Bakal Dideportasi Israel, Ribuan Migran Afrika Demonstrasi
A
A
A
TEL AVIV - Ribuan pencari suaka asal Afrika, para imigran dan pendukungnya melakukan aksi demonstrasi. Mereka menetang rencana Israel untuk mendeportasi mereka.
Pemerintah Zionis telah memberi kelompok tersebut batas waktu sampai 1 April untuk meninggalkan negara itu dengan tujuan Afrika yang tidak disebutkan namanya. Mereka diberi imbalan USD3.500 dan tiket pesawat. Jika menolak, mereka akan di penjara tanpa batas waktu yang ditentukan.
Demonstran membawa sejumlah poster bertuliskan "Kita semua adalah manusia" dan "Pengungsi dan penduduk menolak menjadi musuh". Mereka bergerak melalui jalan-jalan di selatan wilayah Tel Aviv, Neve Shanaan, di mana ada sebuah komunitas migran yang besar.
Stasiun TV Channel 10 memperkirakan 15.000 orang bergabung dalam demonstrasi tersebut, sementara Haaretz mengatakan bahwa demonstrasi tersebut menarik massa hingga 20.000 orang seperti dikutip dari Independent, Minggu (25/2/2018).
Menurut badan pengungsi PBB, ada 27.000 pencari suaka dari Eritrea diktatorial dan 7.700 dari Sudan yang dilanda perang yang saat ini tinggal di Israel.
Dilaporkan bahwa pencari suaka akan dideportasi ke Rwanda dan Uganda, meskipun keduanya menyangkal telah membuat kesepakatan apapun dengan pemerintah Israel.
Mereka yang telah tiba di Rwanda melaporkan bahwa dokumen mereka disita dan hak-hak dasar mereka ditolak.
UNHCR mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini bahwa hanya sembilan pencari suaka yang dideportasi ke Rwanda telah benar-benar tinggal di sana.
Israel menganggap sebagian besar migran sebagai pencari kerja dan mengatakan tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempertahankannya. Namun kritikus termasuk dokter, penulis, dan korban Holocaust Israel telah menyebut rencana pemerintah tersebut tidak etis dan menjadi noda pada citra Israel sebagai tempat perlindungan bagi migran Yahudi.
Dinas penjara Israel juga mengkritik rencana tersebut, dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat menampung migran tanpa batas waktu.
Sebagian besar pencari suaka melakukan perjalanan darat ke Israel melalui perbatasan dengan Mesir dan mengklaim bahwa mereka tidak dapat kembali karena ancaman penganiayaan oleh pemerintah otoriter negara asalnya.
Pemerintah Zionis telah memberi kelompok tersebut batas waktu sampai 1 April untuk meninggalkan negara itu dengan tujuan Afrika yang tidak disebutkan namanya. Mereka diberi imbalan USD3.500 dan tiket pesawat. Jika menolak, mereka akan di penjara tanpa batas waktu yang ditentukan.
Demonstran membawa sejumlah poster bertuliskan "Kita semua adalah manusia" dan "Pengungsi dan penduduk menolak menjadi musuh". Mereka bergerak melalui jalan-jalan di selatan wilayah Tel Aviv, Neve Shanaan, di mana ada sebuah komunitas migran yang besar.
Stasiun TV Channel 10 memperkirakan 15.000 orang bergabung dalam demonstrasi tersebut, sementara Haaretz mengatakan bahwa demonstrasi tersebut menarik massa hingga 20.000 orang seperti dikutip dari Independent, Minggu (25/2/2018).
Menurut badan pengungsi PBB, ada 27.000 pencari suaka dari Eritrea diktatorial dan 7.700 dari Sudan yang dilanda perang yang saat ini tinggal di Israel.
Dilaporkan bahwa pencari suaka akan dideportasi ke Rwanda dan Uganda, meskipun keduanya menyangkal telah membuat kesepakatan apapun dengan pemerintah Israel.
Mereka yang telah tiba di Rwanda melaporkan bahwa dokumen mereka disita dan hak-hak dasar mereka ditolak.
UNHCR mengatakan dalam sebuah laporan baru-baru ini bahwa hanya sembilan pencari suaka yang dideportasi ke Rwanda telah benar-benar tinggal di sana.
Israel menganggap sebagian besar migran sebagai pencari kerja dan mengatakan tidak memiliki kewajiban hukum untuk mempertahankannya. Namun kritikus termasuk dokter, penulis, dan korban Holocaust Israel telah menyebut rencana pemerintah tersebut tidak etis dan menjadi noda pada citra Israel sebagai tempat perlindungan bagi migran Yahudi.
Dinas penjara Israel juga mengkritik rencana tersebut, dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat menampung migran tanpa batas waktu.
Sebagian besar pencari suaka melakukan perjalanan darat ke Israel melalui perbatasan dengan Mesir dan mengklaim bahwa mereka tidak dapat kembali karena ancaman penganiayaan oleh pemerintah otoriter negara asalnya.
(ian)