Tak Setuju AS Gempur Korut, Victor Cha Batal Jadi Dubes di Korsel

Jum'at, 02 Februari 2018 - 10:43 WIB
Tak Setuju AS Gempur...
Tak Setuju AS Gempur Korut, Victor Cha Batal Jadi Dubes di Korsel
A A A
WASHINGTON - Pakar Asia, Victor Cha, dihilangkan dari daftar nominasi kandidat duta besar (dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Korea Selatan (Korsel). Pembatalan itu terjadi setelah dia mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan rencana pemerintah Donald Trump menggempur Korea Utara (Korut).

Sikap Cha yang dia tuliskan dalam sebuah artikel di New York Times. Tulisannya itu justru secara tidak sengaja mengungkapkan tujuan militer AS dan dikhawatirkan mengacaukan kerja keras administrasi Trump di tengah meningkatnya ketegangan nuklir di semenanjung Korea.

Seorang pejabat pemerintah AS mengonfirmasi penarikan Victor Cha dari pertimbangan perannya sebagai duta besar AS untuk Korsel. Kursi dubes AS di Korsel yang sangat penting itu kosong sejak Trump menjabat sebagai presiden.

Pejabat yang berbicara dalam kondisi anonim itu menolak mengonfirmasi alasan penarikan Cha sebagai nominator dubes. Namun, The Washington Post melaporkan bahwa dia telah menyatakan ketidaksetujuannya dengan kebijakan administrasi Trump terhadap rezim Kim Jong-un.

Dalam artikelnya, Cha menyatakan bahwa Korea Utara memang merupakan ancaman nuklir yang besar bagi AS. Tapi, dia tidak mendukung aksi militer yang dia sebut sebagai serangan “bloody nose” tersebut.

”Jawabannya tidak, seperti yang disarankan beberapa pejabat Trump, sebuah serangan militer preventif. Sebagai gantinya, ada opsi militer yang kuat yang bisa mengatasi ancaman tanpa meningkat menjadi perang yang kemungkinan akan membunuh puluhan, bahkan ratusan dari ribuan orang Amerika,” tulis Cha.

”Ketika saya berada dalam pertimbangan untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan ini, saya berbagi beberapa pandangan ini,” lanjut dia.

Bulan lalu tiga sumber pemerintah AS mengatakan kepada The Telegraph of London bahwa Gedung Putih sedang menyusun opsi militer karena diplomasi telah gagal untuk mengekang “rezim nakal” tersebut.

”Pentagon sedang mencoba untuk menemukan opsi yang memungkinkan mereka memukul Korea Utara di hidung, menarik perhatian mereka dan menunjukkan bahwa kita serius,” kata seorang pejabat keamanan AS kepada surat kabar tersebut.

Dalam tulisannya, Cha menyatakan bahwa tindakan militer bisa memaksa Kim Jong-un untuk lengser. ”Namun ada sebuah titik di mana harapan harus menyerah pada logika,” tulis dia yang menjelaskan bahwa opsi militer merupakan sikap yang menyerah.

Menurut Cha, opsi “serangan kinetik” terhadap Korut akan berdampak luas. Cha bukan diplomat sembarangan. Dia dipercaya sebagai “elang” di Korut ketika bertugas untuk pemerintah Presiden Bush.

”Untuk menjadi jelas; Presiden akan menempatkan risiko pada populasi Amerika seluas kota yang berukuran sedang di AS—Pittsburgh, katakanlah, atau Cincinnati—dengan asumsi bahwa seorang diktator yang gila dan tidak dapat dipahami secara rasional dikuasai oleh demonstrasi kekuatan kinetik AS,” tulis Cha.

Berita pembatalan pencalonan Cha sebagai dubes itu memicu kegaduhan di Washington. “Keputusan tersebut benar-benar sangat mencolok dan menunjukkan bahwa pilihan untuk melakukan serangan preventif bukan hanya sebuah rumor, tapi ini adalah kemungkinan nyata,” kata Direktur Program Asia Center Wilson, Abraham Denmark kepada news.com.au, Jumat (2/2/2018).

Menurutnya, kegagalan untuk menunjuk seorang duta besar AS di tengah krisis keamanan semacam itu adalah sesuatu yang memiliki efek nyata terhadap kemampuan AS untuk bernegosiasi.

”Bukan berarti ada yang tidak beres dengan petugas dinas luar negeri yang ada di kedutaan,” ujarnya. ”Ini tentang apa yang diwakili seorang duta besar. Kekurangan itu adalah tantangan yang signifikan bagi Amerika Serikat. Ini menimbulkan pertanyaan tentang prioritas presiden,” lanjut dia.

“Tidak memiliki duta besar untuk sebuah sekutu utama di tengah salah satu krisis keamanan yang paling signifikan secara historis belum pernah terjadi sebelumnya,” sambung Denmark.

Apa yang terjadi pada Cha telah mengungkap krisis internal diplomatik AS, di mana lebih dari sepertiga dari 635 posisi kunci pemerintah AS tetap kosong selama satu tahun kepemimpinan Presiden Trump. Posisi yang kosong itu termasuk duta besar AS untuk Australia, Yordania, Irlandia, Arab Saudi, Mesir, Turki dan Uni Eropa.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4119 seconds (0.1#10.140)