12 Bocah Gua Berdoa untuk Nasib Baik
A
A
A
CHIANG RAI - 12 bocah Thailand dan pelatihnya yang diselamatkan dari gua kemarin untuk pertama kali bangun pagi di rumah mereka sendiri setelah lebih dari tiga pekan.
Mereka bangun saat fajar untuk mengikuti upacara religius di kuil kuno Wat Pha That Doi Wao, Mae Sai, yang dikelilingi pemandangan perdesaan. Ke-12 anak dan pelatih sepak bola Wild Boars (Babi Hutan) keluar dari rumah sakit di Provinsi Chiang Rai pada Rabu (18/7) dan kemudian muncul ke publik untuk pertama kali.
Saat siaran televisi nasional, mereka tersenyum, bercanda, dan menunjukkan solidaritas antarsesama mereka. Mereka pun mengungkap rincian pengalaman mereka terjebak di dalam Gua Tham Luang yang tergenang banjir.
Sebagian besar anak itu berasal dari wilayah Mae Sai yang sepi di dekat perbatasan Myanmar. Beberapa anak itu disambut dengan pelukan, air mata, dan senyuman dari keluarga serta teman mereka saat kembali ke rumah pada Rabu (18/7). Beberapa orang memberkati mereka dengan air saat mereka masuk ke rumah masing-masing.
Beberapa anak dan keluarga mereka kemarin mengikuti upacara doa bersama di kuil kuno Wat Pha That Doi Wao. Para jurnalis tidak diizinkan mendekati anak-anak dan keluarga mereka di kuil demi privasi.
Keluarnya 13 orang itu dari gua pada Selasa (10/7) lalu mengakhiri 18 hari proses penyelamatan yang merenggut nyawa Samarn Kunan, relawan penyelam mantan Angkatan Laut Thailand (Navy Seal). Samarn meninggal dunia pada 6 Juli setelah pingsan saat membawa tangki oksigen ke dalam gua, hanya dua hari sebelum 4 anak pertama dikeluarkan dari gua dengan selamat.
Saat konferensi pers, anak-anak itu bercerita mereka masuk gua pada 23 Juni dengan rencana hanya satu jam di dalam gua setelah latihan sepak bola. Namun, hujan deras mengakibatkan banjir di dalam gua dan menjebak mereka di dalamnya.
Anak-anak itu tidak memiliki makanan dan bertahan hidup hanya dengan minum air. “Kami minum air dari stalaktit. Pada hari pertama kami ok, tapi setelah dua hari kami mulai merasa letih,” ujar Pornchai Kamluang, 16.
Dia menambahkan, pelatih mereka, Ekapol Chanthawong, meminta anak-anak itu untuk tetap diam sebisa mungkin demi menghemat energi. “Pengalaman ini membuat saya lebih kuat dan mengajari saya tidak menyerah,” kata anggota tim termuda bernama Titan.
Titan mengaku kelaparan di dalam gua karena mereka sama sekali tak membawa makanan. “Saya tidak punya kekuatan. Saya mencoba tak berpikir tentang makanan sehingga saya tidak jadi lebih lapar,” ujar dia.
Anak-anak itu juga memikirkan orang tua mereka. “Saya takut. Bahwa saya tidak akan pulang ke rumah dan saya akan dimarahi oleh ibu saya,” kata seorang anak.
Mereka pun menggali lubang di dinding gua dengan harapan menemukan jalan keluar. “Kami menggali di dinding gua. Kami tidak ingin menunggu hingga otoritas menemukan kami,” ujar Ekapol.
Seorang bocah menambahkan, “Kami menggunakan batu-batu untuk menggali di gua. Kami menggali 3 hingga 4 meter.”
Ekapol menjelaskan, “Hampir semua orang dapat berenang. Beberapa bukan perenang yang kuat.”
Anak-anak itu telah makan sebelum masuk gua dan tidak membawa bekal makanan ke dalam gua karena hanya berencana berada di dalam gua selama satu jam.
Anak-anak itu dinyatakan hilang selama 9 hari sebelum ditemukan oleh dua penyelam asal Inggris pada hari kesepuluh. Seorang anak, Adul Sam-on, 14, mengungkapkan momen saat dua penyelam itu menemukan mereka pada 2 Juli di ruangan yang berjarak beberapa kilometer dari mulut gua.
“Ini magis. Saya harus berpikir banyak sebelum saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Semua orang senang, ini momen paling diharapkan dalam 10 hari,” papar Adul yang dapat berbicara bahasa Inggris.
Seorang anak lainnya mengatakan, “Saya katakan kepada semua orang agar tetap berjuang, jangan putus asa.”
Penemuan anak-anak itu memicu upaya penyelamatan yang akhirnya dapat mengeluarkan 13 orang itu dengan selamat. Upaya penyelamatan dilakukan oleh personel dari Angkatan Laut Thailand dan tim penyelam internasional yang ahli dalam rescue gua.
Pelatih Ekapol menjelaskan, anak-anak yang keluar terlebih dulu tidak ditentukan oleh kondisi kesehatan mereka. “Anak yang rumahnya paling jauh pergi pertama, jadi mereka dapat mengatakan kepada semua orang bahwa anak-anak itu baik,” ujarnya.
