Nasheed: Tak Bisa Bayar Utang, Maladewa Terancam Diambil Alih China
A
A
A
KOLOMBO - Mantan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed mengatakan utang besar-besaran kepada China membuat negaranya terancam diserahkan kepada Beijing pada awal tahun 2019. Dia memperingatkan bahwa pemilihan presiden yang cacat pada tahun ini akan mengarah pada pengambilalihan China terhadap Maladewa.
”Kami tidak dapat membayar utang sebesar USD1,5 sampai USD2 miliar ke China,” kata Nasheed kepada Nikkei Asian Review dalam sebuah wawancara di Sri Lanka.
Dia berargumen bahwa negara di Samudra Hindia yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata itu berpenghasilan kurang dari USD100 juta sebulan. Angka yang dia maksud itu adalah pendapatan pemerintah.
Nasheed, yang menjabat dari tahun 2008 sampai 2012, melarikan diri ke Inggris pada tahun 2016 karena hendak ditangkap dan dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme. Dia dituduh telah memerintahkan penangkapan seorang hakim. Dia sekarang membagi waktunya di pengasingan antara Inggris dan Sri Lanka.
Menurut Nasheed, pada Januari lalu Maladewa memiliki kewajiban menyumbang ke China hampir 80 persen dari total hutang luar negerinya.
Sebagian besar utang masuk ke infrastruktur, termasuk jalan, jembatan dan bandara. “Tapi ini adalah proyek kesombongan,” kritik Nasheed.”Jalan tidak ke mana-mana, bandara yang (akan mangkrak) kosong,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Nasheed, utang Maladewa dibebani bunga tinggi. Menurutnya, Maladewa harus mulai melakukan pembayaran atas utangnya pada tahun 2019 atau 2020.
“Jika Maladewa jatuh, China akan ‘menuntut keadilan’ dari pemilik berbagai pulau dan operator infrastruktur, dan Beijing kemudian akan bebas memegang tanah itu,” katanya.
”Tanpa meletuskan satu tembakan pun, China telah menguasai lebih banyak lahan daripada East India Company pada puncak abad ke-19,” kata Nasheed, yang menuduh bahwa pembangkit kekuatan ekonomi Asia itu telah mengambil alih 16 pulau yang sudah di bawah presiden saat ini Maladewa, Abdulla Yameen.
“Latihan mengambil tanah ini sudah keluar dari kedaulatan kita,” papar Nasheed tanpa merinci nama pulau yang dia duga telah diambil alih China.
Pemerintahan Yameen yang didukung China telah menindak oposisi politik selama beberapa tahun terakhir. Namun pada 1 Februari, Mahkamah Agung Maladewa memerintahkan pembebasan dan pemulihan anggota parlemen dari kubu oposisi.
Pemerintah Yameen menanggapi dengan mengumumkan keadaan darurat dan menjebloskan dua hakim ke penjara.
”Kita perlu membebaskan hakim,” kata Nasheed. ”Kami membutuhkan pemerintah untuk mematuhi keputusan pengadilan,” katanya lagi.
China seperti dilaporkan Firstpost telah membantah tuduhan akan mengambil alih Maladewa melalui perangkap utang.
”Kami tidak dapat membayar utang sebesar USD1,5 sampai USD2 miliar ke China,” kata Nasheed kepada Nikkei Asian Review dalam sebuah wawancara di Sri Lanka.
Dia berargumen bahwa negara di Samudra Hindia yang dikenal sebagai tempat tujuan wisata itu berpenghasilan kurang dari USD100 juta sebulan. Angka yang dia maksud itu adalah pendapatan pemerintah.
Nasheed, yang menjabat dari tahun 2008 sampai 2012, melarikan diri ke Inggris pada tahun 2016 karena hendak ditangkap dan dihukum di bawah undang-undang anti-terorisme. Dia dituduh telah memerintahkan penangkapan seorang hakim. Dia sekarang membagi waktunya di pengasingan antara Inggris dan Sri Lanka.
Menurut Nasheed, pada Januari lalu Maladewa memiliki kewajiban menyumbang ke China hampir 80 persen dari total hutang luar negerinya.
Sebagian besar utang masuk ke infrastruktur, termasuk jalan, jembatan dan bandara. “Tapi ini adalah proyek kesombongan,” kritik Nasheed.”Jalan tidak ke mana-mana, bandara yang (akan mangkrak) kosong,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Nasheed, utang Maladewa dibebani bunga tinggi. Menurutnya, Maladewa harus mulai melakukan pembayaran atas utangnya pada tahun 2019 atau 2020.
“Jika Maladewa jatuh, China akan ‘menuntut keadilan’ dari pemilik berbagai pulau dan operator infrastruktur, dan Beijing kemudian akan bebas memegang tanah itu,” katanya.
”Tanpa meletuskan satu tembakan pun, China telah menguasai lebih banyak lahan daripada East India Company pada puncak abad ke-19,” kata Nasheed, yang menuduh bahwa pembangkit kekuatan ekonomi Asia itu telah mengambil alih 16 pulau yang sudah di bawah presiden saat ini Maladewa, Abdulla Yameen.
“Latihan mengambil tanah ini sudah keluar dari kedaulatan kita,” papar Nasheed tanpa merinci nama pulau yang dia duga telah diambil alih China.
Pemerintahan Yameen yang didukung China telah menindak oposisi politik selama beberapa tahun terakhir. Namun pada 1 Februari, Mahkamah Agung Maladewa memerintahkan pembebasan dan pemulihan anggota parlemen dari kubu oposisi.
Pemerintah Yameen menanggapi dengan mengumumkan keadaan darurat dan menjebloskan dua hakim ke penjara.
”Kita perlu membebaskan hakim,” kata Nasheed. ”Kami membutuhkan pemerintah untuk mematuhi keputusan pengadilan,” katanya lagi.
China seperti dilaporkan Firstpost telah membantah tuduhan akan mengambil alih Maladewa melalui perangkap utang.
(mas)