Duterte Ancam Berlakukan 'Pemerintahan Revolusioner'
A
A
A
MANILA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte secara terbuka telah mengancam untuk memberlakukan pemerintahan darurat yang otoriter. Hal itu akan dilakukan jika pemerintahan oligarki yang dipimpinnya berjalan tidak sesuai dengan kebijakan.
"Sekali Anda menciptakan destabilisasi yang berujung pada kekacauan, Saya tidak akan ragu untuk mengumumkan sebuah pemerintahan revolusioner sampai akhir masa jabatan Saya," kata Duterte seperti disitir dari Sputnik, Sabtu (2/12/2017).
Ia menambahkan bahwa ia dapat menunda konstitusi negara tersebut sehingga dia dan para pendukungnya dapat mereformasi pemerintah tanpa belenggu.
"Pemerintahan revolusioner ini akan mereformasi sistem federal, meratifikasi sebuah konstitusi baru, mengurangi korupsi, memperbaiki dan memodernisasi keamanan serta mengakhiri cengkeraman kartel-kartel obat bius. Semua ini bisa jadi milikmu, orang Filipina, jika kamu hanya memberikan kekuasaan mutlak kepada presiden," ujar Duterte.
Duterte berjalan di atas sebuah platform yang mengklaim bahwa elit dan sindikat obat-obatan kaya bekerja di bawah kendali untuk keuntungan bersama dengan mengorbankan rakyat jelata di Filipina. Tak lama setelah menjabat, dia mengumumkan perang melawan penggunaan narkoba, mendorong polisi untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengguna narkoba dan penjajanya.
Gereja Katolik Filipina mengklaim bahwa lebih dari 13.000 orang telah terbunuh dalam perang obat Duterte sejak Juni 2016. Sementara polisi Filipina menyebut tindakan brutal Duterte sangat efektif: kejahatan telah menurun 32 persen dan warga Filipina melaporkan bahwa mereka merasa lebih aman sebagai akibat dari kebijakan represif tersebut.
Duterte juga mengumumkan darurat militer di pulau Mindanao. Mindanao merupakan lokasi pertempuran berdarah antara militer Filipina dan kelompok jihadis Maute dan Abu Sayyaf, yang telah berjanji setia kepada ISIS, di seberang kota Marawi. Lebih dari 1.000 orang terbunuh dan satu juta orang mengungsi dalam lima bulan pertempuran dan seluruh pulau tetap berada di bawah kendali militer bahkan setelah kekalahan ISIS.
"Sekali Anda menciptakan destabilisasi yang berujung pada kekacauan, Saya tidak akan ragu untuk mengumumkan sebuah pemerintahan revolusioner sampai akhir masa jabatan Saya," kata Duterte seperti disitir dari Sputnik, Sabtu (2/12/2017).
Ia menambahkan bahwa ia dapat menunda konstitusi negara tersebut sehingga dia dan para pendukungnya dapat mereformasi pemerintah tanpa belenggu.
"Pemerintahan revolusioner ini akan mereformasi sistem federal, meratifikasi sebuah konstitusi baru, mengurangi korupsi, memperbaiki dan memodernisasi keamanan serta mengakhiri cengkeraman kartel-kartel obat bius. Semua ini bisa jadi milikmu, orang Filipina, jika kamu hanya memberikan kekuasaan mutlak kepada presiden," ujar Duterte.
Duterte berjalan di atas sebuah platform yang mengklaim bahwa elit dan sindikat obat-obatan kaya bekerja di bawah kendali untuk keuntungan bersama dengan mengorbankan rakyat jelata di Filipina. Tak lama setelah menjabat, dia mengumumkan perang melawan penggunaan narkoba, mendorong polisi untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengguna narkoba dan penjajanya.
Gereja Katolik Filipina mengklaim bahwa lebih dari 13.000 orang telah terbunuh dalam perang obat Duterte sejak Juni 2016. Sementara polisi Filipina menyebut tindakan brutal Duterte sangat efektif: kejahatan telah menurun 32 persen dan warga Filipina melaporkan bahwa mereka merasa lebih aman sebagai akibat dari kebijakan represif tersebut.
Duterte juga mengumumkan darurat militer di pulau Mindanao. Mindanao merupakan lokasi pertempuran berdarah antara militer Filipina dan kelompok jihadis Maute dan Abu Sayyaf, yang telah berjanji setia kepada ISIS, di seberang kota Marawi. Lebih dari 1.000 orang terbunuh dan satu juta orang mengungsi dalam lima bulan pertempuran dan seluruh pulau tetap berada di bawah kendali militer bahkan setelah kekalahan ISIS.
(ian)