Wanita Bangladesh Dapat Dana Perlindungan Perubahan Iklim
A
A
A
KUALA LUMPUR - Ribuan perempuan di Bangladesh akan menerima dana untuk mengembangkan mata pencarian yang dapat bertahan dari dampak perubahan iklim.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Perempuan dan gadis di distrik pantai rawan bencana Satkhira dan Khulna akan mendapat bantuan mulai USD33 juta dari Dana Iklim Hijau PBB dan Kementerian Perempuan dan Anak Bangladesh.
“Naiknya ketinggian air laut menjadi ancaman besar bagi daerah ini,” kata Mamunur Rashid, pakar perubahan iklim di Program Pembangunan PBB (UNDP) melalui telepon dari Dhaka, awal pekan ini.
Sebagian besar wilayah Bangladesh merupakan delta sungai dataran rendah sehingga negara itu rawan terhadap badai yang semakin meningkat kekuatannya dan kian sering. Kawasan itu juga rawan dengan dampak perubahan iklim lainnya seperti meningkatnya kadar garam (salinisasi) di lahan pertanian.
Dengan hilangnya lahan pertanian subur akibat salinisasi, sebanyak 2,9 juta warga di Satkhira dan Khulna beralih profesi jadi peternak udang. “Meski demikian, aktivitas itu tidak menyediakan banyak lapangan kerja,” kata Rashid.
Perempuan akan menerima pendanaan untuk mengembangkan mata pencarian yang tangguh terhadap perubahan iklim, termasuk menanam sayuran secara hidroponik menggunakan sampah yang dihasilkan dari peternakan ikan sebagai pupuk. Pendanaan akan digunakan untuk membangun sistem penampung air hujan yang dikelola komunitas untuk menyediakan air minum bersih bagi sedikitnya 130.000 orang. Dana itu juga akan digunakan untuk melibatkan lebih banyak perempuan dalam sistem peringatan dini banjir dan badai.
Sekitar 60% korban tewas akibat badai di penjuru dunia dalam dua dekade terakhir terjadi di Bangladesh, menurut data Bank Dunia. Kelompok advokasi Germanwatch menempatkan Bangladesh di peringkat keenam dari 182 negara yang paling terpengaruh kejadian cuaca ekstrem dari 1997 hingga 2016.
“Perempuan tidak proporsional terkena dampaknya,” papar Saleemul Huq, direktur International Centre for Climate Change and Development yang berbasis di Dhaka.
Misalnya, para pejabat Bangladesh menjelaskan, perempuan dan gadis sering bertugas mengumpulkan air minum segar, memproduksi makanan dan merawat binatang peliharaan. “Sebagai manajer rumah tangga, perempuan utamanya bertanggung jawab untuk produksi makanan bagi keluarga, serta menjaga ketersediaan air dan energi rumah tangga,” kata Huq.
Sekitar 39.000 perempuan dan gadis akan mendapat keuntungan langsung dari proyek enam tahun yang mulai diterapkan pada Juli tersebut. Proyek di Bangladesh itu bagian dari pendanaan lebih dari USD1 miliar yang disepakati saat pertemuan dewan Dana Iklim Hijau di Korea Selatan pekan lalu. (Muh Shamil)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Perempuan dan gadis di distrik pantai rawan bencana Satkhira dan Khulna akan mendapat bantuan mulai USD33 juta dari Dana Iklim Hijau PBB dan Kementerian Perempuan dan Anak Bangladesh.
“Naiknya ketinggian air laut menjadi ancaman besar bagi daerah ini,” kata Mamunur Rashid, pakar perubahan iklim di Program Pembangunan PBB (UNDP) melalui telepon dari Dhaka, awal pekan ini.
Sebagian besar wilayah Bangladesh merupakan delta sungai dataran rendah sehingga negara itu rawan terhadap badai yang semakin meningkat kekuatannya dan kian sering. Kawasan itu juga rawan dengan dampak perubahan iklim lainnya seperti meningkatnya kadar garam (salinisasi) di lahan pertanian.
Dengan hilangnya lahan pertanian subur akibat salinisasi, sebanyak 2,9 juta warga di Satkhira dan Khulna beralih profesi jadi peternak udang. “Meski demikian, aktivitas itu tidak menyediakan banyak lapangan kerja,” kata Rashid.
Perempuan akan menerima pendanaan untuk mengembangkan mata pencarian yang tangguh terhadap perubahan iklim, termasuk menanam sayuran secara hidroponik menggunakan sampah yang dihasilkan dari peternakan ikan sebagai pupuk. Pendanaan akan digunakan untuk membangun sistem penampung air hujan yang dikelola komunitas untuk menyediakan air minum bersih bagi sedikitnya 130.000 orang. Dana itu juga akan digunakan untuk melibatkan lebih banyak perempuan dalam sistem peringatan dini banjir dan badai.
Sekitar 60% korban tewas akibat badai di penjuru dunia dalam dua dekade terakhir terjadi di Bangladesh, menurut data Bank Dunia. Kelompok advokasi Germanwatch menempatkan Bangladesh di peringkat keenam dari 182 negara yang paling terpengaruh kejadian cuaca ekstrem dari 1997 hingga 2016.
“Perempuan tidak proporsional terkena dampaknya,” papar Saleemul Huq, direktur International Centre for Climate Change and Development yang berbasis di Dhaka.
Misalnya, para pejabat Bangladesh menjelaskan, perempuan dan gadis sering bertugas mengumpulkan air minum segar, memproduksi makanan dan merawat binatang peliharaan. “Sebagai manajer rumah tangga, perempuan utamanya bertanggung jawab untuk produksi makanan bagi keluarga, serta menjaga ketersediaan air dan energi rumah tangga,” kata Huq.
Sekitar 39.000 perempuan dan gadis akan mendapat keuntungan langsung dari proyek enam tahun yang mulai diterapkan pada Juli tersebut. Proyek di Bangladesh itu bagian dari pendanaan lebih dari USD1 miliar yang disepakati saat pertemuan dewan Dana Iklim Hijau di Korea Selatan pekan lalu. (Muh Shamil)
(nfl)