Presiden Mugabe 'Diamankan' Militer, WNI di Zimbabwe Diminta Waspada
A
A
A
JAKARTA - Presiden Robert Mugabe dan keluarganya dilaporkan “diamankan” oleh militer di rumahnya selama lebih dari 12 jam terakhir di tengah munculnya spekulasi bahwa kudeta militer terjadi di negara itu. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Harare minta para warga negara Indonesia (WNI) di negara Afrika itu untuk waspada.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dalam pesan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (16/11/2017), menyampaikan lima poin informasi terkait krisis politik yang sedang berlangsung di Zimbabwe. Kelima poin itu antara lain;
1. Situasi Harare sampai saat ini terpantau terkendali. Terdapat beberapa personel dan kendaraan militer di jalanan Harare. Sebagian besar masyarakat masih melaksanalan kegiatan seperti biasa.
2. Dikabarkan oleh media-media, saat ini Presiden Mugabe beserta keluarga telah ”diamankan tentara”.
3. KBRI telah mengeluarkan imbauan agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan, mengurangi aktivitas di luar rumah dan terus berkomunikasi dengan KBRI Harare.
4. Terdapat 41 WNI. KBRI melakukan komunikasi dengan mereka di grup WhatsApp.
5. Terkait banyaknya pemberitaan media online yang belum terkonfirmasi kebenarannya, KBRI Harare akan terus memberikan informasi perkembangan.
Sebelumnya diberitakan bahwa militer melalui televisi nasional mengumumkan bahwa untuk sementara mereka menguasai negara untuk menargetkan “penjahat” di sekitar kepala negara.
Baca Juga: Militer Kuasai Zimbabwe, Presiden Mugabe Jadi Tahanan Rumah
Langkah militer ini diklaim untuk menyelesaikan krisis politik setelah Mugabe, 93, memecat Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa. Setelah pemecatan itu, istri Mugabe, Grace, dipersiapkan sebagai wakil presiden.
Mnangagwa dilaporkan telah kembali ke Zimbabwe pada Selasa malam dari Afrika Selatan, di mana dia melarikan diri pekan lalu setelah dipecat Mugabe.
Pengambilalihan kekuasaan negara oleh militer untuk sementara ini terjadi setelah Panglima Militer Jenderal Constantine Chiwenga mengancam Mugabe bahwa militer siap intervensi untuk mengakhiri kekacauan di Partai Zanu PF, partai berkuasa di negara tersebut.
Seorang pemimpin oposisi terkemuka mengatakan bahwa ada banyak pembicaraan yang sedang berlangsung, di mana tentara mengulurkan tangan kepada mereka guna membahas pembentukan pemerintah transisi setelah Mugabe mundur.
“Negosiasi telah berlangsung selama beberapa bulan dengan orang-orang tertentu di dalam tentara,” kata seorang pejabat oposisi senior yang berbicara dalam kondisi anonim, seperti dikutip The Guardian, Kamis (16/11/2017).
Pejabat tersebut mengatakan Mugabe akan mengundurkan diri minggu ini dan digantikan oleh Mnangagwa, dengan pemimpin oposisi menjabat sebagai wakil presiden dan perdana menteri. Namun, klaim pejabat oposisi ini belum bisa dikonfirmasi secara independen.
Oposisi Zimbabwe belum secara terbuka mengutuk langkah militer. Nelson Chamisa, Wakil Ketua Partai MDC (partai oposisi), menyerukan perdamaian, konstitusionalisme, demokratisasi dan supremasi hukum.
Tendai Biti, seorang pemimpin oposisi, meminta peta jalan kembali ke legitimasi. ”Kuncinya adalah bahwa sebuah otoritas transisional dibentuk termasuk dengan oposisi dan partai yang berkuasa,” katanya.
“Kami memerlukan dialog juga dengan (organisasi regional), Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri,” ujar Biti.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dalam pesan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (16/11/2017), menyampaikan lima poin informasi terkait krisis politik yang sedang berlangsung di Zimbabwe. Kelima poin itu antara lain;
1. Situasi Harare sampai saat ini terpantau terkendali. Terdapat beberapa personel dan kendaraan militer di jalanan Harare. Sebagian besar masyarakat masih melaksanalan kegiatan seperti biasa.
2. Dikabarkan oleh media-media, saat ini Presiden Mugabe beserta keluarga telah ”diamankan tentara”.
3. KBRI telah mengeluarkan imbauan agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan, mengurangi aktivitas di luar rumah dan terus berkomunikasi dengan KBRI Harare.
4. Terdapat 41 WNI. KBRI melakukan komunikasi dengan mereka di grup WhatsApp.
5. Terkait banyaknya pemberitaan media online yang belum terkonfirmasi kebenarannya, KBRI Harare akan terus memberikan informasi perkembangan.
Sebelumnya diberitakan bahwa militer melalui televisi nasional mengumumkan bahwa untuk sementara mereka menguasai negara untuk menargetkan “penjahat” di sekitar kepala negara.
Baca Juga: Militer Kuasai Zimbabwe, Presiden Mugabe Jadi Tahanan Rumah
Langkah militer ini diklaim untuk menyelesaikan krisis politik setelah Mugabe, 93, memecat Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa. Setelah pemecatan itu, istri Mugabe, Grace, dipersiapkan sebagai wakil presiden.
Mnangagwa dilaporkan telah kembali ke Zimbabwe pada Selasa malam dari Afrika Selatan, di mana dia melarikan diri pekan lalu setelah dipecat Mugabe.
Pengambilalihan kekuasaan negara oleh militer untuk sementara ini terjadi setelah Panglima Militer Jenderal Constantine Chiwenga mengancam Mugabe bahwa militer siap intervensi untuk mengakhiri kekacauan di Partai Zanu PF, partai berkuasa di negara tersebut.
Seorang pemimpin oposisi terkemuka mengatakan bahwa ada banyak pembicaraan yang sedang berlangsung, di mana tentara mengulurkan tangan kepada mereka guna membahas pembentukan pemerintah transisi setelah Mugabe mundur.
“Negosiasi telah berlangsung selama beberapa bulan dengan orang-orang tertentu di dalam tentara,” kata seorang pejabat oposisi senior yang berbicara dalam kondisi anonim, seperti dikutip The Guardian, Kamis (16/11/2017).
Pejabat tersebut mengatakan Mugabe akan mengundurkan diri minggu ini dan digantikan oleh Mnangagwa, dengan pemimpin oposisi menjabat sebagai wakil presiden dan perdana menteri. Namun, klaim pejabat oposisi ini belum bisa dikonfirmasi secara independen.
Oposisi Zimbabwe belum secara terbuka mengutuk langkah militer. Nelson Chamisa, Wakil Ketua Partai MDC (partai oposisi), menyerukan perdamaian, konstitusionalisme, demokratisasi dan supremasi hukum.
Tendai Biti, seorang pemimpin oposisi, meminta peta jalan kembali ke legitimasi. ”Kuncinya adalah bahwa sebuah otoritas transisional dibentuk termasuk dengan oposisi dan partai yang berkuasa,” katanya.
“Kami memerlukan dialog juga dengan (organisasi regional), Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri,” ujar Biti.
(mas)