Senat AS Tolak Cabut Otorisasi Perang Era Bush
A
A
A
WASHINGTON - Senat Amerika Serikat (AS) menolak undang-undang yang bertujuan membatalkan Otorisasi Penggunaan Pasukan Militer (AUMF). Resolusi ini diadopsi tidak lama setelah serangan teror 11 September 2001 yang diajukan oleh Senator Republik Rand Paul.
Otorisasi era Presiden Bush ini menjadi landasan perang di Afghanistan dan Irak.
Lewat mekanisme vonis, Senat AS memberikan suara 61-36 untuk mengakhiri upaya Senator Ron Paul untuk mencabut otorisasi penggunaan pasukan militer AS di Irak dan Afghanistan. Langkah akan mengakhiri otorisasi penggunaan kekuatan militer setelah enam bulan seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (14/9/2017).
Otorisasi pertama kali disahkan oleh Kongres AS pada tahun 2001 dan 2002. Pada waktu itu, mantan Presiden AS George W. Bush menandatangani AUMF untuk mengijinkan penggunaan angkatan bersenjata AS melawan mereka yang bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001, dan kekuatan terkait.
"Saya kira resolusi tahun 2001 tidak ada kaitannya dengan tujuh perang berbeda yang sedang kita hadapi saat ini," kata Paul, yang memperkenalkan rancanngan pencabutan tersebut, sehari sebelumnya.
Operasi AS era Bush yang didukung oleh sekutu-sekutunya di Irak dan Afghanistan belakangan banyak dikritik di dalam dan luar negeri. Koalisi pimpinan AS menginvasi Irak pada tahun 2003, tanpa sebuah mandat PBB, setelah menuduh pemimpin Irak Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal, yang tidak pernah ditemukan. Penggulingan Hussein diyakini menjadi salah satu alasan munculnya kelompok teroris ISIS di Irak.
AS dan sekutu-sekutunya melancarkan operasi militer di Afghanistan pada tahun 2001 setelah serangan teror 11 September. Misi di Afghanistan berakhir pada 28 Desember 2014, sementara setahun kemudian NATO mengumumkan misi barunya di negara tersebut, yang disebut Dukungan Tegas, untuk melatih dan membantu pasukan keamanan Afghanistan.
Presiden AS Donald Trump meluncurkan strategi baru negara itu di Afghanistan pada bulan Agustus lalu. Rencana presiden mengandaikan, antara lain, perluasan otoritas militer AS di negara ini. AS, bagaimanapun, tidak mengumumkan secara terbuka rencana aksi militer masa depan di Afghanistan.
Perang AS di Afghanistan adalah perang terpanjang yang pernah dilakukan negara ini:kehadiran militer AS ada di negara Asia Tengah ini selama hampir 16 tahun. Konflik bersenjata di Irak dan Afghanistan juga merupakan "perang paling mahal dalam sejarah AS," menurut Linda Bilmes dari Harvard Kennedy School of Government, yang memperkirakan pada tahun 2013 bahwa biaya sebesar USD4 sampai USD6 triliun telah dikucurkan selama konflik.
Otorisasi era Presiden Bush ini menjadi landasan perang di Afghanistan dan Irak.
Lewat mekanisme vonis, Senat AS memberikan suara 61-36 untuk mengakhiri upaya Senator Ron Paul untuk mencabut otorisasi penggunaan pasukan militer AS di Irak dan Afghanistan. Langkah akan mengakhiri otorisasi penggunaan kekuatan militer setelah enam bulan seperti dikutip dari Sputnik, Kamis (14/9/2017).
Otorisasi pertama kali disahkan oleh Kongres AS pada tahun 2001 dan 2002. Pada waktu itu, mantan Presiden AS George W. Bush menandatangani AUMF untuk mengijinkan penggunaan angkatan bersenjata AS melawan mereka yang bertanggung jawab atas serangan 11 September 2001, dan kekuatan terkait.
"Saya kira resolusi tahun 2001 tidak ada kaitannya dengan tujuh perang berbeda yang sedang kita hadapi saat ini," kata Paul, yang memperkenalkan rancanngan pencabutan tersebut, sehari sebelumnya.
Operasi AS era Bush yang didukung oleh sekutu-sekutunya di Irak dan Afghanistan belakangan banyak dikritik di dalam dan luar negeri. Koalisi pimpinan AS menginvasi Irak pada tahun 2003, tanpa sebuah mandat PBB, setelah menuduh pemimpin Irak Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal, yang tidak pernah ditemukan. Penggulingan Hussein diyakini menjadi salah satu alasan munculnya kelompok teroris ISIS di Irak.
AS dan sekutu-sekutunya melancarkan operasi militer di Afghanistan pada tahun 2001 setelah serangan teror 11 September. Misi di Afghanistan berakhir pada 28 Desember 2014, sementara setahun kemudian NATO mengumumkan misi barunya di negara tersebut, yang disebut Dukungan Tegas, untuk melatih dan membantu pasukan keamanan Afghanistan.
Presiden AS Donald Trump meluncurkan strategi baru negara itu di Afghanistan pada bulan Agustus lalu. Rencana presiden mengandaikan, antara lain, perluasan otoritas militer AS di negara ini. AS, bagaimanapun, tidak mengumumkan secara terbuka rencana aksi militer masa depan di Afghanistan.
Perang AS di Afghanistan adalah perang terpanjang yang pernah dilakukan negara ini:kehadiran militer AS ada di negara Asia Tengah ini selama hampir 16 tahun. Konflik bersenjata di Irak dan Afghanistan juga merupakan "perang paling mahal dalam sejarah AS," menurut Linda Bilmes dari Harvard Kennedy School of Government, yang memperkirakan pada tahun 2013 bahwa biaya sebesar USD4 sampai USD6 triliun telah dikucurkan selama konflik.
(ian)