Demo Depan Gedung Putih, Muslim Uighur Serukan Bantuan Internasional

Rabu, 14 November 2018 - 13:22 WIB
Demo Depan Gedung Putih, Muslim Uighur Serukan Bantuan Internasional
Demo Depan Gedung Putih, Muslim Uighur Serukan Bantuan Internasional
A A A
WASHINGTON - Aktivis Uighur di Amerika Serikat (AS) menandai "hari kemerdekaan" dengan menggelar aksi protes dan pawai di Ibu Kota Washington. Tanggal 12 November adalah ulang tahun ke-74 dan ke-85 dari dua republik Uighur berumur pendek, yang dikenal sebagai Turkestan Timur, yang didirikan di wilayah yang kini menjadi bagian dari China.

Mereka yang hadir di acara yang diselenggarakan oleh Gerakan Kebangkitan Nasional Turkistan Timur termasuk Rebiya Kadeer. Rebiya Kadeer adalah salah satu aktivis Uighur di pengasingan yang paling terkenal di dunia dan mantan presiden Kongres Uighur Dunia.

Sembari membawa bendera kemerdekaan Amerika Serikat dan Turkestan Timur, para aktivis menggelar aksi di luar Gedung Putih meminta AS untuk menekan China agar menghentikan penganiayaan terhadap minoritas Muslim.

Meskipun laporan tentang pelecehan terhadap warga Uighur sudah ada sejak lebih dari satu dekade, tahun lalu dunia internasional telah menyaksikan intensifikasi penganiayaan kelompok minoritas berbahasa Turki itu.

PBB telah mengkritik China karena menahan sekitar satu juta Muslim di kamp-kamp interniran di mana mereka tunduk pada indoktrinasi politik dan budaya. Dalam laporannya dikatakan sekitar dua juta orang telah melewati kamp-kamp di beberapa titik.

China juga dituduh memaksa etnis Uighur untuk keluar dari Islam dan menanggalkan kebudayaan yang membuat merea bereda dari mayoritas etnis Han di negara itu. Pihak berwenang China telah melarang mereka untuk puasa Ramadhan, serta kelas-kelas membaca Al-Quran untuk anak-anak muda.

Warga Amerika-Uighur Aydin Anwar mengatakan bahwa China berusaha untuk "menghapus" identitas Uighur.

"Cina telah menempatkan setidaknya tiga juta orang di kamp-kamp konsentrasi," katanya seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (14/11/2018).

"Di kamp-kamp ini mereka dipaksa untuk meninggalkan Islam, mengadopsi ateisme, dan berjanji setia kepada negara China," imbuhnya.

Anwar mengatakan semua yang hadir dalam aksi demonstrasi tersebut setidaknya memiliki satu kerabat yang ditahan di kamp.

"Suami bibiku punya lebih dari 70 kerabat di kamp dan penjara, dan salah satu dari mereka benar-benar terbunuh dengan suntikan mematikan di kamp-kamp," ujar Anwar.

"Bahkan di luar kehidupan kamp-kamp ini tidak lebih baik. Mempraktikkan Islam benar-benar dilarang; berdoa, berpuasa, memakai janggut, memakai jilbab ... bahkan menamai bayi Anda dengan nama Islam," sambungnya.

Ketika dimintai komentar, seorang juru bicara Kedutaan Besar China di Washington mengarahkan Al Jazeera untuk melihat wawancara media negara China dengan Shohrat Zakir, ketua pemerintah Xinjiang.

Dalam artikel itu, Zakir berusaha menempatkan perlakuan China terhadap orang-orang Uighur sejalan dengan "Perang Melawan Terorisme" internasional yang lebih luas.

Dia lebih lanjut menggambarkan kamp-kamp interniran itu sebagai lembaga pelatihan kejuruan yang bertujuan, mempelajari bahasa umum negara itu, pengetahuan hukum, keterampilan kejuruan, bersama dengan pendidikan de-ekstremasi, sebagai konten utama, dengan meraih pekerjaan sebagai arah utama.

Bilal Ibrahim Turkistani mengklaim suaka di AS pada tahun 2011 setelah mengamankan visa untuk masuk ke konferensi yang diselenggarakan oleh orang-orang buangan Uighur. Dia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa AS adalah salah satu dari beberapa pendukung Uighur dan bahwa dia berharap legislator AS akan meningkatkan dukungan bagi orang-orang Uighur.

"Kami meminta politisi untuk mengambil tindakan di Kongres, untuk tidak meninggalkan kami," katanya.

Permasalahan Uighur mendapat dukungan dari pejabat senior AS.

Wakil Presiden Mike Pence mengecam China atas pelanggarannya terhadap Muslim dan minoritas lainnya, seperti yang dilakukan Nikki Haley, mantan duta besar AS untuk PBB.

Senator Republik Marco Rubio juga melobi Departemen Luar Negeri AS untuk mengambil tindakan terhadap China atas pelanggarannya terhadap orang-orang Uighur dan menggambarkan perilaku Beijing sebagai perilaku "sakit".

Para demonstran menilai sejumlah negara enggan bersuara karena dampak ekonomi China yang ekspansif. Mereka juga menyimpan kemarahan terhadap negara-negara Muslim karena responsnya masih malu-malu terhadapa laporan penindasan China terhadap etnis Uighur.

Cendekiawan Muslim Amerika, Omar Suleiman, menggambarkan respon dunia Muslim terhadap keadaan kaum Uighur sebagai "pengabaian total".

"Mereka disiksa secara ironis karena terlalu Muslim oleh China sementara dunia Muslim tampaknya tidak melihat mereka sebagai Muslim yang cukup untuk diperjuangkan," katanya kepada Al Jazeera.

"China bergantung pada perdagangan dan negaranya, termasuk AS, perlu memaksakan tekanan ekonomi yang diperlukan untuk menghentikannya dari melanjutkan penindasan ini," tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6106 seconds (0.1#10.140)