Kisah Horor Rohingya: Militer Perintahkan Warga Masuk Rumah, lalu Dibom

Jum'at, 08 September 2017 - 01:52 WIB
Kisah Horor Rohingya:...
Kisah Horor Rohingya: Militer Perintahkan Warga Masuk Rumah, lalu Dibom
A A A
SHAMLAPUR - SHAMLAPUR-Sejumlah warga etnis Rohingya dengan perahu tiba di kawasan pantai Shamlapur, Bangladesh. Mereka panik dan menangis, kemudian menceritakan kekejaman tentara militer Myanmar dan kelompok nasionalis Buddha di negara bagian Rakhine.

Beberapa orang, termasuk pria, mulai terisak tak terkendali. Tubuh mereka terengah-engah. Mereka seolah tak percaya masih hidup. Beberapa dari mereka disodori handphone oleh penduduk setempat sehingga mereka cerita mereka bisa terekam.

Seorang wanita paruh baya, yang berpakaian hitam, sedang mengamati cakrawala dengan cemas, melindungi matanya. Wanita bernama Rohima Khatun itu sedang menunggu saudaranya. Desa mereka di Distrik Maungdaw, Rakhine, Myanmar telah diserang lebih dari 10 hari yang lalu.

Dengan terburu-buru melarikan diri, mereka berpisah. Dia berhasil menyeberang ke Bangladesh melalui jalur laut. Dia berharap saudaranya, Nabi Hasan, termasuk di antara ratusan orang yang datang melalui laut.

Saat kapal keempat mencapai pantai, dia menjerit dan mulai berlari. Seorang pemuda datang dengan terpincang-pincang di seberang pantai dan keduanya saling berpelukan.

Nabi Hasan dan Rohima Khatun nyaris tak percaya bahwa mereka masih hidup dan dipertemukan lagi.

”Dia ya Allah, dia Allah,” kata gumam Rohima Khatun dengan langkah maju mundur. ”Saya tidak berpikir bahwa saya akan melihat kamu,” balas Nabi Hasan sambil menyeka air mata saudara perempuannya.

”Desa kami diserang oleh militer,” kata mereka. ”Bersama dengan Mogs,” lanjut mereka merujuk pada komunitas nasionalis Buddha yang tinggal di Rakhine.

”Kami adalah satu-satunya di keluarga kami yang memiliki 10 orang selamat,” imbuh mereka.

Dil Bahar, wanita berusia 60-an tahun, terisak tak terkendali. Suaminya, Zakir Mamun, pria lemah dengan jenggot tipis, berdiri di belakangnya.

Seorang anak laki-laki remaja sedang bersama mereka, lengannya terbungkus kain yang dililit tali. Lengan yang terbungkus kain itu merupakan akibat dari tembakan peluru tentara Myanmar.

Wajahnya berkerut kesakitan. ”Dia cucuku, Mahbub,” kata Dil Bahar. ”Dia ditembak di lengan,” ujarnya.

”Ini pembantaian,” imbuh Zakir Mamun. Desa mereka berada di Buthidaung, sekitar 50km (30 mil) dari perbatasan Bangladesh.

Serangan tersebut, menurut mereka, terjadi tanpa peringatan apapun.

”Mereka datang untuk kita,” kata Zakir. ”Orang-orang diperintahkan masuk ke dalam rumah melalui pengeras suara, oleh militer. Kemudian militer dan massa melemparkan bom ke rumah kami, membakar mereka.”

Ketika penduduk desa yang selamat mencoba pergi, para penyerang melepaskan tembakan. ”Orang-orang jatuh terjerembab, saat mereka terkena,” kata Zakir. ”Kami berlari ke gunung dan bersembunyi,” imbuh dia, yang dilansir BBC, Jumat (8/9/2017).

Zakir Mamun mengatakan tentara Myanmar menyerang desa mereka. Anaknya, ayah Mahbub, terbunuh. ”Sepanjang malam kita bisa mendengar penembakan tersebut, 'roket' meledak,” kata Zakir.

Keesokan paginya, mereka melihat desa mereka berubah jadi reruntuhan bangunan. Asap membumbung dari rumah-rumah yang membara. ”Semuanya hilang,” katanya.

Keluarga tersebut mengumpulkan beberapa peralatan yang tidak rusak dan mengumpulkan beberapa makanan mentah. Mereka berjalan kaki selama 12 hari, melintasi dua gunung dan kemudian melewati hutan.

”Nasi kami habis pada hari kedelapan,” kata Zakir. ”Kami tidak makan apa-apa, kami bertahan di tanaman dan air hujan.”

Kekerasan terbaru di Rakhine dimulai pada 25 Agustus 2017 setelah kelompok gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) menyerang pos-pos polisi yang menewaskan sekitar 12 petugas. Militer Myanmar kemudian meluncurkan operasi brutal dan mengaku telah membunuh sekitar 370 yang mereka klaim anggota gerilyawan Rohingya.

Namun, laporan kredibel dari para aktivis menyebut sekitar 135 termasuk wanita dan anak-anak di satu desa di Rakhine dibantai.

Kelompok pengungsi Rohingya yang selamat itu kini dipindahkan ke sebuah kamp pengungsi yang luas di Balukhali. Mahbub telah dibawa ke klinik yang dikelola oleh International Organization of Migration.

”Saya senang berada di Bangladesh,” kata Zakir. "Ini negara Muslim, kami selamat di sini.”
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0703 seconds (0.1#10.140)