Diperkosa 5 Tentara Myanmar, Wanita Rohingya Melahirkan di Pengungsian
A
A
A
NAYAPARA - Setahun silam, wanita muda dari komunitas Rohingya ini jadi korban kekerasan para tentara Myanmar. Saat itu, dia diperkosa lima tentara dan akhirnya melarikan diri ke kamp pengungsian di Bangladesh.
Sekitar dua bulan lalu, wanita 27 tahun itu melahirkan bayi lelaki yang tak dia inginkan itu di kamp pengungsian Nayapara, Bangladesh. Dia bertekad tidak akan memberitahu keadaan sebenarnya kepada putranya ketika dewasa kelak.
Shafika—nama samaran untuk melindungi identitasnya—mengatakan jika kisah kelam itu diceritakan, dia takut akan menghancurkan perasaan putranya.
"Ada lima tentara di depan saya di pintu," katanya.
"Mereka menghentikan saya dan mengambil anak saya. Dia berusia dua setengah tahun. Dan mereka membunuhnya di depan mata saya. Kemudian mereka merobek pakaian atas saya dan mulai mengganggu saya. Kemudian mereka semua memperkosa saya," ujarnya.
Di tempat pengungsian yang kecil, Shafika, menggoyang-goyangkan putranya pada buaian terpal.
Selama wawancara, wartawan mendekatkan dua anaknya yang lain, yakni anak perempuan berusia delapan dan lima tahun. Namun, Shafika menyuruh dua anaknya itu pergi, karena tak ingin cerita kelam itu didengar mereka.
Shafika meninggalkan Myanmar Agustus tahun lalu ketika desanya di dekat Buthidaung di Rhakine diserang militer dan kelompok massa garis keras. PBB menggambarkan serangan itu sebagai pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya.
Dia mengatakan, militer tiba dengan peluncur roket. Dia menyaksikan orang-orang Rohingya disiksa dan ditembak, bahkan anak-anak dibakar hidup-hidup.
"(Dalam) hati, saya memohon kepada Allah untuk tidak bangun lagi ketika saya terbaring tak sadarkan diri," katanya.
"Tapi, saya selamat. Saya ingin pergi ke kuburan, menggali tanah sendiri. Jika saya punya racun, maka saya akan mengakhiri hidup saya."
Dia diselamatkan oleh suaminya dan digendong di pundak melewati perbatasan ke Bangladesh untuk mencari keselamatan. Namun, itu bukan akhir dari penderitaannya.
Shafika kala itu ingin menggugurkan bayi hasil pemerkosaan para tentara Myanmar. Namun, hal itu tidak mungkin karena dilarang dalam Islam. Dia pun tidak tahu bagaimana menjalani hidup selanjutnya di kamp pengungsian.
"Saya merasa sangat buruk melahirkan anak. Saya ingat kengerian pemerkosaan saat saya melahirkan," kata Shafika, seperti dikutip dari Sky News, Minggu (26/8/2018).
Bayi yang diberi nama Aya Tollah terlahir sehat. Perasaan Shafika campur aduk. "Saya kasihan pada bayi ini. Dia tidak bersalah," katanya.
Shafika hanya satu dari banyak perempuan Rohingya yang mengalami nasib serupa. Tidak ada data statistik resmi tentang jumlah anak-anak Rohingya yang dikandung sebagai hasil serangan seksual selama kekerasan pecah di Rakhine.
Daphnee Cook, juru bicara Save the Children, mengatakan, anak-anak Rohingya di pengungsian sangat rentan terhadap tanah longsor.
"Ini kotor, kami baru memasuki musim hujan sehingga anak-anak sangat rentan terhadap tanah longsor dan tersesat," katanya kepada Sky News.
"Dan di atas itu kami memiliki anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan terburuk, di mana ibu mereka telah diserang secara seksual," ujarnya.
"Jadi kami sangat prihatin akan kesejahteraan anak-anak ini dan khususnya kami khawatir bahwa mereka dapat tumbuh dengan stigma yang melekat pada mereka," imbuh Cook.
Sekitar dua bulan lalu, wanita 27 tahun itu melahirkan bayi lelaki yang tak dia inginkan itu di kamp pengungsian Nayapara, Bangladesh. Dia bertekad tidak akan memberitahu keadaan sebenarnya kepada putranya ketika dewasa kelak.
Shafika—nama samaran untuk melindungi identitasnya—mengatakan jika kisah kelam itu diceritakan, dia takut akan menghancurkan perasaan putranya.
"Ada lima tentara di depan saya di pintu," katanya.
"Mereka menghentikan saya dan mengambil anak saya. Dia berusia dua setengah tahun. Dan mereka membunuhnya di depan mata saya. Kemudian mereka merobek pakaian atas saya dan mulai mengganggu saya. Kemudian mereka semua memperkosa saya," ujarnya.
Di tempat pengungsian yang kecil, Shafika, menggoyang-goyangkan putranya pada buaian terpal.
Selama wawancara, wartawan mendekatkan dua anaknya yang lain, yakni anak perempuan berusia delapan dan lima tahun. Namun, Shafika menyuruh dua anaknya itu pergi, karena tak ingin cerita kelam itu didengar mereka.
Shafika meninggalkan Myanmar Agustus tahun lalu ketika desanya di dekat Buthidaung di Rhakine diserang militer dan kelompok massa garis keras. PBB menggambarkan serangan itu sebagai pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya.
Dia mengatakan, militer tiba dengan peluncur roket. Dia menyaksikan orang-orang Rohingya disiksa dan ditembak, bahkan anak-anak dibakar hidup-hidup.
"(Dalam) hati, saya memohon kepada Allah untuk tidak bangun lagi ketika saya terbaring tak sadarkan diri," katanya.
"Tapi, saya selamat. Saya ingin pergi ke kuburan, menggali tanah sendiri. Jika saya punya racun, maka saya akan mengakhiri hidup saya."
Dia diselamatkan oleh suaminya dan digendong di pundak melewati perbatasan ke Bangladesh untuk mencari keselamatan. Namun, itu bukan akhir dari penderitaannya.
Shafika kala itu ingin menggugurkan bayi hasil pemerkosaan para tentara Myanmar. Namun, hal itu tidak mungkin karena dilarang dalam Islam. Dia pun tidak tahu bagaimana menjalani hidup selanjutnya di kamp pengungsian.
"Saya merasa sangat buruk melahirkan anak. Saya ingat kengerian pemerkosaan saat saya melahirkan," kata Shafika, seperti dikutip dari Sky News, Minggu (26/8/2018).
Bayi yang diberi nama Aya Tollah terlahir sehat. Perasaan Shafika campur aduk. "Saya kasihan pada bayi ini. Dia tidak bersalah," katanya.
Shafika hanya satu dari banyak perempuan Rohingya yang mengalami nasib serupa. Tidak ada data statistik resmi tentang jumlah anak-anak Rohingya yang dikandung sebagai hasil serangan seksual selama kekerasan pecah di Rakhine.
Daphnee Cook, juru bicara Save the Children, mengatakan, anak-anak Rohingya di pengungsian sangat rentan terhadap tanah longsor.
"Ini kotor, kami baru memasuki musim hujan sehingga anak-anak sangat rentan terhadap tanah longsor dan tersesat," katanya kepada Sky News.
"Dan di atas itu kami memiliki anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan terburuk, di mana ibu mereka telah diserang secara seksual," ujarnya.
"Jadi kami sangat prihatin akan kesejahteraan anak-anak ini dan khususnya kami khawatir bahwa mereka dapat tumbuh dengan stigma yang melekat pada mereka," imbuh Cook.
(mas)