Dilema Wanita Yazidi Melahirkan Anak Hasil Perbudakan Seks ISIS

Senin, 29 Oktober 2018 - 11:13 WIB
Dilema Wanita Yazidi...
Dilema Wanita Yazidi Melahirkan Anak Hasil Perbudakan Seks ISIS
A A A
DAHUK - Ibu Yazidi Irak ini baru berusia 26 tahun tahun. Namun, dia merasakan dilema hebat setelah melahirkan anak perempuan hasil pemerkosaan milisi ISIS.

Anak yang dilahirkan itu kini berusia dua tahun dan diberi nama Maria. Mengacu pada nama anaknya, dia hanya bersedia diidentifikasi dengan nama "Umm Maria (Ibu Maria).

Dilema dia rasakan setelah komunitas Yazidi di Irak tidak bisa menerima kehadiran anak yang dia lahirkan. Keluarganya sedang bersiap untuk beremigrasi dari Irak ke Australia dan memulai hidup baru.Dia tahu keluarganya tidak akan pernah mengizinkannya membawa Maria. Keluarganya bahkan tidak tahu bahwa gadis kecil itu ada.
Satu-satunya kerabat yang tahu adalah seorang paman yang mengambil gadis itu darinya dan menempatkannya di sebuah panti asuhan di Baghdad. Wanita itu dan para kerabatnya dibebaskan dari penindasan ISIS (Islamic State) sejak beberapa tahun lalu.

"Hati saya meledak dari dada saya setiap kali saya berpikir untuk meninggalkannya. Dia adalah bagian dari saya, tetapi saya tidak tahu apa yang harus dilakukan," katanya, saat berbicara kepada The Associated Press di sebuah kamp di Irak utara untuk pengungsi Yazidi, yang dilansir Stripes, Senin (29/10/2018).

Dia menggunakan nama "Umm Maria" karena takut keluarga dan komunitasnya akan mengetahui bahwa dia memiliki anak hasil dari perbudakan seks ISIS.

Derita Umm Maria dan komunitasnya dimulai ketika kelompok ISIS menyerbu wilayah Sinjar di Irak utara pada 2014. Ratusan pria dan anak laki-laki Yazidi dibantai, puluhan ribu meninggalkan rumah, dan para militan ISIS mengambil ribuan wanita dan gadis sebagai budak seks. Para wanita tersebut disandera, diperkosa dan dijual.

Selama praktik barbar itu, banyak wanita Yazidi melahirkan anak-anak dari milisi ISIS. Jumlah pastinya tidak diketahui, namun para wanita tersebut tidak ragu jika jumlahnya mencapai ratusan anak.

Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini diberikan kepada Nadia Murad, wanita Yazidi yang juga pernah jadi korban perbudakan seks ISIS namun bangkit untuk mengadvokasi para wanita yang mengalami nasib serupa.

Komunitas Yazidi menolak perkawinan campur dengan non-Yazidi, sehingga anak-anak hasil pemerkosaan para milisi ISIS tak pernah bisa diterima di komunitas tersebut.

Pemimpin spiritual Yazidi, Babashekh Khirto Hadji Ismail, mengeluarkan dekrit pada 2015 yang menyatakan bahwa kaum perempuan yang diperbudak oleh kaum militan akan "dimurnikan" dengan iman mereka tetap utuh. Deklarasi itu memungkinkan para wanita tersebut disambut kembali ke dalam masyarakat Yazidi. Tapi, dekrit itu tidak berlaku bagi anak-anak keturunan ISIS.

Khidr Domary, seorang aktivis Yazidi terkemuka, mengakui bahwa tradisi insular komunitas memerlukan beberapa pembaruan. Dia mengatakan kepemimpinan Yazidi telah menunjukkan fleksibilitas ketika mencoba untuk menangani trauma yang ditinggalkan oleh para milisi ISIS. Menurutnya, para wanita yang jadi korban harus bebas untuk membawa anak-anak dengan ayah biologis milisi ISIS jika mereka mau.

"Tapi, itu tidak bisa termasuk reformasi untuk mengakomodasi hasil kejahatan Daesh," katanya mengacu pada akronim Arab untuk ISIS. Dia mengakui tekanan penolakan dari keluarga dan masyarakat masih kuat untuk menerima anak-anak tersebut.

"Sulit, bahkan bagi ibu, untuk membawa seorang anak untuk tinggal di tengah-tengah kita ketika mungkin ayah Daesh-nya mungkin telah membunuh ratusan dari kita dengan tangannya sendiri, termasuk saudara dari ibu tersebut," katanya.

Umm Maria dibawa tawanan bersama dengan wanita lain pada Agustus 2014, ketika militan menyerbu Sinjar, dekat perbatasan Suriah. Dia akhirnya dibawa ke Suriah sebagai budak seks milisi ISIS, yang dia tahu hanya dengan nama alias Abu Turab.

Abu Turab tewas dalam pertempuran tahun 2015. Keluarga milisi itu menjual Umm Maria seharga USD1.800 kepada seorang militan lain, yakni pria Irak yang diidentifikasi sebagai Ahmed Mohammed. Dia membawanya ke Mosul, di mana dia tinggal bersama istri pertama pria tersebut dan anak-anak mereka.

Setelah Umm Maria melahirkan Maria, pria Irak tersebut juga terbunuh dalam pertempuran tahun 2015. Dia lantas diserahkan ke "wisma" ISIS, di mana para petempur ISIS yang terluka menerima pertolongan pertama atau berhubungan seks dengan perempuan Yazidi yang disandera.

Derita Umm Maria mulai berkurang ketika pasukan keamanan Irak menyerang Mosul. Pada musim panas 2017, ketika kota itu jatuh ke pasukan Irak, Umm Maria melarikan diri ke wilayah yang dikuasai pemerintah, meskipun dia terluka saat penembakan.

Di rumah sakit, sang paman membujuk Umm Maria menyerahkan anak yang dia lahirkan sampai dia sembuh, berjanji untuk mengembalikannya jika dia sudah pulih.

"Seandainya saya tahu mereka berencana menyerahkannya ke panti asuhan, saya tidak akan pernah menyerahkannya," katanya. Umm Maria melihat anaknya hanya sekali sejak itu.

Beberapa bulan yang lalu, dia mengunjunginya di panti asuhan Baghdad, menghabiskan dua hari bersama Maria. "Dia tidak mengenali saya, tetapi saya mengenalinya," kata Umm Maria.

"Bagaimana mungkin saya tidak? Dia adalah bagian dari saya."
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0681 seconds (0.1#10.140)