Ekapol menjelaskan, anak-anak itu akan menghabiskan beberapa waktu sebagai biksu Buddha pemula untuk menghormati meninggalnya penyelam Samarn. (Syarifudin)
Mereka bangun saat fajar untuk mengikuti upacara religius di kuil kuno Wat Pha That Doi Wao, Mae Sai, yang dikelilingi pemandangan perdesaan. Ke-12 anak dan pelatih sepak bola Wild Boars (Babi Hutan) keluar dari rumah sakit di Provinsi Chiang Rai pada Rabu (18/7) dan kemudian muncul ke publik untuk pertama kali.
Saat siaran televisi nasional, mereka tersenyum, bercanda, dan menunjukkan solidaritas antarsesama mereka. Mereka pun mengungkap rincian pengalaman mereka terjebak di dalam Gua Tham Luang yang tergenang banjir.
Sebagian besar anak itu berasal dari wilayah Mae Sai yang sepi di dekat perbatasan Myanmar. Beberapa anak itu disambut dengan pelukan, air mata, dan senyuman dari keluarga serta teman mereka saat kembali ke rumah pada Rabu (18/7). Beberapa orang memberkati mereka dengan air saat mereka masuk ke rumah masing-masing.
Beberapa anak dan keluarga mereka kemarin mengikuti upacara doa bersama di kuil kuno Wat Pha That Doi Wao. Para jurnalis tidak diizinkan mendekati anak-anak dan keluarga mereka di kuil demi privasi.
Keluarnya 13 orang itu dari gua pada Selasa (10/7) lalu mengakhiri 18 hari proses penyelamatan yang merenggut nyawa Samarn Kunan, relawan penyelam mantan Angkatan Laut Thailand (Navy Seal). Samarn meninggal dunia pada 6 Juli setelah pingsan saat membawa tangki oksigen ke dalam gua, hanya dua hari sebelum 4 anak pertama dikeluarkan dari gua dengan selamat.
Saat konferensi pers, anak-anak itu bercerita mereka masuk gua pada 23 Juni dengan rencana hanya satu jam di dalam gua setelah latihan sepak bola. Namun, hujan deras mengakibatkan banjir di dalam gua dan menjebak mereka di dalamnya.
Anak-anak itu tidak memiliki makanan dan bertahan hidup hanya dengan minum air. “Kami minum air dari stalaktit. Pada hari pertama kami ok, tapi setelah dua hari kami mulai merasa letih,” ujar Pornchai Kamluang, 16.
Dia menambahkan, pelatih mereka, Ekapol Chanthawong, meminta anak-anak itu untuk tetap diam sebisa mungkin demi menghemat energi. “Pengalaman ini membuat saya lebih kuat dan mengajari saya tidak menyerah,” kata anggota tim termuda bernama Titan.
Titan mengaku kelaparan di dalam gua karena mereka sama sekali tak membawa makanan. “Saya tidak punya kekuatan. Saya mencoba tak berpikir tentang makanan sehingga saya tidak jadi lebih lapar,” ujar dia.
Anak-anak itu juga memikirkan orang tua mereka. “Saya takut. Bahwa saya tidak akan pulang ke rumah dan saya akan dimarahi oleh ibu saya,” kata seorang anak.
Mereka pun menggali lubang di dinding gua dengan harapan menemukan jalan keluar. “Kami menggali di dinding gua. Kami tidak ingin menunggu hingga otoritas menemukan kami,” ujar Ekapol.
Seorang bocah menambahkan, “Kami menggunakan batu-batu untuk menggali di gua. Kami menggali 3 hingga 4 meter.”
Ekapol menjelaskan, “Hampir semua orang dapat berenang. Beberapa bukan perenang yang kuat.”
Anak-anak itu telah makan sebelum masuk gua dan tidak membawa bekal makanan ke dalam gua karena hanya berencana berada di dalam gua selama satu jam.
Anak-anak itu dinyatakan hilang selama 9 hari sebelum ditemukan oleh dua penyelam asal Inggris pada hari kesepuluh. Seorang anak, Adul Sam-on, 14, mengungkapkan momen saat dua penyelam itu menemukan mereka pada 2 Juli di ruangan yang berjarak beberapa kilometer dari mulut gua.
“Ini magis. Saya harus berpikir banyak sebelum saya dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Semua orang senang, ini momen paling diharapkan dalam 10 hari,” papar Adul yang dapat berbicara bahasa Inggris.
Seorang anak lainnya mengatakan, “Saya katakan kepada semua orang agar tetap berjuang, jangan putus asa.”
Penemuan anak-anak itu memicu upaya penyelamatan yang akhirnya dapat mengeluarkan 13 orang itu dengan selamat. Upaya penyelamatan dilakukan oleh personel dari Angkatan Laut Thailand dan tim penyelam internasional yang ahli dalam rescue gua.
Pelatih Ekapol menjelaskan, anak-anak yang keluar terlebih dulu tidak ditentukan oleh kondisi kesehatan mereka. “Anak yang rumahnya paling jauh pergi pertama, jadi mereka dapat mengatakan kepada semua orang bahwa anak-anak itu baik,” ujarnya.
Ekapol menjelaskan, anak-anak itu akan menghabiskan beberapa waktu sebagai biksu Buddha pemula untuk menghormati meninggalnya penyelam Samarn. (Syarifudin)
(nfl)