Trump Pernah Ingin Habisi Presiden Suriah Bashar al-Assad
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald John Trump dilaporkan pernah ingin membunuh Presiden Republik Arab Suriah Bashar al-Assad. Keinginan itu muncul menjelang serangan rudal jelajah Washington dan sekutunya terhadap rezim Suriah pada April 2017.
Jurnalis Washington Post, Bob Woodward, mengungkap kemarahan orang nomor satu Amerika tersebut. Dia memperoleh informasi itu dari sumber di Gedung Putih.
Menurut Woodward, dugaan serangan senjata kimia di Khan Shaykhun pada 4 April 2017, telah membuat Trump sangat marah dan ingin membunuh Assad. Saat itu, Damaskus dan sekutunya, Moskow, menyatakan serangan senjata kimia dilakukan kelompok militan namun dituduhkan kepada pasukan Assad atau dikenal dengan istilah "serangan bendera palsu".
Dalam panggilan telepon dengan Menteri Pertahanan James Norman Mattis, Trump disebut melontarkan kata-kata kemarahan terhadap Assad. "Mari kita bunuh dia! Ayo masuk. Mari kita bunuh banyak dari mereka," kata Trump yang ditirukan Woodward, yang dilansir New York Post, Rabu (5/9/2018).
Masih menurut Woodward, dalam telepon tersebut Mattis mengatakan kepada presiden Trump bahwa dia akan menghadapinya. Setelah menutup telepon, Mattis mengatakan kepada seorang ajudan; "Kami tidak akan melakukan semua itu. Kami akan jauh lebih terukur."
Tiga hari kemudian, setelah konsultasi internal, tetapi sebelum dugaan serangan kimia dapat diselidiki dengan benar, AS bersama Inggris dan Prancis menembakkan puluhan rudal jelajah Tomahawk dari kapal perang di Laut Mediterania dengan target Pangkalan Udara Shayrat, yang diklaim Washington sebagai respons langsung terhadap serangan senjata kimia di Khan Shaykhun.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov saat itu menyebut agresi AS sebagai pelanggaran hukum internasional. Sedangkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menggambarkannya sebagai kesalahan strategis.
Ancam Suriah Lagi
Sementara itu, Gedung Putih pada hari Selasa menyatakan bahwa Washington bersama dengan sekutunya, siap untuk menanggapi kemungkinan serangan senjata kimia yang dilakukan oleh pasukan pemerintah Suriah di Idlib.
"Mari kita perjelas, ini tetap pendirian kami bahwa jika Presiden Bashar al-Assad memilih untuk menggunakan senjata kimia lagi, Amerika Serikat dan Sekutunya akan merespons dengan cepat dan tepat," kata Gedung Putih dalam siaran pers-nya.
Gedung Putih menyebut situasi saat ini di provinsi Idlib sebagai "eskalasi yang sembrono".
Baru-baru ini, pihak berwenang Rusia memperingatkan bahwa serangan senjata kimia sedang diatur kelompok militan di Idlib, yang bertujuan untuk membuat Barat mengambil langkah-langkah balas dendam terhadap pemerintah Suriah. Kelompok militan yang disebut merancang serangan senjata kimia itu adalah Tahrir al-Sham yang berafiliasi dengan kelompok teroris Front Al-Nusra.
Jurnalis Washington Post, Bob Woodward, mengungkap kemarahan orang nomor satu Amerika tersebut. Dia memperoleh informasi itu dari sumber di Gedung Putih.
Menurut Woodward, dugaan serangan senjata kimia di Khan Shaykhun pada 4 April 2017, telah membuat Trump sangat marah dan ingin membunuh Assad. Saat itu, Damaskus dan sekutunya, Moskow, menyatakan serangan senjata kimia dilakukan kelompok militan namun dituduhkan kepada pasukan Assad atau dikenal dengan istilah "serangan bendera palsu".
Dalam panggilan telepon dengan Menteri Pertahanan James Norman Mattis, Trump disebut melontarkan kata-kata kemarahan terhadap Assad. "Mari kita bunuh dia! Ayo masuk. Mari kita bunuh banyak dari mereka," kata Trump yang ditirukan Woodward, yang dilansir New York Post, Rabu (5/9/2018).
Masih menurut Woodward, dalam telepon tersebut Mattis mengatakan kepada presiden Trump bahwa dia akan menghadapinya. Setelah menutup telepon, Mattis mengatakan kepada seorang ajudan; "Kami tidak akan melakukan semua itu. Kami akan jauh lebih terukur."
Tiga hari kemudian, setelah konsultasi internal, tetapi sebelum dugaan serangan kimia dapat diselidiki dengan benar, AS bersama Inggris dan Prancis menembakkan puluhan rudal jelajah Tomahawk dari kapal perang di Laut Mediterania dengan target Pangkalan Udara Shayrat, yang diklaim Washington sebagai respons langsung terhadap serangan senjata kimia di Khan Shaykhun.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov saat itu menyebut agresi AS sebagai pelanggaran hukum internasional. Sedangkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menggambarkannya sebagai kesalahan strategis.
Ancam Suriah Lagi
Sementara itu, Gedung Putih pada hari Selasa menyatakan bahwa Washington bersama dengan sekutunya, siap untuk menanggapi kemungkinan serangan senjata kimia yang dilakukan oleh pasukan pemerintah Suriah di Idlib.
"Mari kita perjelas, ini tetap pendirian kami bahwa jika Presiden Bashar al-Assad memilih untuk menggunakan senjata kimia lagi, Amerika Serikat dan Sekutunya akan merespons dengan cepat dan tepat," kata Gedung Putih dalam siaran pers-nya.
Gedung Putih menyebut situasi saat ini di provinsi Idlib sebagai "eskalasi yang sembrono".
Baru-baru ini, pihak berwenang Rusia memperingatkan bahwa serangan senjata kimia sedang diatur kelompok militan di Idlib, yang bertujuan untuk membuat Barat mengambil langkah-langkah balas dendam terhadap pemerintah Suriah. Kelompok militan yang disebut merancang serangan senjata kimia itu adalah Tahrir al-Sham yang berafiliasi dengan kelompok teroris Front Al-Nusra.
(mas)