahannya selama lebih dari setahun dan menyiksanya pada tahun 1947.
Pasukan Belanda pernah berusaha menduduki kembali wilayah Indonesia setelah Perang Dunia II. Yaseman kala itu ditangkap karena dicurigai menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia pada puncak perang kemerdekaan 1945-1949.
Dalam kesaksiannya, tentara kolonial Belanda memukul tulang tengkoraknya dengan segumpal kayu dan mematikan rokok di kepalanya.
Ketika para hakim secara online melihat dua bekas luka bulat di kulit kepalanya.
Yaseman kepada panel hakim juga mengaku dipaksa untuk minum air dalam jumlah banyak sebelum ditendang di bagian perut. Tak hanya itu, dia juga disetrum.
"Guncangan itu buruk," kata Yaseman seperti dikutip dalam dokumen pengadilan yang diterjemahkan.
"Anda bisa merasakan pukulan sekali, saya bisa menahannya. Tapi setrum mengalir ke seluruh tubuh dan sakit," ujarnya.
Yaseman berusia 89 tahun ketika dia memberi kesaksian dan bukti. Meskipun sudah uzur dan tubuhnya rapuh, dia mampu menceritakan kisah penderitaannya dengan detail dan meyakinkan kepada panel hakim.
"Dia memiliki ingatan yang tajam," kata cucunya, Iswanto, yang duduk di sampingnya di "ruang sidang virtual".
"Dia sering membicarakan masa lalunya. Setiap kali seseorang datang, teman, tetangga, kerabat, dia akan menceritakan kisahnya kepada siapa pun yang mau mendengarkan," ujarnya.
Sayangnya, Yaseman sudah meninggal saat keputusan hakim di buat. Dia meninggal beberapa bulan setelah memberikan bukti dan kesaksian.
Pengadilan menerima kesaksiannya sebagai bukti bahwa pasukan Belanda memang telah menganiaya dirinya.
Pengadilan menemukan cukup bukti untuk membuktikan klaim Yaseman tentang pemukulan dan luka bakar rokok. Namun, menurut pengadilan, klaim sengatan listrik dan penyiksaan dengan air minum tidak dapat diverifikasi.
Dalam putusan itu, pengadilan mengakui penggunaan metode penyiksaan seperti itu "sangat mungkin" terjadi.
Pemerintah Belanda diperintahkan untuk membayar kompensasi senilai Rp125 juta.
Namun, Pemerintah Belanda kini mengajukan banding terhadap putusan pengadilan di Den Haag. Sikap itu membuat keluarga dan pengacara Yaseman marah.
"Ini adalah fakta yang diketahui bahwa Belanda terlibat dalam penyiksaan besar-besaran selama perang kemerdekaan," kata pengacaranya di Amsterdam, Liesbeth Zegveld.
"Dari semua korban, hanya satu yang terdaftar di pengadilan, dan itu adalah Yaseman.
"Sungguh memalukan bahwa negara tidak akan bertanggung jawab, bahkan untuk kasus yang satu ini," ujarnya, seperti dikutip abc.net.au, Minggu (9/12/2018).
(mas)