Pakar AI Serukan Boikot Proyek 'Robot Pembunuh' Korsel

Kamis, 05 April 2018 - 14:47 WIB
Pakar AI Serukan Boikot...
Pakar AI Serukan Boikot Proyek 'Robot Pembunuh' Korsel
A A A
CARDIFF - Peneliti kecerdasan buatan (AI) dari hampir 30 negara memboikot universitas Korea Selatan (Korsel). Mereka khawatir kerja sama mereka dengan perusahaan pertahanan terkemuka dalam menciptakan "robot pembunuh."

Lebih dari 50 akademisi terkemuka menandatangani surat yang menyerukan boikot terhadap Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST) dan mitranya, produsen pertahanan Hanwha Systems. Para peneliti mengatakan mereka tidak akan berkolaborasi dengan universitas atau menjadi tuan rumah dari kunjungan KAIST karena khawatir pihaknya berusaha untuk mempercepat perlombaan senjata untuk mengembangkan senjata otonom.

"Ada banyak hal hebat yang dapat Anda lakukan dengan AI yang menyelamatkan kehidupan, termasuk dalam konteks militer, tetapi untuk secara terbuka menyatakan tujuannya adalah untuk mengembangkan senjata otonom dan memiliki mitra seperti ini memicu keprihatinan besar," kata Toby Walsh, penggagas aksi boikot dan seorang profesor di Universitas New South Wales.

"Ini adalah universitas yang sangat dihormati bermitra dengan mitra yang sangat meragukan etika yang terus melanggar norma internasional," imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (5/4/2018).

Boikot itu dilakukan jelang pertemuan PBB di Jenewa pekan depan mengenai senjata otonom, dan lebih dari 20 negara telah menyerukan larangan total terhadap robot pembunuh. Penggunaan AI pada militer di seluruh dunia telah memicu kekhawatiran akan situasi yang mirip film Terminator dan pertanyaan telah diajukan tentang keakuratan senjata semacam itu serta kemampuan mereka untuk membedakan teman dengan musuh.

Hanwha adalah salah satu produsen senjata terbesar Korsel. Perusahaan ini memproduksi amunisi tandan yang dilarang di 120 negara di bawah perjanjian internasional. Korsel, bersama dengan AS, Rusia, dan China, bukanlah pihan yang menandatangani konvensi.

Walsh awalnya prihatin ketika sebuah artikel Korea Times menggambarkan KAIST bergabung dengan kompetisi global untuk mengembangkan senjata otonom. Ia pun lantas menulis kepada universitas untuk mengajukan pertanyaan tetapi tidak menerima tanggapan.

Terkait pemboikotan ini, Presiden KAIST Sung-Chul Shin, mengatakan dia sedih mendengar boikot itu.

"Saya ingin menegaskan kembali bahwa KAIST tidak memiliki niat untuk terlibat dalam pengembangan sistem senjata otonom mematikan dan robot pembunuh," kata Shin dalam sebuah pernyataan.

“Sebagai institusi akademis, kami menghargai standar hak asasi manusia dan etika hingga tingkat yang sangat tinggi,” tambahnya.

“Saya menegaskan sekali lagi bahwa KAIST tidak akan melakukan kegiatan penelitian apa pun yang bertentangan dengan martabat manusia termasuk senjata otonom yang tidak memiliki kendali manusia yang berarti,” tegasnya.

KAIST membuka pusat penelitian untuk konvergensi pertahanan nasional dan kecerdasan buatan pada 20 Februari lalu. Shin mengatakan pada saat itu akan memberikan landasan yang kuat untuk mengembangkan teknologi pertahanan nasional.

"Pusat ini akan fokus pada sistem perintah dan keputusan berbasis AI, algoritma navigasi komposit untuk kendaraan bawah laut tanpa awak skala besar, sistem pelatihan pesawat cerdas berbasis AI, dan pelacakan objek pintar dan pengenalan teknologi AI", bunyi kata-kata dalam pemberitahuannya yang sudah dihapus.

Sistem Dodaam Korsel sudah memproduksi "robot tempur" yang sepenuhnya otonom, menara stasioner, yang mampu mendeteksi target hingga 3 km jauhnya. Pelanggannya termasuk Uni Emirat Arab dan Qatar serta telah diuji di perbatasan militer dengan Korea Utara (Korut).

Tetapi eksekutif perusahaan mengatakan kepada BBC pada tahun 2015 ada pembatasan yang diberlakukan sendiri yang mengharuskan manusia untuk memberikan serangan mematikan.

Menurut Walsh, pesawat tanpa awak militer Taranis yang dibangun oleh BAE Systems Inggris secara teknis dapat beroperasi sepenuhnya secara otonom, yang mengatakan robot pembunuh membuat semua orang kurang aman, bahkan di lingkungan yang berbahaya.

"Mengembangkan senjata otonom akan membuat situasi keamanan di semenanjung Korea lebih buruk, tidak lebih baik," katanya.

"Jika senjata ini dibuat di mana saja, akhirnya mereka pasti akan muncul di Korea Utara dan mereka tidak akan ragu menggunakannya melawan Korea Selatan," tukasnya.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0854 seconds (0.1#10.140)