Sekujur Tubuh Terbakar, Wanita Rohingya Ini Korban Tentara Myanmar
A
A
A
KUTUPALONG - Shara Jahan, 40, nama wanita Rohingya ini. Sekujur tubuhnya, termasuk wajah penuh dengan luka bakar, seteah rumahnya di Chut Pyin, Rakhine, dibakar tentara Myanmar dan massa Buddha garis keras.
Serangan itu terjadi awal September lalu. Shara yang merupakan istri sekaligus seorang ibu ini kini berada di kamp pengungsi di Kutupalong, Bangladesh.
Awal September lalu, Shara yang berada di dalam rumah mendengar suara gaduh di luar. Suara itu berasal dari kedatangan sekelompok tentara militer Myanmar dan massa Buddha garis keras. Para tentara, kata Shara, mulai melepaskan tembakan ke semua orang, pria wanita hingga anak-anak.
Rumah Shara dibakar saat dirinya berada di dalam. Suaminya dan salah satu anaknya ditembak di Chut Pyin. Mereka tidak berhasil dalam upaya melarikan diri.
“Puing (rumah) itu jatuh, dan saya terbakar. Saya memiliki api ini di sekujur tubuh saya, di pakaian saya,” katanya kepada Amnesty International.
Saat kobaran api “mencengkeram” tubuhnya, Shara lari dari rumah dan dan mencari air di sawah terdekat.
Tidak ada waktu untuk menjalani perawatan karena dia harus melarikan diri. Sejak itu, dia memulai perjalanan panjang 10 hari ke Bangladesh. Tanpa perawatan dan luka bakar yang serius, dia bertahan untuk menceritakan kisahnya.
”Pada dasarnya sel penghasil pigmennya rusak dan penyembuhan menghasilkan pola yang dikelantang ke kulit. Umumnya disebut hipopigmentasi post-inflammatory pada kulit, dapat terlihat pada jaringan bekas luka setelah luka bakar,” kata seorang ahli medis kepada Amnesty, yang dilansir news.com.au, Jumat (20/10/2017).
Tetangga Shara, Abdul Rahman, 41, yang selamat dari operasi pembersihan oleh militer Myanmar juga menceritakan serangan mengerikan di desa tersebut.
”Saudara saya terbunuh. (Tentara Angkatan Darat Myanmar) membakarnya dengan kelompok tersebut. Kami menemukan (anggota keluarga saya yang lain) di ladang,” kata Abdul Rahman, kepada Fortify Rights.
Di Desa Chut Pyin, di mana beberapa kekerasan terburuk diyakini terjadi, Abdul mengatakan bahwa saudaranya berada di antara sekelompok orang Rohingya yang berbaris menuju sebuah rumah oleh tentara, membakar rumah tersebut dan orang di dalamnya tewas.
”Mereka memiliki bekas luka di tubuh mereka dari peluru dan beberapa luka lainnya,” kata Abdul.
“Kedua keponakan saya, kepala mereka ‘tidak aktif’. Yang berumur enam tahun dan yang lainnya sembilan tahun. Kakak ipar saya ditembak dengan pistol.”
Serangan itu terjadi awal September lalu. Shara yang merupakan istri sekaligus seorang ibu ini kini berada di kamp pengungsi di Kutupalong, Bangladesh.
Awal September lalu, Shara yang berada di dalam rumah mendengar suara gaduh di luar. Suara itu berasal dari kedatangan sekelompok tentara militer Myanmar dan massa Buddha garis keras. Para tentara, kata Shara, mulai melepaskan tembakan ke semua orang, pria wanita hingga anak-anak.
Rumah Shara dibakar saat dirinya berada di dalam. Suaminya dan salah satu anaknya ditembak di Chut Pyin. Mereka tidak berhasil dalam upaya melarikan diri.
“Puing (rumah) itu jatuh, dan saya terbakar. Saya memiliki api ini di sekujur tubuh saya, di pakaian saya,” katanya kepada Amnesty International.
Saat kobaran api “mencengkeram” tubuhnya, Shara lari dari rumah dan dan mencari air di sawah terdekat.
Tidak ada waktu untuk menjalani perawatan karena dia harus melarikan diri. Sejak itu, dia memulai perjalanan panjang 10 hari ke Bangladesh. Tanpa perawatan dan luka bakar yang serius, dia bertahan untuk menceritakan kisahnya.
”Pada dasarnya sel penghasil pigmennya rusak dan penyembuhan menghasilkan pola yang dikelantang ke kulit. Umumnya disebut hipopigmentasi post-inflammatory pada kulit, dapat terlihat pada jaringan bekas luka setelah luka bakar,” kata seorang ahli medis kepada Amnesty, yang dilansir news.com.au, Jumat (20/10/2017).
Tetangga Shara, Abdul Rahman, 41, yang selamat dari operasi pembersihan oleh militer Myanmar juga menceritakan serangan mengerikan di desa tersebut.
”Saudara saya terbunuh. (Tentara Angkatan Darat Myanmar) membakarnya dengan kelompok tersebut. Kami menemukan (anggota keluarga saya yang lain) di ladang,” kata Abdul Rahman, kepada Fortify Rights.
Di Desa Chut Pyin, di mana beberapa kekerasan terburuk diyakini terjadi, Abdul mengatakan bahwa saudaranya berada di antara sekelompok orang Rohingya yang berbaris menuju sebuah rumah oleh tentara, membakar rumah tersebut dan orang di dalamnya tewas.
”Mereka memiliki bekas luka di tubuh mereka dari peluru dan beberapa luka lainnya,” kata Abdul.
“Kedua keponakan saya, kepala mereka ‘tidak aktif’. Yang berumur enam tahun dan yang lainnya sembilan tahun. Kakak ipar saya ditembak dengan pistol.”
(mas)