Krisis Politik Venezuela, Pengadilan Internasional Turun Tangan
A
A
A
THE HAGUE - Pengadilan Pidana Internasional (ICC) tengah memeriksa tuduhan kekerasan berlebihan dan pelanggaran lain oleh pemerintah Venezuela dalam menanggapi demonstrasi anti rezim yang berujung kematian. Hal tersebut dikatakan oleh jaksa penuntut internasional.
Pemeriksaan pendahuluan oleh pengadilan yang berbasis di Belanda adalah langkah pertama untuk meluncurkan penyelidikan terhadap apa yang oleh jaksa ICC Fatou Bensouda disebut sebagai tuduhan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan negara terhadap lawan Presiden Nicolas Maduro.
Jaksa ICC mengatakan, kantornya juga memeriksa perang brutal Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap obat-obatan terlarang.
"Keputusan tersebut muncurl setelah melakukan peninjauan yang hati-hati, independen dan tidak memihak atas dugaan kejahatan oleh pemerintah Maduro untuk menghentikan demonstrasi dan kerusuhan politik sejak April 2017," kata Bensouda dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari CNN, Jumat (9/2/2018).
"Sebagai tambahan, ICC akan memeriksa penangkapan terhadap ribuan anggota oposisi yang terbaru atau yang mengetahui, termasuk beberapa yang diduga mengalami penganiayaan serius dan perlakuan buruk dalam penahanan," menurut pernyataan tersebut.
Bensouda mencatat bahwa pengadilan tersebut juga telah menerima laporan bahwa kekerasan oleh pemrotes telah mengakibatkan kematian atau cedera pada aparat keamanan.
Jaksa Agung Venezuela Tarek William Saab membela pemerintah, dengan menyebut informasi yang diandalkan Bensouda untuk meluncurkan pemeriksaan bias. Dalam serangkaian tweet, Saab mengatakan bahwa Venezuela siap untuk membela tindakannya dan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Direktur Amerika untuk Human Rights Watch, Jose Miguel Vivanco, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa jaksa penuntut internasional mengirimkan pesan yang kuat bahwa kantornya melacak pelanggaran mengerikan pemerintah Maduro. Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan bahwa Venezuela secara sistematis menggunakan perlakuan brutal, termasuk penyiksaan, terhadap pemrotes anti-pemerintah dan lawan politik.
Pada bulan Agustus, kantor hak asasi manusia PBB menuduh pasukan keamanan Venezuela menggunakan kekuatan yang berlebihan dan dengan sewenang-wenang menahan ribuan orang.
Lebih dari 120 orang tewas dalam insiden yang berkaitan dengan demonstrasi sejak musim semi lalu. Para kritikus menuduh Maduro secara tidak sah mengkonsolidasikan kekuasaan, termasuk memasukkan para loyalisnya ke Mahkamah Agung dan mengadakan pemilihan untuk majelis legislatif baru yang sebenarnya hanya diikuti oleh para pendukungnya.
Bulan lalu, Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada tujuh pemimpin Venezuela. Mereka dituding telah merongrong demokrasi. Uni Eropa juga melarang penjualan senjata ke Venezuela pada bulan November.
Pemerintahan Trump juga telah memberi sanksi kepada sejumlah pemimpin Venezuela. Pada bulan Agustus, Amerika Serikat juga menerapkan sanksi keuangan yang ketat kepada Venezuela.
Pemeriksaan pendahuluan oleh pengadilan yang berbasis di Belanda adalah langkah pertama untuk meluncurkan penyelidikan terhadap apa yang oleh jaksa ICC Fatou Bensouda disebut sebagai tuduhan kekuatan berlebihan oleh pasukan keamanan negara terhadap lawan Presiden Nicolas Maduro.
Jaksa ICC mengatakan, kantornya juga memeriksa perang brutal Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap obat-obatan terlarang.
"Keputusan tersebut muncurl setelah melakukan peninjauan yang hati-hati, independen dan tidak memihak atas dugaan kejahatan oleh pemerintah Maduro untuk menghentikan demonstrasi dan kerusuhan politik sejak April 2017," kata Bensouda dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari CNN, Jumat (9/2/2018).
"Sebagai tambahan, ICC akan memeriksa penangkapan terhadap ribuan anggota oposisi yang terbaru atau yang mengetahui, termasuk beberapa yang diduga mengalami penganiayaan serius dan perlakuan buruk dalam penahanan," menurut pernyataan tersebut.
Bensouda mencatat bahwa pengadilan tersebut juga telah menerima laporan bahwa kekerasan oleh pemrotes telah mengakibatkan kematian atau cedera pada aparat keamanan.
Jaksa Agung Venezuela Tarek William Saab membela pemerintah, dengan menyebut informasi yang diandalkan Bensouda untuk meluncurkan pemeriksaan bias. Dalam serangkaian tweet, Saab mengatakan bahwa Venezuela siap untuk membela tindakannya dan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.
Direktur Amerika untuk Human Rights Watch, Jose Miguel Vivanco, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa jaksa penuntut internasional mengirimkan pesan yang kuat bahwa kantornya melacak pelanggaran mengerikan pemerintah Maduro. Kelompok hak asasi manusia tersebut mengatakan bahwa Venezuela secara sistematis menggunakan perlakuan brutal, termasuk penyiksaan, terhadap pemrotes anti-pemerintah dan lawan politik.
Pada bulan Agustus, kantor hak asasi manusia PBB menuduh pasukan keamanan Venezuela menggunakan kekuatan yang berlebihan dan dengan sewenang-wenang menahan ribuan orang.
Lebih dari 120 orang tewas dalam insiden yang berkaitan dengan demonstrasi sejak musim semi lalu. Para kritikus menuduh Maduro secara tidak sah mengkonsolidasikan kekuasaan, termasuk memasukkan para loyalisnya ke Mahkamah Agung dan mengadakan pemilihan untuk majelis legislatif baru yang sebenarnya hanya diikuti oleh para pendukungnya.
Bulan lalu, Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada tujuh pemimpin Venezuela. Mereka dituding telah merongrong demokrasi. Uni Eropa juga melarang penjualan senjata ke Venezuela pada bulan November.
Pemerintahan Trump juga telah memberi sanksi kepada sejumlah pemimpin Venezuela. Pada bulan Agustus, Amerika Serikat juga menerapkan sanksi keuangan yang ketat kepada Venezuela.
(ian)