Australia Terapkan UU Anti-Perbudakan
A
A
A
LONDON - Australia menerapkan Undang-undang (UU) Anti-Perbudakan Modern yang menurut para pengamat lebih keras dibandingkan yang diterapkan Inggris pada 2015.
Dengan UU itu, perusahaan-perusahaan besar dan lembaga publik di Australia harus menjelaskan bagaimana mereka mengatasi perbudakan modern dalam operasionalnya. UU itu mengharuskan bisnis dengan pendapatan minimal USD73 juta harus merilis pernyataan publik tahunan yang menjelaskan berbagai risiko perbudakan dalam jaringan suplai mereka serta berbagai tindakan yang dilakukan untuk mengatasi ancaman itu.
UU itu disahkan seiring meningkatnya tekanan konsumen dan regulator terhadap semua perusahaan untuk menjamin barang dan jasa mereka tidak terkena perdagangan budak global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan perdagangan budak global itu dialami oleh 40 juta orang di penjuru dunia.
“Ini langkah besar ke depan untuk perbudakan modern. Ini aturan terkuat di dunia,” papar Jenn Morris, chief executive organisasi anti-perbudakan Walk Free Foundation, dilansir kantor berita Reuters.
Morris menambahkan, “Apa yang penting ialah ada keharusan melaporkan dan pemerintah menerapka naturan yang sama pada mereka sendiri seperti mereka minta bisnis untuk mengikutinya.”
Inggris pada 2015 menjadi negara pertama yang mengesahkan UU anti-perbudakan modern tapi pada Juli pemerintah mengumumkan review karena ada kritik aturan ini tidak dapat digunakan untuk memenjarakan para pelaku perdagangan manusia, membantu korban atau meminta perusahaan menghentikan kerja paksa.
Dibandingkan Inggris, UU Australia lebih ketat tentang informasi yang harus diungkap oleh perusahaan, mendirikan basis data pusat untuk aduan dan keterangan mereka, serta meminta lembaga publik menjelaskan upaya anti-perbudakan mereka.
Meski demikian, sejumlah serikat buruh Australia mengkritik tidak adanya komisioner anti-perbudakan independen seperti yang dibentuk Inggris. Selain itu tak ada pinalti keuangan untuk perusahaan yang tidak melakukan pelaporan sesuai yang diharuskan UU tersebut.
“UU ini tidak mengirim pesan yang cukup kuat pada perusahaan-perusahaan,” ujar Michele O'Neil, presiden Dewan Serikat Buruh Australia (ACTU), kemarin.
“Kita perlu denda untuk benar-benar dapat menyatakan mereka tidak dapat lolos dengan toleransi pada perbudakan seperti bisnis umumnya,” papar O’Neil.
Pemerintah Australia menyatakan penyertaan pinalti sipil akan dipertimbangkan dalam review UU yang dijadwalkan tiga tahun setelah penerapannya. “Masukan dari dunia bisnis menunjukkan pengawasan pasar serta risiko reputasi serta penghargaan akan mendorong penerapannya lebih efektif dibandingkan pinalti hukuman,” kata Senator Linda Reynolds dari Partai Liberal yang berkuasa.
Menurut Indeks Perbudakan Global yang disusun Walk Free, Australia menjadi tempat sekitar 15.000 korban perbudakan modern, mulai dari kerja paksa dan eksploitasi seksual hingga perbudakan domestik. (Syarifudin)
Dengan UU itu, perusahaan-perusahaan besar dan lembaga publik di Australia harus menjelaskan bagaimana mereka mengatasi perbudakan modern dalam operasionalnya. UU itu mengharuskan bisnis dengan pendapatan minimal USD73 juta harus merilis pernyataan publik tahunan yang menjelaskan berbagai risiko perbudakan dalam jaringan suplai mereka serta berbagai tindakan yang dilakukan untuk mengatasi ancaman itu.
UU itu disahkan seiring meningkatnya tekanan konsumen dan regulator terhadap semua perusahaan untuk menjamin barang dan jasa mereka tidak terkena perdagangan budak global. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan perdagangan budak global itu dialami oleh 40 juta orang di penjuru dunia.
“Ini langkah besar ke depan untuk perbudakan modern. Ini aturan terkuat di dunia,” papar Jenn Morris, chief executive organisasi anti-perbudakan Walk Free Foundation, dilansir kantor berita Reuters.
Morris menambahkan, “Apa yang penting ialah ada keharusan melaporkan dan pemerintah menerapka naturan yang sama pada mereka sendiri seperti mereka minta bisnis untuk mengikutinya.”
Inggris pada 2015 menjadi negara pertama yang mengesahkan UU anti-perbudakan modern tapi pada Juli pemerintah mengumumkan review karena ada kritik aturan ini tidak dapat digunakan untuk memenjarakan para pelaku perdagangan manusia, membantu korban atau meminta perusahaan menghentikan kerja paksa.
Dibandingkan Inggris, UU Australia lebih ketat tentang informasi yang harus diungkap oleh perusahaan, mendirikan basis data pusat untuk aduan dan keterangan mereka, serta meminta lembaga publik menjelaskan upaya anti-perbudakan mereka.
Meski demikian, sejumlah serikat buruh Australia mengkritik tidak adanya komisioner anti-perbudakan independen seperti yang dibentuk Inggris. Selain itu tak ada pinalti keuangan untuk perusahaan yang tidak melakukan pelaporan sesuai yang diharuskan UU tersebut.
“UU ini tidak mengirim pesan yang cukup kuat pada perusahaan-perusahaan,” ujar Michele O'Neil, presiden Dewan Serikat Buruh Australia (ACTU), kemarin.
“Kita perlu denda untuk benar-benar dapat menyatakan mereka tidak dapat lolos dengan toleransi pada perbudakan seperti bisnis umumnya,” papar O’Neil.
Pemerintah Australia menyatakan penyertaan pinalti sipil akan dipertimbangkan dalam review UU yang dijadwalkan tiga tahun setelah penerapannya. “Masukan dari dunia bisnis menunjukkan pengawasan pasar serta risiko reputasi serta penghargaan akan mendorong penerapannya lebih efektif dibandingkan pinalti hukuman,” kata Senator Linda Reynolds dari Partai Liberal yang berkuasa.
Menurut Indeks Perbudakan Global yang disusun Walk Free, Australia menjadi tempat sekitar 15.000 korban perbudakan modern, mulai dari kerja paksa dan eksploitasi seksual hingga perbudakan domestik. (Syarifudin)
(nfl)