Program Reformasi Ditolak Oposisi

Senin, 15 Januari 2018 - 08:36 WIB
Program Reformasi Ditolak...
Program Reformasi Ditolak Oposisi
A A A
TUNIS - Kubu oposisi Tunisia menolak serangkaian program reformasi yang diajukan pemerintah untuk memberikan bantuan bagi keluarga berpendapatan rendah.

Partai oposisi Gerakan Demokratik menyerukan masyarakat untuk melanjutkan demonstrasi massa untuk memprotes serangkaian kebijakan penghematan yang didukung Dana Moneter Internasional (IMF). Mereka juga menggelorakan aksi protes menandani peringatan revolusi ketujuh tahun terinspirasi gejolak politik Musim Semi Arab.

“Langkah pemerintah hanya sebagai obat penyembuh sakit kepala. Itu tidak bisa menyelesaikan situasi,” ungkap Kepala oposisi Gerakan Demokratik Ahmed Nejib Chebbi, dilansir Bloomberg. “Kapal Tunisia akan tenggelam, tanpa solusi yang ditemukan,” jelasnya.

Demonstrasi itu mengguncang pemerintahan Perdana Menteri (PM) Youssef Chahed yang menghadapi banyak tantangan sejak berkuasa pada 2016 lalu. Tunisia memang ingin menerapkan kebijakan penghematan setelah mendapatkan bantuan senilai USD2,9 miliar dari IMF pada 2016 lalu. Tapi, langkah penghematan akan memperparah kondisi Tunisia yang menghadapi tingkat pengangguran mencapai 15%.

Sebagai solusi jangka pendek, kebijakan bantuan yang ditawarkan oleh Menteri Hubungan Sosial Tunisia Mohamed Trabelsi pada Sabtu (13/1) lalu. Pemerintah berjanji akan meningkatkan anggaran kesejahteraan bagi warga miskin dan pensiunan hingga USD70,3 juta di mana keluarga miskin akan menerima kenaikan bantuan sebesar 20%.

“Sekitar 250.000 keluarga diperkirakan akan mendapatkan keuntungan dari program tersebut,” ungkap Trabelsi. “Itu akan membantu warga miskin dan warga kelas menengah,”paparnya dilansir Reuters.

Sementara itu, para aktivis dan oposisi masih menyerukan serangkaian protes kemarin untuk memperingati penggulingan diktator Zine El-Abidine Ben Ali, pemimpin pertama yang jatuh pada demonstrasi “Arab Spring” 2011. Aksi demontrasi kemarin juga sebagai perlawanan terhadap kebijakan baru pemerintah.

Partai oposisi lainnya, Front Populer, juga mengabaikan tawaran pemerintah tentang kebijakan bantuan kepada warga miskin. Mereka berpandangan kalau kebijakan pemerintah tidak mampu menekan biaya hidup yang tinggi. “Menandangi peringatan revolusi, kita menyerukan rakyat Tunisia untuk melanjutkan demonstrasi damai,” seru Front Populer.

Sementara itu, Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi kemarin mengunjungi distrik miskin Ettadhamen di Tunis yang dilanda serangkaian unjuk rasa. Dia mengunjungi pusat budaya dan menyampaikan pidato. Sebelumnya dia tak pernah mengunjungi distrik tersebut.

Langkah Presiden Beji itu sebenarnya bertujuan untuk menurunkan ketegangan di tingkat akar rumput. Dia juga mengunjungi perkampungan Tadamon yang dikenal sebagai kawasan padat penduduk dan dihuni banyak kelas pekerja. Di sana menjadi lokasi demonstrasi massal.

Sebelumnya, Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi menuduh media asing memperbesar berita tentang kerusuhan. Akibat informasi tidak seimbang itu membahayakan citra Tunisia di dunia internasional. Beji melakukan pembicaraan selama dua jam dengan partai politik, serikat pekerja yang kuat dan pengusaha. “Kita ingin berupaya dan memutuskan reformasi untuk meredakan ketegangan politik,” jelas Presiden Beji.

Pada Sabtu (13/1), ratusan demonstrasi berunjuk rasa di jalanan Sidi Bouzid. Itu merupakan kota dimana gejolak revolusi 2011 ketika seorang anak muda membakar diri menyusul gerobaknya diambil polisi yang meminta suap. Demonstrasi baru itu sebagai protes terhadap anggaran yang tidak adil dan akan berlaku pada 1 Januari. Mereka memprotes harga bahan bakar minyak dan produk rumah tangga meningkat tajam.

Kubu oposisi, pendukung Islam, kekuatan sekuler bersatu untuk meminta kenaikan bantuan bagi warga miskin. Pemerintah menyalahkan oposisi dan pembuat masalah yang memicu kerusuhan. Sebanyak 800 orang ditangkap karena vandalism dan kerusuhan seperti melempar bom Molotov ke arah pos polisi.

Tunisia sebelumnya disebut sebagai satu-satunya negara demokratis yang sukses selepas Arab Spring. Tunisia merupakan salah satu negara yang mampu menggulingkan diktator tanpa kerusuhan luas dan perang sipil. Para politisi Tunisia mendapatkan Nobel Perdamaian 2015 karena membuat perubahan tanpa kekerasan.

Namun demikian, Tunisia telah memiliki sembilan pemerintahan setelah Ben Ali terguling. Tidak ada satu pun pemerintah yang mampu menyelesaikan akar permasalahan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melambat dan kondisi ekonomi masyarakat memburuk karena kehancuran sektor pariwisata akibat serangan gerilyawan pada 2015 lalu.

Pengamat memandang kebijakan jangka pemerintahan Tunisia tidak akan mendapatkan respons positif. Bahkan, itu diperkirakan akan memicu kemarahan warga. Gejolak politik diperkirakan akan terus terjadi. “Koalisi kini di bawah tekanan dengan tuntutan reformasi di segala ini,” ungkap Anthony Skinner, Direktur Veris Maplecrof wilayah Timur Tengah-Afrika Utara.

Juru bicara kementerian luar negeri Tunisia Khlifa Chibani mengatakan pada Sabtu (13/01) bahwa 803 orang ditahan sepanjang pekan lalu.

“Penahanan itu diduga sebagai penyebab kekerasan, pencurian dan penjarahan selama demonstrasi,” ungkap Chibani dilansir BBC.

Dia menambahkan 97 anggota pasukan keamanan negara cedera dalam kerusuhan, tetapi tidak menyebutkan jumlah pemrotes yang terluka.
Kerusuhan terbatas pada bentrokan sporadis, terjadi di kota utara Siliana, Sidi Bouzid, Tunisia tengah dan Douz di selatan
negara Afrika Utara itu.

”Protes telah menurun dan tidak ada kerusakan, tapi semalam polisi menangkap 150 orang yang terlibat dalam kerusuhan selama beberapa hari terakhir, sehingga jumlah terus bertambah,” ujar Khelifa Chibani. (Andika Hendra)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0637 seconds (0.1#10.140)