PBB Memiliki 'Kecurigaan Kuat' Rohingya Korban Genosida
A
A
A
JENEWA - Kepala Hak Asasi Manusia PBB menyatakan mempunyai kecurigaan kuat bahwa etnis Rohingya menjadi korban genosida dan berujung pada pembersihan etnis.
"Kantor saya percaya bahwa pembersihan etnik masih berlangsung di negara bagian Rakhine, di Myanmar," ucap Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Memperhatikan bahwa Rohingya telah melaporkan pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan penculikan oleh pasukan keamanan dan milisi setempat, Hussein menyoroti upaya yang tampaknya disengaja untuk memaksa orang Rohingya meninggalkan daerah tersebut melalui kelaparan, dengan pejabat yang menghalangi akses mereka terhadap hasil panen dan pangan.
"Kantor saya memiliki kecurigaan kuat bahwa tindakan genosida telah terjadi di negara bagian Rakhine sejak Agustus 2017," ungkap Hussein seperti dikutip dari Anadolu, Kamis (8/3/2018).
Komisioner tersebut juga mengecam pihak berwenang di Myanmar yang menghancurkan bukti potensial kejahatan internasional. Ia mengutip laporan desa Rohingya yang diserang dalam beberapa tahun terakhir, dan diduga terdapat kuburan massal, telah dibuldoser.
Baca Juga: Myanmar Membuldozer 55 Desa Muslim Rohingya
"Ini tampaknya merupakan upaya yang disengaja oleh pihak berwenang untuk menghancurkan bukti potensial kejahatan internasional," cetusnya.
"Akses untuk pemantauan hak asasi manusia independen praktis tidak ada di Myanmar, namun tampak jelas bahwa kebijakan dan praktik diskriminatif yang telah berlangsung lama juga berlanjut terhadap kelompok lain," kata Hussein.
PBB menggambarkan etnis Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia. Mereka telah menghadapi ketakutan yang meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750 ribu pengungsi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan Myanmar. Mereka menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak. Mereka juga menjarah rumah, dan membakar desa Rohingya.
Sedikitnya 9.000 Rohingya tewas di negara bagian Rakhine dari 25 Agustus hingga 24 September tahun lalu, menurut Doctors Without Borders.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan 12 Desember lalu, kelompok dokter mengatakan kematian 71,7 persen atau 6.700 Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak di bawah usia lima tahun.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik ???(ian)
"Kantor saya percaya bahwa pembersihan etnik masih berlangsung di negara bagian Rakhine, di Myanmar," ucap Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Memperhatikan bahwa Rohingya telah melaporkan pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan penculikan oleh pasukan keamanan dan milisi setempat, Hussein menyoroti upaya yang tampaknya disengaja untuk memaksa orang Rohingya meninggalkan daerah tersebut melalui kelaparan, dengan pejabat yang menghalangi akses mereka terhadap hasil panen dan pangan.
"Kantor saya memiliki kecurigaan kuat bahwa tindakan genosida telah terjadi di negara bagian Rakhine sejak Agustus 2017," ungkap Hussein seperti dikutip dari Anadolu, Kamis (8/3/2018).
Komisioner tersebut juga mengecam pihak berwenang di Myanmar yang menghancurkan bukti potensial kejahatan internasional. Ia mengutip laporan desa Rohingya yang diserang dalam beberapa tahun terakhir, dan diduga terdapat kuburan massal, telah dibuldoser.
Baca Juga: Myanmar Membuldozer 55 Desa Muslim Rohingya
"Ini tampaknya merupakan upaya yang disengaja oleh pihak berwenang untuk menghancurkan bukti potensial kejahatan internasional," cetusnya.
"Akses untuk pemantauan hak asasi manusia independen praktis tidak ada di Myanmar, namun tampak jelas bahwa kebijakan dan praktik diskriminatif yang telah berlangsung lama juga berlanjut terhadap kelompok lain," kata Hussein.
PBB menggambarkan etnis Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia. Mereka telah menghadapi ketakutan yang meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 750 ribu pengungsi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, telah meninggalkan Myanmar. Mereka menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas Muslim minoritas, menurut Amnesty International.
Para pengungsi tersebut melarikan diri dari operasi militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak. Mereka juga menjarah rumah, dan membakar desa Rohingya.
Sedikitnya 9.000 Rohingya tewas di negara bagian Rakhine dari 25 Agustus hingga 24 September tahun lalu, menurut Doctors Without Borders.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan 12 Desember lalu, kelompok dokter mengatakan kematian 71,7 persen atau 6.700 Rohingya disebabkan oleh kekerasan. Mereka termasuk 730 anak di bawah usia lima tahun.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan - termasuk bayi dan anak kecil - pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh petugas keamanan. Dalam sebuah laporan, penyidik ???