Kongres Filipina Setuju Darurat Militer Diperpanjang
A
A
A
MANILA - Kongres Filipina menyetujui permintaan Presiden Rodrigo Duterte untuk memperpanjang masa darurat militer di wilayah selatan negara itu selama setahun. Permintaan itu diajukan setelah militer Filipina memperingatkan ancaman teroris terus mengintai meski kelompok pro ISIS mengalami kekalahan.
Mayoritas Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat memilih untuk memperpanjang darurat militer di wilayah Mindanao sampai akhir tahun 2018 dengan komposisi 240 setuju dan 27 menentang. Pemungutan suara tersebut diikuti oleh peringatan oleh Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana dan pejabat lainnya bahwa militan pro-ISIS mencoba memulihkan diri dari kekalahan mereka di kota Marawi selatan dan merencanakan serangan baru.
"Pemberontakan belum berhenti, baru saja pindah ke tempat lain," kata Lorenzana kepada senator dan anggota DPR dalam sebuah sesi bersama seperti disitat dari Washington Post, Rabu (13/12/2017).
Para penentang berpendapat bahwa memperpanjang darurat militer di selatan tidak konstitusional. Mereka khawatir tindakan semacam itu dapat menjadi pembuka bagi Duterte mengumumkan keadaan darurat militer di seluruh Filipina.
Senator Francis Pangilinan, yang memimpin partai oposisi utama Partai Liberal, menolak perpanjangan undang-undang darurat militer tanpa dasar konstitusional yang jelas.
"Kita akan berada dalam bahaya menjadi monster yang ingin kita kalahkan, mereka yang tidak memperhatikan hukum, ketertiban atau penghormatan terhadap konstitusi," ujarnya.
Kekerasan di Marawi membuat lebih dari 1.100 kombatan dan orang-orang yang tidak berafiliasi tewas, sekitar setengah juta orang mengungsi dan mengubah kawasan pusat bisnis serta pemukiman utama Marawi menjadi zona perang yang membara.
Pemberontakan tersebut, yang dimulai pada tanggal 23 Mei, mendorong Duterte untuk mengumumkan keadaan darurat militer. Hal ini memperkuat ketakutan bahwa kelompok ISIS mengambil langkah untuk mendapatkan pijakan di Asia dan tempat-tempat lain karena menghadapi kekalahan di Suriah dan Irak.
"Beberapa pria bersenjata dan komandan berhasil melarikan diri saat pertempuran dan sekarang merekrut gerilyawan baru, sementara kelompok ekstremis di provinsi selatan lainnya, termasuk kelompok Abu Sayyaf yang brutal, terus menimbulkan ancaman," menurut militer Filipina.
Warga Filipina sendiri tetap bersikap peka terhadap ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan sipil lebih dari tiga dekade setelah mereka menggulingkan diktator Ferdinand Marcos dalam pemberontakan "kekuatan rakyat" pada 1986 yang menjadi pertanda perubahan rezim otoriter di seluruh dunia.
Mayoritas Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat memilih untuk memperpanjang darurat militer di wilayah Mindanao sampai akhir tahun 2018 dengan komposisi 240 setuju dan 27 menentang. Pemungutan suara tersebut diikuti oleh peringatan oleh Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana dan pejabat lainnya bahwa militan pro-ISIS mencoba memulihkan diri dari kekalahan mereka di kota Marawi selatan dan merencanakan serangan baru.
"Pemberontakan belum berhenti, baru saja pindah ke tempat lain," kata Lorenzana kepada senator dan anggota DPR dalam sebuah sesi bersama seperti disitat dari Washington Post, Rabu (13/12/2017).
Para penentang berpendapat bahwa memperpanjang darurat militer di selatan tidak konstitusional. Mereka khawatir tindakan semacam itu dapat menjadi pembuka bagi Duterte mengumumkan keadaan darurat militer di seluruh Filipina.
Senator Francis Pangilinan, yang memimpin partai oposisi utama Partai Liberal, menolak perpanjangan undang-undang darurat militer tanpa dasar konstitusional yang jelas.
"Kita akan berada dalam bahaya menjadi monster yang ingin kita kalahkan, mereka yang tidak memperhatikan hukum, ketertiban atau penghormatan terhadap konstitusi," ujarnya.
Kekerasan di Marawi membuat lebih dari 1.100 kombatan dan orang-orang yang tidak berafiliasi tewas, sekitar setengah juta orang mengungsi dan mengubah kawasan pusat bisnis serta pemukiman utama Marawi menjadi zona perang yang membara.
Pemberontakan tersebut, yang dimulai pada tanggal 23 Mei, mendorong Duterte untuk mengumumkan keadaan darurat militer. Hal ini memperkuat ketakutan bahwa kelompok ISIS mengambil langkah untuk mendapatkan pijakan di Asia dan tempat-tempat lain karena menghadapi kekalahan di Suriah dan Irak.
"Beberapa pria bersenjata dan komandan berhasil melarikan diri saat pertempuran dan sekarang merekrut gerilyawan baru, sementara kelompok ekstremis di provinsi selatan lainnya, termasuk kelompok Abu Sayyaf yang brutal, terus menimbulkan ancaman," menurut militer Filipina.
Warga Filipina sendiri tetap bersikap peka terhadap ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan sipil lebih dari tiga dekade setelah mereka menggulingkan diktator Ferdinand Marcos dalam pemberontakan "kekuatan rakyat" pada 1986 yang menjadi pertanda perubahan rezim otoriter di seluruh dunia.
(ian)