Alasan Keamanan, Tentara Rusia Bakal Dilarang Selfie
A
A
A
MOSKOW - Kementerian pertahanan Rusia tengah merancang sebuah undang-undang untuk melarang tentara profesional dan personil militer lainnya selfie dan mempostingnya di media sosial. Alasan keamanan menjadi dasar diterbitkannya peraturan tersebut.
Peraturan itu menyatakan bahwa foto, video dan materi lain yang diunggah ke internet dapat mengungkapkan rincian militer yang berguna bagi musuh. Geolokasi otomatis dapat menunjukkan di mana unit militer ditempatkan.
RUU itu mempengaruhi "kontrak" tentara, yang bisa dikirim ke luar negeri, bukan wajib militer seperti dikutip dari BBC, Jumat (6/10/2017).
Sebuah postingan tentara Rusia telah mengungkapkan pasukan yang dikirim ke Ukraina dan Suriah.
Sebagai contoh, pada bulan Juli 2014 wartawan BBC Myroslava Petsa menge-tweet sebuah gambar yang di posting oleh seorang tentara Rusia. Tentara itu dengan bangga melaporkan pengiriman roket Grad ke pemberontak pro-Rusia di Ukraina.
Rusia mencaplok semenanjung Crimea, Ukraina, pada bulan Maret 2014 dan bulan berikutnya para pemberontak merebut sebuah wilayah di Donetsk dan Luhansk - terutama wilayah berbahasa Rusia di Ukraina timur.
Ukraina dan pemerintah Barat menuduh Rusia memasok senjata berat dan pasukan bantuan ke pemberontak. Rusia mengakui bahwa beberapa "sukarelawan" Rusia membantu pemberontak, namun menolak mengakui mengirim pasukan reguler.
Dalam sebuah video YouTube seorang reporter untuk Vice News, Simon Ostrovsky, mengungkapkan bagaimana sebuah postingan media sosial tentara Rusia memungkinkannya untuk mengkonfirmasi peran langsung militer Rusia dalam pertempuran di Ukraina timur.
Pada bulan Agustus 2014 sebuah artikel oleh tim investigasi Bellingcat mengatakan bahwa postingan media sosial oleh tentara Rusia telah mengkonfirmasi kematian di antara anggota resimen Airborne ke-76 Rusia di Ukraina timur. Resimen ini berbasis di Pskov, Rusia barat.
Bellingcat mengkhususkan diri dalam analisis media sosial untuk mendokumentasikan konflik, termasuk peran militer Rusia di Suriah.
Kelompok ekstrimis yang disebut Negara Islam (ISIS) menjalankan operasi media sosial yang canggih. Anggota ISIS tidak hanya memerangi koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) di Irak dan Suriah, tapi juga pasukan Rusia yang bersukutu dengan pasukan pemerintah Suriah.
Kementerian pertahanan Rusia mengatakan dua badan keamanan negara - FSB dan FSO - telah melarang staf mereka untuk memposting konten di media sosial tentang diri mereka atau pekerjaan mereka.
"Larangan baru yang mempengaruhi personil angkatan bersenjata tersebut diharapkan mulai berlaku pada Januari 2018," lapor kantor berita Tass.
Militer Ukraina juga prihatin dengan tentaranya yang mengungkapkan aktivitasnya terlalu banyak di media sosial.
The Kyiv Post melaporkan kekhawatiran tersebut pada tahun 2015, ketika pertempuran dengan pemberontak pro-Rusia lebih intens.
"Ada kasus di mana posisi terungkap, yang menyebabkan baku tembak," kata Dmytro Podvorchansky dari Resimen Dnipro-1 Ukraina.
Peraturan itu menyatakan bahwa foto, video dan materi lain yang diunggah ke internet dapat mengungkapkan rincian militer yang berguna bagi musuh. Geolokasi otomatis dapat menunjukkan di mana unit militer ditempatkan.
RUU itu mempengaruhi "kontrak" tentara, yang bisa dikirim ke luar negeri, bukan wajib militer seperti dikutip dari BBC, Jumat (6/10/2017).
Sebuah postingan tentara Rusia telah mengungkapkan pasukan yang dikirim ke Ukraina dan Suriah.
Sebagai contoh, pada bulan Juli 2014 wartawan BBC Myroslava Petsa menge-tweet sebuah gambar yang di posting oleh seorang tentara Rusia. Tentara itu dengan bangga melaporkan pengiriman roket Grad ke pemberontak pro-Rusia di Ukraina.
Rusia mencaplok semenanjung Crimea, Ukraina, pada bulan Maret 2014 dan bulan berikutnya para pemberontak merebut sebuah wilayah di Donetsk dan Luhansk - terutama wilayah berbahasa Rusia di Ukraina timur.
Ukraina dan pemerintah Barat menuduh Rusia memasok senjata berat dan pasukan bantuan ke pemberontak. Rusia mengakui bahwa beberapa "sukarelawan" Rusia membantu pemberontak, namun menolak mengakui mengirim pasukan reguler.
Dalam sebuah video YouTube seorang reporter untuk Vice News, Simon Ostrovsky, mengungkapkan bagaimana sebuah postingan media sosial tentara Rusia memungkinkannya untuk mengkonfirmasi peran langsung militer Rusia dalam pertempuran di Ukraina timur.
Pada bulan Agustus 2014 sebuah artikel oleh tim investigasi Bellingcat mengatakan bahwa postingan media sosial oleh tentara Rusia telah mengkonfirmasi kematian di antara anggota resimen Airborne ke-76 Rusia di Ukraina timur. Resimen ini berbasis di Pskov, Rusia barat.
Bellingcat mengkhususkan diri dalam analisis media sosial untuk mendokumentasikan konflik, termasuk peran militer Rusia di Suriah.
Kelompok ekstrimis yang disebut Negara Islam (ISIS) menjalankan operasi media sosial yang canggih. Anggota ISIS tidak hanya memerangi koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) di Irak dan Suriah, tapi juga pasukan Rusia yang bersukutu dengan pasukan pemerintah Suriah.
Kementerian pertahanan Rusia mengatakan dua badan keamanan negara - FSB dan FSO - telah melarang staf mereka untuk memposting konten di media sosial tentang diri mereka atau pekerjaan mereka.
"Larangan baru yang mempengaruhi personil angkatan bersenjata tersebut diharapkan mulai berlaku pada Januari 2018," lapor kantor berita Tass.
Militer Ukraina juga prihatin dengan tentaranya yang mengungkapkan aktivitasnya terlalu banyak di media sosial.
The Kyiv Post melaporkan kekhawatiran tersebut pada tahun 2015, ketika pertempuran dengan pemberontak pro-Rusia lebih intens.
"Ada kasus di mana posisi terungkap, yang menyebabkan baku tembak," kata Dmytro Podvorchansky dari Resimen Dnipro-1 Ukraina.
(ian)