Filipina Negara Paling Mematikan untuk Aktivis Lingkungan di Asia
A
A
A
MANILA - Filipina adalah negara "paling mematikan" di Asia untuk pembela tanah dan lingkungan untuk tahun keempat berturut-turut pada tahun 2016. Begitu menurut penelitian oleh organisasi internasional non-pemerintah Global Witness.
Sebuah laporan yang dirilis pada Kamis malam di Filipina berjudul Pembela Bumi: Pembunuhan Global terhadap Pembela Tanah dan Lingkungan tahun 2016 mengungkapkan, negara tersebut juga merupakan ketiga yang paling mematikan secara global untuk aktivis lingkungan.
28 pembunuhan terjadi tahun lalu di sebagian besar negara Katolik Roma itu. Brasil menduduki puncak daftar global 2016 dengan 49 pembunuhan, diikuti oleh Kolombia dengan 37.
"Filipina secara konsisten merupakan salah satu tempat paling mematikan untuk membela lingkungan, dengan 28 pembunuhan di tahun 2016. Paling terkait dengan perjuangan melawan pertambangan," bunyi laporan itu seperti dikutip dari Asean Correspondent, Jumat (14/7/2017).
Filipina termasuk di antara jumlah pembunuhan terbanyak sejak 2013, ketika Global Witness pertama kali meluncurkan laporan internasional tersebut. LSM tersebut telah mencatat sebanyak 144 kasus pembunuhan di negara ini sejak tahun 2002.
Koordinator kampanye Jaringan Rakyat Kalikasan untuk Lingkungan (Kalikasan PNE), Leon Dulce mengatakan bahwa mereka memperkirakan tren akan memburuk tahun ini. Hal ini diikuti oleh tidak adanya perubahan mendasar dalam kebijakan lingkungan negara di satu sis, dan semakin fasisnya kampanye polisi serta militer di sisi Rodrigo Duterte.
Kalikasan PNE sendiri adalah salah satu organisasi mitra Global Witness. "Baru pada paruh pertama tahun 2017, kami memantau setidaknya 10 kasus pembunuhan terkait lingkungan," kata Dulce dalam sebuah pernyataan.
Kalikasan PNE mencatat memburuknya impunitas terhadap pembela lingkungan Filipina di bawah pemerintahan Duterte berakar pada kebijakan ekonomi yang secara fundamental tidak berubah. Terutama pada proyek ekstraktif dan destruktif, yang ditegakkan oleh operasi kontra pemberontakan berdarahnya.
Sejak Juni 2016 ketika Duterte menjadi presiden, kelompok lingkungan telah mencatat setidaknya 17 pembunuhan terkait lingkungan. Itu adalah tingkat pembunuhan tahunan terburuk selama dua pemerintahan terakhir yang mencakup 16 tahun.
"Pembunuhan terkait pertambangan menyumbang 47 persen kasus yang kami amati selama tahun pertama pemerintahan Duterte. Pasukan negara yang diduga dituduh terlibat dalam 41 persen kasus ini, dan 65 persen dilakukan di pulau Mindanao di mana penjarahan dan militerisasi paling luas," kata Dulce.
Menurut juru kampanye Global Witness Ben Leather negara telah melanggar undang-undangnya sendiri dan membuat warganya gagal dalam cara yang terburuk. "Aktivis yang berani dibunuh, diserang dan dikriminalisasi oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya," kata Leather.
"Pemerintah, perusahaan dan investor memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa masyarakat diajak berkonsultasi mengenai proyek yang mempengaruhi mereka, bahwa aktivis dilindungi dari kekerasan, dan pelaku dibawa ke pengadilan," imbuhnya.
Global Witness mengatakan data mereka tentang pembunuhan kemungkinan akan dianggap remeh mengingat banyak pembunuhan tidak dilaporkan, terutama di daerah pedesaan.
"Pesan kami kepada mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini jelas: Pembela ini tidak meninggal - mereka berlipat ganda," laporan tersebut menekankan.
Sebuah laporan yang dirilis pada Kamis malam di Filipina berjudul Pembela Bumi: Pembunuhan Global terhadap Pembela Tanah dan Lingkungan tahun 2016 mengungkapkan, negara tersebut juga merupakan ketiga yang paling mematikan secara global untuk aktivis lingkungan.
28 pembunuhan terjadi tahun lalu di sebagian besar negara Katolik Roma itu. Brasil menduduki puncak daftar global 2016 dengan 49 pembunuhan, diikuti oleh Kolombia dengan 37.
"Filipina secara konsisten merupakan salah satu tempat paling mematikan untuk membela lingkungan, dengan 28 pembunuhan di tahun 2016. Paling terkait dengan perjuangan melawan pertambangan," bunyi laporan itu seperti dikutip dari Asean Correspondent, Jumat (14/7/2017).
Filipina termasuk di antara jumlah pembunuhan terbanyak sejak 2013, ketika Global Witness pertama kali meluncurkan laporan internasional tersebut. LSM tersebut telah mencatat sebanyak 144 kasus pembunuhan di negara ini sejak tahun 2002.
Koordinator kampanye Jaringan Rakyat Kalikasan untuk Lingkungan (Kalikasan PNE), Leon Dulce mengatakan bahwa mereka memperkirakan tren akan memburuk tahun ini. Hal ini diikuti oleh tidak adanya perubahan mendasar dalam kebijakan lingkungan negara di satu sis, dan semakin fasisnya kampanye polisi serta militer di sisi Rodrigo Duterte.
Kalikasan PNE sendiri adalah salah satu organisasi mitra Global Witness. "Baru pada paruh pertama tahun 2017, kami memantau setidaknya 10 kasus pembunuhan terkait lingkungan," kata Dulce dalam sebuah pernyataan.
Kalikasan PNE mencatat memburuknya impunitas terhadap pembela lingkungan Filipina di bawah pemerintahan Duterte berakar pada kebijakan ekonomi yang secara fundamental tidak berubah. Terutama pada proyek ekstraktif dan destruktif, yang ditegakkan oleh operasi kontra pemberontakan berdarahnya.
Sejak Juni 2016 ketika Duterte menjadi presiden, kelompok lingkungan telah mencatat setidaknya 17 pembunuhan terkait lingkungan. Itu adalah tingkat pembunuhan tahunan terburuk selama dua pemerintahan terakhir yang mencakup 16 tahun.
"Pembunuhan terkait pertambangan menyumbang 47 persen kasus yang kami amati selama tahun pertama pemerintahan Duterte. Pasukan negara yang diduga dituduh terlibat dalam 41 persen kasus ini, dan 65 persen dilakukan di pulau Mindanao di mana penjarahan dan militerisasi paling luas," kata Dulce.
Menurut juru kampanye Global Witness Ben Leather negara telah melanggar undang-undangnya sendiri dan membuat warganya gagal dalam cara yang terburuk. "Aktivis yang berani dibunuh, diserang dan dikriminalisasi oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya," kata Leather.
"Pemerintah, perusahaan dan investor memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa masyarakat diajak berkonsultasi mengenai proyek yang mempengaruhi mereka, bahwa aktivis dilindungi dari kekerasan, dan pelaku dibawa ke pengadilan," imbuhnya.
Global Witness mengatakan data mereka tentang pembunuhan kemungkinan akan dianggap remeh mengingat banyak pembunuhan tidak dilaporkan, terutama di daerah pedesaan.
"Pesan kami kepada mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini jelas: Pembela ini tidak meninggal - mereka berlipat ganda," laporan tersebut menekankan.
(ian)