Bangladesh Perluas Lahan untuk Pengungsi Rohingya
A
A
A
DHAKA - Bangladesh berencana mengalokasikan lebih banyak lahan untuk kamp pengungsi Rohingya karena risiko wabah penyakit meningkat di kamp yang sudah padat dan kotor.
Sekibat 625.000 Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh dari kekerasan di Myanmar. Eksodus itu membuat populasi pengungsi menjadi 837.000 jiwa sehingga Bangladesh menjadi salah satu lokasi penampungan terbesar dan terpadat untuk para pencari suaka.
“Lebih dari 60% suplai air di kamp-kamp terkontaminasi oleh bakteri saat jamban sementara yang telah penuh meluap ke sumur yang dangkal,” ungkap laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikutip kantor berita Reuters.
Naim Talukder dari kelompok Action Against Hunger memperingatkan bahwa ada risiko tinggi untuk kondisi kesehatan publik. “Risiko di sana tidak hanya kolera dan diare akut,” kata Talukder yang mengkoordinasi upaya 31 kelompok dan lembaga untuk mengelola air, sanitasi dan kebersihan.
Citra satelit menunjukkan penyebaran lokasi pengungsian. Data menunjukkan banyak tantangan yang dihadapi untuk memenuhi standar internasional pada kondisi air, sanitasi dan kebersihan di kamp dan lokasi sekitarnya.
Sebagian besar pengungsi tinggal di tenda yang terbuat dari bambu dan kain kanvas di lokasi yang telah padat pengungsi. “Keadaan di sana sangat jauh dari standar darurat,” ujar Graham Eastmond dari International Organization for Migration (IOM).
“Anda membicarakan sepertiga standar internasional. Kita perlu mengurangi kepadatan pengungsi segera dan tentu untuk melakukan itu kita perlu lebih banyak lahan,” papar Eastmond.
IOM merupakan salah satu lembaga yang mendorong Bangladesh membebaskan lebih banyak lahan dan memungkinkan penyebaran pemukiman lebih luas untuk para pengungsi. “Pemerintah telah mengalokasikan 3.000 acre (1.214 hektar) lahan untuk Rohingya,” ungkap Shah Kamal, pejabat manajemen bencana Bangladesh.
“Mempertimbangkan kondisi sekarnag, pemerintah berencana mengalokasikan 500 acre lahan tambahan untuk mereka,” ujar Kamal.
Pekan lalu, Bangladesh menyetujui proyek senilai USD280 juta untuk mengembangkan pulau terisolir dan rawan banjir di Teluk Bengal untuk menampung 100.000 Rohingya. Rencana itu tetap dijalankan meski mendapat kritik dari berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM).
Lokasi kamp pengungsi yang terlalu padat meningkatkan risiko kesehatan dan keamanan. Menurut Eastmond risiko wabah penyakit yang disebarkan melalui air, hingga tanah longsor dan banjir, terus meningkat.
Pada 11 November terdapat 36.096 kasus diare akut sejak 25 Agustus. Jumlah inveksi diare terus meningkat setiap bulan.
Bangladesh yang bekerja sama dengan berbagai lembaga bantuan dan PBB telah mengeluarkan ratusan juta dolar untuk menghadapi krisis Rohingya. “Jalan-jalan baru yang dibangun militer akan dibuka bulan ini, meningkatkan akses penghuni kamp,” papar Eastmond.
Meski demikian, kebutuhan dana untuk air, sanitasi dan layanan kebersihan baru terpenuhi 23%. Itu artinya masih dibutuhkan lebih banyak dana untuk membantu para pengungsi Rohingya. (Muh Shamil)
Sekibat 625.000 Muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh dari kekerasan di Myanmar. Eksodus itu membuat populasi pengungsi menjadi 837.000 jiwa sehingga Bangladesh menjadi salah satu lokasi penampungan terbesar dan terpadat untuk para pencari suaka.
“Lebih dari 60% suplai air di kamp-kamp terkontaminasi oleh bakteri saat jamban sementara yang telah penuh meluap ke sumur yang dangkal,” ungkap laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikutip kantor berita Reuters.
Naim Talukder dari kelompok Action Against Hunger memperingatkan bahwa ada risiko tinggi untuk kondisi kesehatan publik. “Risiko di sana tidak hanya kolera dan diare akut,” kata Talukder yang mengkoordinasi upaya 31 kelompok dan lembaga untuk mengelola air, sanitasi dan kebersihan.
Citra satelit menunjukkan penyebaran lokasi pengungsian. Data menunjukkan banyak tantangan yang dihadapi untuk memenuhi standar internasional pada kondisi air, sanitasi dan kebersihan di kamp dan lokasi sekitarnya.
Sebagian besar pengungsi tinggal di tenda yang terbuat dari bambu dan kain kanvas di lokasi yang telah padat pengungsi. “Keadaan di sana sangat jauh dari standar darurat,” ujar Graham Eastmond dari International Organization for Migration (IOM).
“Anda membicarakan sepertiga standar internasional. Kita perlu mengurangi kepadatan pengungsi segera dan tentu untuk melakukan itu kita perlu lebih banyak lahan,” papar Eastmond.
IOM merupakan salah satu lembaga yang mendorong Bangladesh membebaskan lebih banyak lahan dan memungkinkan penyebaran pemukiman lebih luas untuk para pengungsi. “Pemerintah telah mengalokasikan 3.000 acre (1.214 hektar) lahan untuk Rohingya,” ungkap Shah Kamal, pejabat manajemen bencana Bangladesh.
“Mempertimbangkan kondisi sekarnag, pemerintah berencana mengalokasikan 500 acre lahan tambahan untuk mereka,” ujar Kamal.
Pekan lalu, Bangladesh menyetujui proyek senilai USD280 juta untuk mengembangkan pulau terisolir dan rawan banjir di Teluk Bengal untuk menampung 100.000 Rohingya. Rencana itu tetap dijalankan meski mendapat kritik dari berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM).
Lokasi kamp pengungsi yang terlalu padat meningkatkan risiko kesehatan dan keamanan. Menurut Eastmond risiko wabah penyakit yang disebarkan melalui air, hingga tanah longsor dan banjir, terus meningkat.
Pada 11 November terdapat 36.096 kasus diare akut sejak 25 Agustus. Jumlah inveksi diare terus meningkat setiap bulan.
Bangladesh yang bekerja sama dengan berbagai lembaga bantuan dan PBB telah mengeluarkan ratusan juta dolar untuk menghadapi krisis Rohingya. “Jalan-jalan baru yang dibangun militer akan dibuka bulan ini, meningkatkan akses penghuni kamp,” papar Eastmond.
Meski demikian, kebutuhan dana untuk air, sanitasi dan layanan kebersihan baru terpenuhi 23%. Itu artinya masih dibutuhkan lebih banyak dana untuk membantu para pengungsi Rohingya. (Muh Shamil)
(nfl)