Negara Asia Tutupi Pelanggaran HAM dengan Pertumbuhan Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Komisioner Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad al-Hussein menyatakan banyak negara, khususnya negara-negara Asia, menjadikan pertumbuhan ekonominya sebagai kedok untuk menutupi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Kritik itu dia sampaikan saat diskusi soal HAM di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, di Jakarta, Senin (5/2/2018). Menurutnya, mayoritas negara di Asia sudah mengalami kemajuan dalam bidang demokrasi dan ekonomi. Namun, kemajuan itu terkadang tak sejalan dengan praktik penegakan HAM.
”Saat ini, dalam mempertimbangkan situasi HAM di Asia, saya memuji perbaikan besar-besaran yang terus ditawarkan oleh orang-orang di wilayah ini. Hanya tiga dari 42 negara Asia-Pasifik yang masih tergolong berpendapatan rendah. Akses terhadap pendidikan dan standar kehidupan yang layak telah meningkat,” kata Zeid.
”Meskipun dalam beberapa kasus, peningkatan keseluruhan ini menutupi area lain yang penting, seperti hak perempuan yang setara, hampir tidak ada indeks yang belum meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Ada juga peningkatan sistem pemerintahan yang partisipatif dan akuntabel di banyak negara, dan perbaikan peraturan kepegawaian yang sangat signifikan,” ujarnya.
Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran itu juga bisa berupa pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul, penyadapan dalam sekala besar, serta penyerangan terhadap kekebasan pers.
”Saya juga sangat prihatin dengan tindakan keras terhadap masyarakat sipil di banyak negara, dan tindakan yang pada akhirnya menangguhkan atau mengurangi tata pemerintahan demokratis, yang partisipatif dan akuntabel,” paparnya.
Banyak kekacauan, ujarnya, bisa terjadi di seluruh dunia. Cara untuk memastikan semua orang dapat hidup berdampingan secara damai adalah dengan memberikan keadilan yang lebih besar.
”Saya mendesak semua pejabat pemerintah untuk memiliki kepercayaan terhadap kecerdasan dan energi masyarakatnya dan menggunakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia secara keseluruhan sebagai panduan hukum dan kebijakan,” katanya.
Kritik itu dia sampaikan saat diskusi soal HAM di Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia, di Jakarta, Senin (5/2/2018). Menurutnya, mayoritas negara di Asia sudah mengalami kemajuan dalam bidang demokrasi dan ekonomi. Namun, kemajuan itu terkadang tak sejalan dengan praktik penegakan HAM.
”Saat ini, dalam mempertimbangkan situasi HAM di Asia, saya memuji perbaikan besar-besaran yang terus ditawarkan oleh orang-orang di wilayah ini. Hanya tiga dari 42 negara Asia-Pasifik yang masih tergolong berpendapatan rendah. Akses terhadap pendidikan dan standar kehidupan yang layak telah meningkat,” kata Zeid.
”Meskipun dalam beberapa kasus, peningkatan keseluruhan ini menutupi area lain yang penting, seperti hak perempuan yang setara, hampir tidak ada indeks yang belum meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Ada juga peningkatan sistem pemerintahan yang partisipatif dan akuntabel di banyak negara, dan perbaikan peraturan kepegawaian yang sangat signifikan,” ujarnya.
Menurutnya, pelanggaran-pelanggaran itu juga bisa berupa pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul, penyadapan dalam sekala besar, serta penyerangan terhadap kekebasan pers.
”Saya juga sangat prihatin dengan tindakan keras terhadap masyarakat sipil di banyak negara, dan tindakan yang pada akhirnya menangguhkan atau mengurangi tata pemerintahan demokratis, yang partisipatif dan akuntabel,” paparnya.
Banyak kekacauan, ujarnya, bisa terjadi di seluruh dunia. Cara untuk memastikan semua orang dapat hidup berdampingan secara damai adalah dengan memberikan keadilan yang lebih besar.
”Saya mendesak semua pejabat pemerintah untuk memiliki kepercayaan terhadap kecerdasan dan energi masyarakatnya dan menggunakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia secara keseluruhan sebagai panduan hukum dan kebijakan,” katanya.
(mas)