Bersejarah, Saudi Izinkan Wilayahnya Dilintasi Pesawat ke Israel
A
A
A
TEL AVIV - Arab Saudi untuk pertama kalinya dalam sejarah mengizinkan pesawat komersial menggunakan wilayah udaranya untuk menuju ke Israel. Selama 70 tahun terakhir ini, Kerajaan Saudi melarang wilayahnya digunakan oleh pesawat yang menuju ke negara Yahudi tersebut.
Izin diberikan kepada maskapai Air India. Implementasi dari izin itu efektif berlaku mulai bulan Maret.
Dengan kebijakan Riyadh tersebut, penerbangan Air India dari New Delhi ke Tel Aviv bisa dipersingkat 2,5 jam.
Manfaat lainnya adalah maskapai tersebut akan mengurangi biaya bahan bakar dan bisa menjual tiket yang lebih murah kepada penumpang.
Arab Saudi dan Israel tidak menjalin hubungan diplomatik secara resmi. Meski demikian, bukan rahasia lagi bahwa jet pribadi dapat terbang dari bandara Saudi dan Teluk lainnya ke Israel. Biasanya, mereka tidak dapat menggunakan rute langsung dan harus melakukan pemberhentian di bandara Amman terlebih dahulu.
Langkah tersebut dipandang sebagai “anggukan” terhadap pengaruh Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi di wilayah tersebut. PM Modi diperkirakan akan mendarat di Tepi Barat—wilayah Palestina yang diduduki Israel—pada 10 Februari 2018.
Tahun lalu, Modi menjadi perdana menteri India pertama yang pergi ke Israel dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi.
Keputusan Riyadh kali ini secara tidak langsung menandai hubungan yang lebih hangat antara Israel dan Arab Saudi, setelah kedua negara dilaporkan menjalin hubungan secara rahasia dalam setahun terakhir.
”Perubahan politik di Arab Saudi dan keinginan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan adalah alasan utama mengapa hubungan ini dengan Israel dibuka,” kata Mahjoob Zweiri, seorang profesor di Departemen Program Studi Teluk di Universitas Qatar kepada Al Jazeera yang dilansir Rabu (7/2/2018).
Terkait perkembangan ini, Kementerian Pariwisata Israel mengumumkan bahwa mereka akan menyetujui hibah 750.000 euro kepada Air India untuk membuka jalur langsung yang baru. Pengumuman ini disampaikan juru bicara kementerian tersebut, Lydia Weitzman.
“Ini dilakukan untuk mendorong rute baru dari destinasi yang memiliki potensi untuk masuk ke dalam pariwisata, dan ini bukan kebijakan baru, melainkan sesuatu yang Israel lakukan di masa lalu,” ujarnya.
Izin diberikan kepada maskapai Air India. Implementasi dari izin itu efektif berlaku mulai bulan Maret.
Dengan kebijakan Riyadh tersebut, penerbangan Air India dari New Delhi ke Tel Aviv bisa dipersingkat 2,5 jam.
Manfaat lainnya adalah maskapai tersebut akan mengurangi biaya bahan bakar dan bisa menjual tiket yang lebih murah kepada penumpang.
Arab Saudi dan Israel tidak menjalin hubungan diplomatik secara resmi. Meski demikian, bukan rahasia lagi bahwa jet pribadi dapat terbang dari bandara Saudi dan Teluk lainnya ke Israel. Biasanya, mereka tidak dapat menggunakan rute langsung dan harus melakukan pemberhentian di bandara Amman terlebih dahulu.
Langkah tersebut dipandang sebagai “anggukan” terhadap pengaruh Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi di wilayah tersebut. PM Modi diperkirakan akan mendarat di Tepi Barat—wilayah Palestina yang diduduki Israel—pada 10 Februari 2018.
Tahun lalu, Modi menjadi perdana menteri India pertama yang pergi ke Israel dalam sebuah kunjungan kenegaraan resmi.
Keputusan Riyadh kali ini secara tidak langsung menandai hubungan yang lebih hangat antara Israel dan Arab Saudi, setelah kedua negara dilaporkan menjalin hubungan secara rahasia dalam setahun terakhir.
”Perubahan politik di Arab Saudi dan keinginan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan adalah alasan utama mengapa hubungan ini dengan Israel dibuka,” kata Mahjoob Zweiri, seorang profesor di Departemen Program Studi Teluk di Universitas Qatar kepada Al Jazeera yang dilansir Rabu (7/2/2018).
Terkait perkembangan ini, Kementerian Pariwisata Israel mengumumkan bahwa mereka akan menyetujui hibah 750.000 euro kepada Air India untuk membuka jalur langsung yang baru. Pengumuman ini disampaikan juru bicara kementerian tersebut, Lydia Weitzman.
“Ini dilakukan untuk mendorong rute baru dari destinasi yang memiliki potensi untuk masuk ke dalam pariwisata, dan ini bukan kebijakan baru, melainkan sesuatu yang Israel lakukan di masa lalu,” ujarnya.
(mas)