Militan Jadikan Warga Filipina Perisai Manusia
A
A
A
PANTAR - Gereja Katolik mengatakan bahwa militan menggunakan orang-orang Kristen dan seorang Pastor sebagai perisai manusia. Mereka telah menghubungi kardinal dengan ancaman akan mengeksekusi para sandera kecuali jika tentara pemerintah mengundurkan diri.
Uskup dan kardinal mendesak para pemimpin Islam untuk meyakinkan militan untuk membebaskan sandera yang tidak bersalah.
"Kami mohon setiap orang Filipina untuk berdoa dengan sungguh-sungguh," kata Pastor Socrates Villegas, ketua Konferensi Waligereja Filipina seperti dikutip dari Reuters, Kamis (25/5/2017).
Aksi kekerasan meletus di Marawi pada Selasa lalu setelah sebuah serangan kelompok militan berhasil digagalkan oleh pasukan keamanan di sebuah tempat persembunyian di Maute. Lokasi tersebut menjadi basis kelompok militan yang telah berjanji setia kepada ISIS.
Menurut tentara, 13 militan dan tujuh personil keamanan sejauh ini telah tewas dan 33 tentara terluka. Sementara menurut Gubernur Daerah Otonom Mindanao, Mujiv Hataman, para militan telah membebaskan 107 tahanan dimana beberapa diantaranya adalah pemberontak Maute.
Presiden Filipina telah menetapkan situasi darurat militer di wilayah itu. Ia pun memerintahkan pembentukan pos pemeriksaan dan penangkapan serta pencarian tanpa surat perintah. Hal itu akan berlanjut selama diperlukan.
Duterte mengatakan bahwa dia akan mempertimbangkan beberapa tindakan pengamanan di wilayah pusat Visayas di samping Mindanao untuk memfasilitasi penangkapan, dan bahkan dapat mengumumkan darurat militer secara nasional. Ia sangat marah karena gerilyawan telah mengibarkan bendera ISIS di Marawi.
"Saya membuat sebuah proyeksi, bukan prediksi, bahwa pada suatu hari hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah kedatangan ISIS. Pemerintah harus mengakhiri ini, saya tidak bisa berjudi dengan ISIS karena mereka ada dimana-mana," tegas Duterte.
Duterte mengatakan bahwa dia tidak akan mentolerir penyalahgunaan kekuasaan oleh pasukan keamanan di bawah darurat militer. Namun para kritikus mengatakan bahwa peraturan militer di seluruh Mindanao, sebuah pulau seukuran Korea Selatan dengan populasi 22 juta, merupakan reaksi yang berlebihan.
Serikat Pengacara Nasional Rakyat, sekelompok pengacara hak asasi manusia, menyebutnya reaksi yang kasar dan spontan yang akan membuka gerbang banjir untuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak terkendali.
Maute dan Abu Sayyaf telah terbukti menjadi lawan yang hebat bagi militer. Angkatan bersenjata mengatakan mereka telah mengendalikan situasi namun penduduk yang melarikan diri menceritakan sebuah cerita yang berbeda.
"Kota ini masih di bawah kendali kelompok bersenjata, semuanya berada di jalan utama dan dua jembatan menuju Marawi," kata mahasiswa Rabani Mautum kepada Reuters di kota Pantar, sekitar 16 km (10 mil) jauhnya.
Uskup dan kardinal mendesak para pemimpin Islam untuk meyakinkan militan untuk membebaskan sandera yang tidak bersalah.
"Kami mohon setiap orang Filipina untuk berdoa dengan sungguh-sungguh," kata Pastor Socrates Villegas, ketua Konferensi Waligereja Filipina seperti dikutip dari Reuters, Kamis (25/5/2017).
Aksi kekerasan meletus di Marawi pada Selasa lalu setelah sebuah serangan kelompok militan berhasil digagalkan oleh pasukan keamanan di sebuah tempat persembunyian di Maute. Lokasi tersebut menjadi basis kelompok militan yang telah berjanji setia kepada ISIS.
Menurut tentara, 13 militan dan tujuh personil keamanan sejauh ini telah tewas dan 33 tentara terluka. Sementara menurut Gubernur Daerah Otonom Mindanao, Mujiv Hataman, para militan telah membebaskan 107 tahanan dimana beberapa diantaranya adalah pemberontak Maute.
Presiden Filipina telah menetapkan situasi darurat militer di wilayah itu. Ia pun memerintahkan pembentukan pos pemeriksaan dan penangkapan serta pencarian tanpa surat perintah. Hal itu akan berlanjut selama diperlukan.
Duterte mengatakan bahwa dia akan mempertimbangkan beberapa tindakan pengamanan di wilayah pusat Visayas di samping Mindanao untuk memfasilitasi penangkapan, dan bahkan dapat mengumumkan darurat militer secara nasional. Ia sangat marah karena gerilyawan telah mengibarkan bendera ISIS di Marawi.
"Saya membuat sebuah proyeksi, bukan prediksi, bahwa pada suatu hari hal yang paling sulit untuk dihadapi adalah kedatangan ISIS. Pemerintah harus mengakhiri ini, saya tidak bisa berjudi dengan ISIS karena mereka ada dimana-mana," tegas Duterte.
Duterte mengatakan bahwa dia tidak akan mentolerir penyalahgunaan kekuasaan oleh pasukan keamanan di bawah darurat militer. Namun para kritikus mengatakan bahwa peraturan militer di seluruh Mindanao, sebuah pulau seukuran Korea Selatan dengan populasi 22 juta, merupakan reaksi yang berlebihan.
Serikat Pengacara Nasional Rakyat, sekelompok pengacara hak asasi manusia, menyebutnya reaksi yang kasar dan spontan yang akan membuka gerbang banjir untuk pelanggaran hak asasi manusia yang tidak terkendali.
Maute dan Abu Sayyaf telah terbukti menjadi lawan yang hebat bagi militer. Angkatan bersenjata mengatakan mereka telah mengendalikan situasi namun penduduk yang melarikan diri menceritakan sebuah cerita yang berbeda.
"Kota ini masih di bawah kendali kelompok bersenjata, semuanya berada di jalan utama dan dua jembatan menuju Marawi," kata mahasiswa Rabani Mautum kepada Reuters di kota Pantar, sekitar 16 km (10 mil) jauhnya.
(ian)