Erdogan Klaim Menang Pilpres Turki
A
A
A
ANKARA - Recep Tayyip Erdogan telah mengklaim memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Turki yang digelar hari Minggu. Namun, oposisi belum mengakui kekalahan, karena penghitungan surat suara belum tuntas.
"Masyarakat Turki telah mengamanatkan saya sebagai presiden sesuai dengan hasil yang belum resmi," kata Erdogan pada Minggu malam.
"Saya harap tidak ada yang akan merusak demokrasi dengan memberikan bayangan pada pemilu ini dan hasilnya untuk menyembunyikan kegagalan mereka," lanjut Erdogan, yang merupakan calon presiden (capres) petahana, seperti dikutip The Guardian, Senin (25/6/2018).
Kantor berita Anadolu melaporkan dengan 95,5 persen suara yang telah dihitung, Erdogan telah meraih 52,72 persen suara tingkat nasional. Sedangkan capres dari partai oposisi CHP, Muharrem İnce, meraih 30,75 persen suara.
Partai pro-Kurdi, yang dikenal sebagai HDP, meraih lebih dari 10 persen suara, memungkinkan mereka ikut menduduki kursi parlemen untuk periode kedua secara berturut-turut. Hal itu juga membuat AKP (artai Keadilan dan Pembangunan) pimpinan Erdogan gagal mencapai angka yang diperlukan untuk menjadi partai mayoritas yang berkusa di parlemen.
Dengan meraih lebih dari 50 persen suara, Erdogan bisa membuat kubu oposisi kecewa. Sebab, selama kampanye, kubu oposisi berharap Erdogan akan bertarung dengan Muharrem Ince pada putaran kedua.
Oposisi selama ini juga berambisi merebut kendali legislatif dari AKP untuk mengakhiri kekuasaan AKP dan Erdogan di Turki yang sudah 16 tahun.
Presiden Erdogan menyerukan pemilu dini awal pada bulan April dengan harapan untuk mendahului memburuknya tren ekonomi dan untuk membuat kejutan bagi oposisi. Dia dari awal sudah diprediksi menang mudah untuk pilpres. Namun, untuk menguasai parlemen, partainya perlu berkoalisi dengan partai-partai nasionalis.
Pemilu berlangsung di lapangan yang tidak merata, dengan latar belakang pelanggaran hak asasi manusia yang digambarkan Amnesty International sebagai "iklim ketakutan".
Salah satu capres, Selahattin Demirtaş, menjalankan kampanyenya dari sel penjara di Edirne di mana dia diadili atas tuduhan terorisme. Pemerintah Erdogan sebelumnya juga telah menutup, membeli atau mengambil alih koran dan stasiun televisi dan membuat perubahan besar.
Ribuan orang telah ditahan atau diberhentikan dari pekerjaannya sejak upaya kudeta pada tahun 2016 berakhir dengan kegagalan. Erdogan menuduh Fethullah Gulen, ulama Turki yang tinggal di pengasingan di Pennsylvania, Amerika Serikat, sebagai dalang kudeta. Namun, Gulen membantah tuduhan tersebut dan curiga percobaan kudeta hanya rekayasa dari kubu Erdogan.
"Masyarakat Turki telah mengamanatkan saya sebagai presiden sesuai dengan hasil yang belum resmi," kata Erdogan pada Minggu malam.
"Saya harap tidak ada yang akan merusak demokrasi dengan memberikan bayangan pada pemilu ini dan hasilnya untuk menyembunyikan kegagalan mereka," lanjut Erdogan, yang merupakan calon presiden (capres) petahana, seperti dikutip The Guardian, Senin (25/6/2018).
Kantor berita Anadolu melaporkan dengan 95,5 persen suara yang telah dihitung, Erdogan telah meraih 52,72 persen suara tingkat nasional. Sedangkan capres dari partai oposisi CHP, Muharrem İnce, meraih 30,75 persen suara.
Partai pro-Kurdi, yang dikenal sebagai HDP, meraih lebih dari 10 persen suara, memungkinkan mereka ikut menduduki kursi parlemen untuk periode kedua secara berturut-turut. Hal itu juga membuat AKP (artai Keadilan dan Pembangunan) pimpinan Erdogan gagal mencapai angka yang diperlukan untuk menjadi partai mayoritas yang berkusa di parlemen.
Dengan meraih lebih dari 50 persen suara, Erdogan bisa membuat kubu oposisi kecewa. Sebab, selama kampanye, kubu oposisi berharap Erdogan akan bertarung dengan Muharrem Ince pada putaran kedua.
Oposisi selama ini juga berambisi merebut kendali legislatif dari AKP untuk mengakhiri kekuasaan AKP dan Erdogan di Turki yang sudah 16 tahun.
Presiden Erdogan menyerukan pemilu dini awal pada bulan April dengan harapan untuk mendahului memburuknya tren ekonomi dan untuk membuat kejutan bagi oposisi. Dia dari awal sudah diprediksi menang mudah untuk pilpres. Namun, untuk menguasai parlemen, partainya perlu berkoalisi dengan partai-partai nasionalis.
Pemilu berlangsung di lapangan yang tidak merata, dengan latar belakang pelanggaran hak asasi manusia yang digambarkan Amnesty International sebagai "iklim ketakutan".
Salah satu capres, Selahattin Demirtaş, menjalankan kampanyenya dari sel penjara di Edirne di mana dia diadili atas tuduhan terorisme. Pemerintah Erdogan sebelumnya juga telah menutup, membeli atau mengambil alih koran dan stasiun televisi dan membuat perubahan besar.
Ribuan orang telah ditahan atau diberhentikan dari pekerjaannya sejak upaya kudeta pada tahun 2016 berakhir dengan kegagalan. Erdogan menuduh Fethullah Gulen, ulama Turki yang tinggal di pengasingan di Pennsylvania, Amerika Serikat, sebagai dalang kudeta. Namun, Gulen membantah tuduhan tersebut dan curiga percobaan kudeta hanya rekayasa dari kubu Erdogan.
(mas)